Sabtu, 08 Juli 2023

Lelono: Ke Pantai Ngrumput Nyari Rahang Tuna

Lelono adalah perjalanan pengembaraan untuk mencari kesejatian diri. Tujuannya untuk mencari wawasan dan kebijaksanaan. Biasanya dilakukan seorang diri.


Hampir sama dengan lelono, ini adalah perjalanan sendiri untuk banyak berdialog dengan diri. Tapi luaran perjalanan ini tidak sefilosofis itu. Ini hanya untuk menyegarkan “kesumpekan” saya dengan rutinitas di Jakarta. Meski sebenernya gak melulu di Jakarta saja. Pekerjaan saya seringkali juga harus ke luar kota, utamanya Sumatra. Pergi ke daerah-daerah pinggir hutan atau lebih banyak di kota besarnya. Tapi ya tetap saja, saya tidak menikmati sepenuhnya perjalanan tersebut karena masih ada embel-embel kerja. Alasan yang lain adalah akhir-akhir ini akhir pekan saya lebih banyak dipakai untuk mengurus rumah. Jadi praktis gak bisa kemana-mana. 

 

Sebab itu waktu terbaik untuk memenuhi hasrat saya adalah pergi ketika libur panjang. Ya, saya selalu ingin untuk roadtrip pada akhir pekan, pergi ke tempat baru, menyesap budayanya dan menyecap kulinernya. 

 

Meski kali ini bukan pergi ke tempat dan budaya barunya. Tapi ya setidaknya kita mulai dari yang paling dekat dulu: Jogjakarta. Kemah di pantai Ngrumput dan nyobain makanan di cafĂ© tersembunyi di Kasihan, Bantul. 


Lepas shalat Jum’at, Saya berangkat dari Magelang. Tak banyak persiapan yang dilakukan. Saya tak membawa tenda dan alat masak. Dari info internat, telah banyak tempat penyewaan tenda dan warung makan di sana. Serta yang terpenting adalah jarak dari parkiran menuju lokasi kemah hanya kurang lebih 1 km. Tentu karena sendiran, Saya malas untuk membawa alat-alat dari rumah. Rencana lain ketika sewa tenda abis adalah tidur di mobil. 

 

Persiapan terpenting yang Saya lakukan adalah mengecek kondisi mobil dan tekanan angin sebelum bepergian jauh. Apalagi menyetir sendirian. Pastilah kalau ada apa-apa akan lebih menyusahkan. 

 

Setelah masuk di daerah Jogja laju kendaraan mulai tersendat. Akhirnya, sampai waktu ashar tiba saya memutuskan untuk berhenti di pom bensin, mengisi bahan bakar dan membeli perbekalan. Tak butuh waktu lama untuk beristirahat, saya melanjutkan perjalanan. 

 

Saya baru menikmati jalan yang tidak terlalu macet setelah masuk ke jalan Imogiri – Panggang. Kala itu sudah masuk waktu maghrib. Saya tetap melanjutkan perjalanan, takut kemalaman sampai di daerah Paliyan nanti. Daerah Panggang dan Paliyan ini dulu sebenarnya adalah lokasi praktik lapangan sewaktu kuliah. Biasanya kami melakukan inventarisasi hutan di sana.

 

Menyetir pada jalur Imogiri – Panggang – Paliyan kala malam hari sedikit menyusahkan bagi Saya. Saya punya masalah mata silinder kanan dan kiri, maka ketika melewati jalan naik – turun lagi gelap akan gelagapan ketika berpapasan dengan mobil dari arah yang berlawanan. 

 

 

Tapi syukurlah, semua aman terkendali. Hingga masuk waktu isyak saya sampai di Desa Planjan, Kecamatan Paliyan. Menepi sejenak untuk sholat dan makan malam. Kebetulan depan masjid tempat beribadah ada penjual Mie Ayam dan Bakso. Bagi saya pecinta Mie Ayam ini adalah berkah. 

 

Karena cukup lapar, akhirnya saya pesan 1 mie ayam dan bakso kuah. Padahal sih ini kebiasaan kalau makan di tempat Mie Ayam dan Bakso, pasti selalu pesan dua menu ini sekaligus. Dan seperti teori sebelumnya, makan mie ayam dan bakso di sembarang tempat di Jogja itu gak akan pernah kecewa. Persentase untuk dapat makanan “zonk” itu kecil. Sama seperti warung mie ayam dan bakso antah berantah ini, mie ayamnya enak dan baksonya pun demikian. Untuk mie ayamnya sih bumbunya agak ke Wonogiri-Wonogirian. Klean deskripsikan sendirilah itu seperti apa cita rasa mie ayam Wonogiri. 


Semangkok, eh 2 mangkok mie ayam dan bakso

 

Selesai sholat dan makan, saya langsung tancap gas. Jarak tempuh dari tempat makan dan tujuan masih sekitar 30 menitan. Suasana sudah mulai sepi. Kendaraan sudah tidak banyak yang lalu lalang. 

 

Jalanan gelap dan sepi. Kanan kiri hutan. Jarak rumah penduduk sudah sangat jarang. Tapi inilah sensasi pergi sendiri. Banyak ngelamun eh kontemplasi pada diri sendiri. Ketika tidak ada orang lain dan hanya bisa mengandalkan diri sendiri. Cuma sesekali rasa was-was yang kadang bergelayut, bukan karena ancaman makhluk tak kasat mata, tapi justru makhluk kasat mata.  

 

Sekitar pukul 8, saya berhenti sejenak untuk mencari lokasi pantai lewat maps. Karena saya belum pernah ke sana, Saya percayakan petunjuk jalannya kepada google maps. Berhenti tepat di pertigaan, di bawah pohon beringin besar. Kala itu sudah hampir masuk jalan menuju ke pantai. Saya buka aplikasi peta. Memastikan bahwa saya tidak tersasar. 

 

Belum lama saya berhenti, tiba-tiba jalan terasa bergetar. Saya pikir ada truk lewat. Cuma setelah Saya tengok dari spion, tidak ada mobil satupun. Selang beberapa detik disusul getaran lebih kuat dan mobil mulai goyang. Saya pikir, saya sedang diganggu jin penunggu pohon. Saya pun cuek. Cuma sempat berpikir “inilah pertama kali saya diganggu jin secara langsung dan terang-terangan”. 

 

Setelah ketemu titik tujuannya, saya melanjutkan perjalanan. Beberapa menit kemudian sampai di depan pintu registrasi, tukang karcisnya bertanya “Mas, tadi kerasa gempa gak?”. Saya pun jawab dengan tertawa. Ya, ternyata itu gempa tepat tanggal 30 Juni 2023. Gempa yang berpusat di daerah Bantul. Gempa yang mengingatkan orang-orang akan peristiwa gempa besar yang pernah terjadi dan meluluh-lantahkan daerah Jogja terutama Bantul dan sekitarnya. Untungnya, gempa yang terakhir dampaknya tidak sekuat 2006. 

 

Sesampainya di parkiran pantai Ngrumput saya minta validasi dari tukang parkir. Dia membenarkan. Katanya agak besar. Cuma dia meyakinkan tidak berpotensi tsunami. 

 

Hati mulai was-was. Karena justru saya menuju tempat pusat gempa di bibir pantai lagi. Ditambah sudah diultimatum Ibuk untuk segera pulang. 

 

Saya duduk dan membuka-buka berita. Menunggu apakah ada gempa susulan dan pengumuman berikutnya. Baru pukul 10 malam akhirnya saya memutuskan untuk turun ke pantai. 

 

Saya turun dan membawa bekal. Jarak dari parkiran ke pantai sekitar 1 km. Melewati ladang-ladang warga. Kalau malam tidak terlalu banyak penerangan. Seharunya sih perlu membawa head lamp. Tapi saya hanya memanfaatkan lampu dari HP saya. 


Jalan setapak menuju pantai saat pagi/siang hari

Sesampainya di pantainya, sudah banyak tenda berdiri. Beberapa menyalakan api unggun. Berdendang, bergurau dan bakar-bakaran bersama teman, sahabat dan keluarga. Kayaknya yang datang di sana sendirian cuma saya.




Selain tenda, ada banyak warung-warung yang menyediakan makanan, snack dan minum. Mereka juga menyediakan kamar mandi serta persewaan tenda. 

 

Saya belum memutuskan untuk menginap di tenda atau mobil. Karena pantainya tidak terlalu luas, maka tidak banyak yang bisa dieksplorasi. Selain pantai sebenarnya ada bukit karang, sepertinya lebih sepi. Tetapi karena sudah malam dan energi saya habis, saya enggan ke sana malam itu. Mungkin besok pagi. 

 

Saya mencari tempat yang sepi diantara keramaian itu. Menikmati udara pantai, ombak yang berdebur, dan bulan yang sesekali muncul diantar mendung. Ah, ini memang yang saya cari. 


 

Saya minum kopi bekal dari Jogja. Hari baru berganti. Ketika saya memutuskan untuk sewa tenda. Tiba-tiba hujan datang. Akhirnya Saya gagalkan. Saya memilih kembali ke tempat parkir. Tidur di dalam mobil. Untungnya, mobil ini memang didesain untuk berkegiatan di luar.

 

Saya gelar bagasi belakang dan jok baris kedua untuk tidur. Di luar hujan dan saya menikmati Netflix. Sampai jam 2 pagi saya belum juga mengantuk. Mungkin efek double espresso yang saya minum tadi. 

 

Akhirnya saya kangen kasur saya. Kasur tempat kita menjadi semurni manusia. Jadi mikir gini:

 

Kasur

Manusia, gemar memoles diri

Menebalkan bedak-bedak di mukanya

Hingga kita lupa kesejatian

Sampai kita tak pernah mengenal kemurniannya

Mereka berlindung dalam riasan tebalnya

 

Siapa mereka? 

Tanyakan saja pada kasur-kasurnya

Tempat mereka kembali pada kesejatian

Mereka yang paham wajah-wajah manusia tanpa gincu

Saksi mereka kembali jadi manusia

Tanpa kebohongan

 

Kasur teman setia si manusia banyak muka

Saksi mereka dengan kerutannya

Mereka dengan alis tak simetrisnya

Mereka tanpa minyak rambutnya

 

Kasur adalah saksi manusia menjadi semurninya

Kasur yang menyesap tangis manusia pada malam yg sepi

Kasur yang memotret bahagia manusia di balik bantalnya

Kasur yang mendekap semua mimpi dan pengharapan manusia

 

Setelah berkangen-kangenan dengan kasur, Saya lupa kapan saya terlelap, mungkin sekitar pukul 3 pagi. 

 

Tidur sekitar 2 jam, pukul 5 bangun, sholat dan turun ke bawah. Sayang waktu itu mendung. Dan lagi ini bukan tempat baik untuk melihat matahari terbit, jadi tak banyak yang bisa diabadikan. Kebanyakan orang-orang masih terlelap. Belum banyak yang beraktivitas. Sungguh damai pagi itu. 






Pantai dan pagi hari

 

Mumpung masih pagi, akhirnya saya menuju ke puncak Kosakora. Eits, tapi tetap isi perut dulu. Cukuplah roti dan susu untuk mengganjalnya. 


Jalan menuju puncak Kosakora cukup terjal, kurang lebih dibutuhkan waktu 10-15 menit untuk sampai puncak. Sampai di atas ternyata lebih sepi. Pemandangan lebih indah. Kira-kira hanya ada 3-4 tenda di atas.



 







 

Saya cuma tidur-tiduran sebentar dan lalu turun. Sampai di bawah rasanya laut memanggil-manggil untuk berenang. Cuma karena ini laut Selatan akhirnya saya urungkan. Daripada nanti ketemu Nyai Roro Kidul, saya belum siap. 


 

Saya kembali ke parkiran. Mandi dan bergegas pulang. Untuk biaya parkir menginap mobil sebesar 20 ribu rupiah.

 

Jalan pulang rasanya lebih menyenangkan. Jalan masih sepi dan tidak macet. Hanya ada sedikit gangguan seperti ingkung ayam kampung pinggir jalan yang melambai-lambai. Tapi saya sudah bulatkan tekad untuk tidak tergiur sama sekali dengan mereka. Saya yakin pada tujuan saya, kafe tersembunyi di Kasihan, Bantul.

 

Kondisi jalan pulang di jalan Paliyan dan Panggang

 

Namanya Tempuran Space. Lokasinya memang agak nyusahin. Apalagi yang bawa mobil. Gangnya kecil yang hanya muat untuk satu mobil. Kalau papasan salah satu harus mengalah untuk mundur. Tapi untungnya karena gak terlalu ramai jadi jarang ada yang papasan.

 

Sesampainya di lokasi, saya merasa "wah". Bagi saya sih ini menyenangkan. Lingkungannya sepi lagi adem. Karena memang lokasinya ada di pinggir sungai. 




 


Arsitekturnya bikin jatuh hati. Bangunan dibikin sesederhana mungkin dengan tetap menonjolkan pohon-pohon dan topografi di sana. Batu-batu tidak dihancurkan, bangunannya yang menyesuikannya. 



Kalau saya bilang makanan dan minumannya enak tentu tidak valid. Karena faktanya saya hanya pesan rahang tuna yang dibumbu bakar dan nasi telur. Minumnya pesan es teh dan es kopi susu. Semuanya menu andalan mereka.

 

 

Rahang tunanya sih harganya sedang (murah untuk ukuran orang Jakarta, tapi mahal untuk UMP Jogja). Kalau tuna sebenernya paling enak memang dengan bumbu yang minimalis. Makan rahang tuna juga seninya adalah mencari-cari daging tersisa yang nyelip diantara tulang-tulangnya. 

 

Untuk nasi telurnya rasanya tidak terlalu spesial. Nasi telurnya dibikin orak-arik dengan campuran kubis. Rasanya cenderung manis daripada gurih. Untuk ini saya lebih milih makan di burjo sebelah kos dulu sih.  

 

Sedang kopi susunya lumayan enak. Cuma bagi saya terlalu manis, mustinya bagi yang gak terlalu suka manis bisa minta dikurangin gulanya. 

 

Saya paling suka duduk di pinggir sungai daripada yang di atas. Kebetulan milih tempat duduknya di bawah pohon. Jadi kalau ada angin, daun-daun akan berguguran tepat di atas hidangan. Ya gakpapa, toh daun organik ini. Malah nambah sayur. Dan memang kan konsep kafenya outdoor gitu, jadi wajarlah. Kafe ini juga mengusung tema pro lingkungan, mereka tidak menyediakan sedotan. 

 

Niat hati mau berlama-lama di tempat itu, saya sudah bawa buku bacaan. Tapi ternyata saya salah bawa buku. Bukunya ternyata sudah selesai saya baca. Dan ternyata pada jam makan siang tempat nongkrong itu mulai ramai. Saya pun akhirnya pulang. 


Pulang dengan hati suka cita. Sampai jumpa Lelono yang lain. 


 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar