Minggu, 18 Juli 2021

12 Juli 2021


Sebelum maghrib itu, Saya menyiapkan bahan-bahan cap cay. Niatnya mau masak buat makan malam. Rencananya ku tinggal sejenak buat sholat maghrib. Tapi notifikasi WA keburuan bunyi. Saya gak pernah menyalakan notifikasi WA dari semua grup, semua tak silent. Jadi kalau ada WA biasanya adalah dari teman, bukan grup. Saya buka sejenak sebelum mengambil air wudhu. 

Seperti tersambar petir. Bikin kaget, merinding, dan syoook. 
Tertulis dari Mbak Evi:
"Sahabat, Hakiim sudah tidak ada. Mohon dimaafkan segala kesalahannya"

Saya baca sekali lagi, memastikan Mbak Evi tak salah kirim. Saya baca lagi, memastikan itu kabar dari Mbak Evi kalau-kalau kucingnya meninggal. Biasanya beliau suka ngasih tahu random kalau kucingnya meninggal.

Tapi ku baca berkali-kali, iya, tulisannya demikian. Saya berharap masih ada WA lanjutan dari Mbak Evi, kalau ini prank. Kalau ini salah kirim, bukan Hakiim yang ku kenal. 

Saya coba telp Mbak Evi, tapi gak dianggkat. Jantung makin berdegup. Badan mulai lemes dan memaku. 

Lalu saya beranikan diri telpon Kakak Iparnya untuk mengkonfirmasi. Beliau bilang Mas Ocid sedang tak sadarkan diri, dalam proses lagi dicarikan ambulan.

Kontan, Saya mulai tak bisa berkata-kata lagi. Nangis pun gak bisa. Harus ngapain gak tahu. Masih gak percaya. Masih belum bisa membedakan ini bohong atau tidak. 

Munculah ketakutan-ketakuan. 


Coba menenangkan diri. Meyakinkan ke diri sendiri kalau belum ada bukti autentik gak akan percaya kalau Mas Ocid telah tiada. Belum bisa mengabarkan kedukannya ke banyak orang. Saya hanya kontak beberapa teman dekat. Sama halnya dengan Saya, mereka tak percaya. Kami bingung. 

Saya sampai gak berani mengupdate kabar lagi. Gak berani buka HP lagi. Masih berharap Mas Ocid hanya kritis saja, masih bisa ditangani. 

Sampai akhirnya, beberapa menit kemudian HP saya dibombardir pesan WA dan telpon dari teman-teman. Beberapa saya angkat, beberapa saya biarkan. Saya masih ingin mendengar suara dari Mbak Evi langsung mengenai kabar ini. 

Hingga akhirnya jam 8 malam, Kakak Iparnya mengabarkan ke saya kalau Mas Ocid sudah diambil oleh Yang Maha Kuasa. 

Seketika buyarlah tangisan yang saya tahan. Saya nangis sejadi-jadinya. Saya down. Tapi sadar bahwa info satu-satunya dari saya, maka mau gak mau saya harus kabarkan ini ke semua orang. 

Ucapan duka berdatangan dari mana-mana. Semua orang gak percaya. Semua orang kehilangan. 

Masih nangis sesengukan, sambil menebak-nebak kenapa orang ini. Kenapa pergi tiba-tiba. 
Saya buka WA saya dengan Mas Ocid yang isinya sebenernya lebih sering ke ejek-ejekan dan pamer. Balasan WA saya tadi siang gak juga dibales atau dibaca. Iya tadi siang, Senin siang saya WA dia menanyakan apakah di Jogja atau enggak. 

Memang semenjak PPKM saya ada di Magelang, beberapa kali ingin main ke kantor dan rumahnya Mas Ocid yang di Jogja masih kepending oleh penyekatan. Mas Ocid juga yang berpesan untuk berhati-hati karena corona, tepat seminggu lalu ketika mantan bos di kantor meninggal. 

Sebenernya Saya punya feeling untuk segera main ke tempat Mas Ocid. Rencananya Sabtu Minggu (satu hari sebelum beliau meninggal), cuma saya kecapekan setelah sepedaan. Ya saya ingin ke rumah Mas Ocid dengan pemer sepeda Gravel yang baru beberapa minggu lalu didiskusikan dengan beliau. Juga pamer skill naik sepeda yang ujung-ujungnya ingin ngewer Mas Ocid. Sebelumnya kalau sepedaan bareng, saya suka dikewer karena jarang latian pas di Jakarta. Nah karena saya sudah mulai pede dengan pace dan endurance, beranilah diadu lagi. Puas untuk menghina kawan kalau kalah. 

Soal hina menghina, emang kebiasaan kita itu. Kalau orang gak kenal denger obrolan kami dikiranya adalah orang saling berdebat dan berantem, padahal itu cara kami menyayangi satu sama lain. Pertemanan macam apa itu. Umur kami memang terpaut sekitar 7 tahun, tapi gak ada sekat diantara kami.

Pertama kali Saya bertemu dengan Mas Ocid adalah pada pertengahan tahun 2015, kami dipertemukan di kantor Yayasan KEHATI. Suaranya lantang dan sering tertawa macam Gold D. Roger (tokoh fiksi di Manga/Anime One Piece). Siapa orang ini pikir Saya. 

Lalu kami berkenalan, gak butuh waktu lama. Kami langsung nyambung. Kami sama-sama KAGAMA, dia anak FIB. Meski sama-sama KAGAMA, tapi kami tak pernah membawa Ke-UGM-an kami. Kami sama-sama lebih senang membangun jejaring tanpa embel-embel almamater. Sama-sama orang jawa, dia dari Jogja. Sama-sama nonton stand-up comedy, kami ngefans sama Dave Chappelle. Meski yang nyuruh saya dengerin stand up comedy luar ya dia. Awalnya saya cuma seneng comic lokal. Lalu dia ngenalin beberapa comic luar. Sama-sama hobi nonton film. Soal film, kalau film yang mau dia tonton itu action, biasanya suka ngajakin saya nonton. Karena Mbak Evi, istri Mas Ocid gak suka nonton film berbau kekerasan. Sama-sama ngulik makanan dan sejarah, maka lahirlah Podcast Cerita Dari Pawon itu. Sama-sama suka ngegame. Sama-sama suka kulineran. Dan masih banyak kesamaan lainnya. Ini kalau mau diperdalam buat cerita, setiap kesamaan punya cerita masing-masing yang kocak.

Mas Ocid juga adalah orang yang gampang akrab dengan orang lain. Sifatnya yang humble (meski ia bersikeras menyebut dirinya introvert, padahal yang sebenernya lebih intovert adalah Saya) dan hobinya yang suka membantu orang membuat kami akrab. Merasa ketemu teman se-visi saja. 

Saya juga melihat dia adalah salah satu orang paling tulus yang pernah saya kenal. Betapa prinsipnya cuma ingin mewujudkan mimpi-mimpi orang lain. Dia selalu berkata "Kalau ingin mewujudkan mimpimu, datanglah kemari, mari aku bantu sekuat tenaga". Saya menjadi saksi, betapa banyak teman-temannya dia bantu dan diorbitkan. Dan dia tetap tak mau jadi terlihat berjasa. Lebih sering memberikan kesempatan pada orang lain untuk berkembang. Kalau ada orang lain, lebih baik kesempatan itu untuk orang lain saja. 

Sampai-sampai, nilai itu terpatri ketika menonton film, idolanya bukanlah tokoh utama, pasti tokoh yang menjadi supporting system di dalamnya. Misalnya, ketika nonton Naruto, idolanya bukanlah Naruto atau Sasuke, tapi Nara Sikamaru. Orang yang tak punya banyak jutsu seperti Naruto, modalnya cuma cerdas, tapi bisa menghabisi Hidan. Nara Sikamaru-lah orang yang selalu berprinsip membersamai Naruto, melengkapi kekurangan Naruto dalam hal keadministrasian Konoha. Sikamaru yang tak pernah mau jadi Hokage, meski dia berpotensi dan bisa. Itulah juga Mas Ocid. 

Dia juga yang mengajarkan apa arti determinasi. Aku bukan orang yang pinter Yud, tapi kalau soal determinasi akulah ahlinya. Dia mengajarkan apa itu "BUSIDO". Dia selalu cerita ketika ngejar beasiswa Chevening, dia bilang ditolak berkali-kali pun gak akan menjatuhkannya. Sampai pada percobaan ke-3 dia lolos. Dia juga wujudkan determinasi ketika main FIFA atau PES, kadang saya sudah menang 3-0 sampai menit 80an. Tapi dia bisa ngejar. Sejujurnya, lawan berat saya ketika main bola ya cuma dia. Kadang malunya adalah, dia gak pernah mengerti bola, tapi selalu menang. 

Ah iya, ngomong-ngomong soal ngegame, apakabar Sabtu Minggu berikut-berikutnya? Siapa lagi kompatriot me time-nya saya yang paling asyik? Siapa lagi yang bisa saya hina dina? Siapa orang yang bisa menghina saya, "matiin ajalah ini PSnya, gak ada tantangan. Mending koe bali wae ngarit Yud".

Mas Ocid jualah yang mengenalkan saya soal kuliner dan memasak. Dulu waktu awal kerja dan belum punya banyak uang buat makan enak, Dia selalu traktir makan di tempat mewah dan mahal. "Makanan apa yang belum pernah kamu makan? Ayo kita pesan" katanya. Paling sering sih ditraktir Hanamasa. Kami selalu berlomba makan daging banyak. Jangan tanya berapa banyak daging yg kita makan. Mungkin bikin pengusahanya bangkrut. Jadi siapa lagi yang bisa menandingi saya makan daging, Mas?

Selain teman main, Mas Ocid juga adalah teman diskusi dan curhat saya. Saat saya dulu terpuruk karena kehilangan (lebih tepatnya melepaskan sih hihi) Cinta Sejati dan rasa penyelasan yang amat sangat, dia selalu menemani Saya. Soal ide juga, banyak sekali apa yang ada di kepala kita. Sayangnya, karena waktu dan keterbatasan saya tidak semua bisa dijalankan. Hampir semua usaha saya ada campur tangan Mas Ocid. Mulai dari Dolan Magelang, Aksara Rimba dan beberapa usaha yang masih jadi gagasan, belum dieksekusi. 

Dulu bersama Mbak Evi, Mas Ocid jualah yang jadi "kelinci percobaan" saya waktu bikin paket Dolan Magelang. Pernah suatu ketika saya ajak buat sunrise, tapi sayang waktu itu mendung. Dia bilang "kembalikan uang saya atau tiup itu mendung biar sunrise-nya kelihatan", tentu ini sambil gojekan. Dia juga yang selalu bilang, jangan mau ikut tour-nya Yudha, saya ditipu dan hampir masuk jurang dibikinnya. Haha. Padahal sudah jelas, dialah orang getol yang mempromosikannya. 

Mas Ocid bagi saya adalah kemanapun saya melangkah, apapun pilihan saya, tenang, ada Mas Ocid di belakang. Dari soal nulis, projek baru, dan lain-lain. Baru-baru ini (bahkan saya juga baru tahu lewat kolega kami), Mas Ocid sedang menyiapkan proyek buat saya. Dia yang selalu mendorong untuk saya keluar dari pekerjaan. Kamu akan menjadi lebih besar dengan keluar dari sana. Bahkan dia menjamin, akan membantu saya kalau tiba-tiba saya gagal di tengah jalan. "Opo, koe butuh pangan? Manggon wae neng gonaku, nek mung soal panganan luwih-luwih meski koe mangane akeh". Ini bukan isapan jempol, dia sering tiba-tiba ngasih proyek yang cemen, tapi saya dibayar lumayan. Sepertinya itu ada tambahan dari uang pribadinya. Dan akhir-akhir ini ketika tahu saya sudah bisa mandiri dan berkecukupan, dia selalu minta traktir, mana makanan yang mahal-mahal lagi. Haha

Sampai akhir hayatnya, mimpi kami yang belum terlaksana adalah ingin punya food truck buat keliling masak-masak ke panti asuhan. Berbagi makanan enak ke anak yatim piatu. Iya, soal memasak memang dia jagonya. Saya suka belajar masak dari dia. Pernah suatu ketika saya yang disuruh masak di rumahnya, tapi abis saya masak, tiba-tiba Kami (Saya, Mas Ocid, dan Mbak Evi), pusing, mual, dan mencret. Rupanya kami keracunan. Sejak saat itu, saya "kena mental" kalau harus masak buat Mas Ocid. Pasti di-bully dulu. Haha. 

Mimpi dia yang lain adalah membeli tanah 1 ha untuk tempat rescue kucing-kucing jalanan. Ya, dia emang pecinta kucing. Bahkan sering dia bawa makanan kucing di mobilnya, dia akan datangi kucing jalanan dan diberi makan. Bersama Mbak Evi, entah sudah berapa banyak kucing yang dia rescue. Pernah suatu ketika, kami lagi khusyuk di apartemen, lalu Mbak Evi telpon katanya kucingnya sakit. Malam itu juga Mas Ocid pulang, dia bilang "aku balik cepat, harus menguburkan kucing". 

Dia sering bercerita juga, bahwa cita-citanya tak pernah muluk-muluk, dia cuma ingin punya warung sederhana seperti di serial Japan ‘Midnight Diner’, masakin orang yang datang dan diajak diskusi buat membantu menyelesaikan problemnya. 

Satu mimpi yang menurut saya cukup susah akan diwujudkan, adalah jadi Ninja. Ya cita-cita dia suka random, ingin jadi Ninja! Saya tertawa terbahak-bahak mendengar ini sehabis dia ngelarin game Sekiro. Tapi ada filosofi besar dibaliknya, bahwa dia tak pernah membatasi imajinasinya. Dia orang yang bebas. Hidup itu ya Dia. Begitulah harusnya orang hidup, memegang nilai dan mengaplikasikannya. 

Dia orang yang gak pernah mengejar kedudukan dan jabatan. Tapi entah gimana, apa yang gak dia kejar itu selalu mendekatinya. Mulai dari Ketua PPI, jadi direktur, jadi komisaris dan lain-lain. Namun setelah aku amati, secara gak sadar, memang value yang ada dihidupnya itulah yang jadi magnet. Membuat orang bahagia, memudahkan banyak orang, dan amanah.

Mas Ocid selalu bilang bahwa dia bukan orang cerdas, tapi menurut Ku dialah orang yang cerdas alamiah. Penguasaan bahasa (dari Inggris sampai Prancis) dia mahir, empaty, wawasan dan lain-lain. Saya banyak berguru dari dia. Saya banyak bertanya.

Saya selalu meledek Mas Ocid, mas amalan apasih yang kamu pakai. Hidup kok enak. Allah sayang ama elu, kata saya. Dirimu begini aja dapet istri yang Solehah. Dapat istri yang bisa sabar ama dirimu. Dulu sebelum kenal Mbak Evi, saya selalu menebak orang seperti apa istrinya Mas Ocid ini. Orang yang sabar berbagi kasur dengan orang yang ngoroknya gak ketulungan. Di awal-awal, aku juga agak kwatir, ini Mas Ocid sering traktir saya, istrinya tahu enggak ini. Karena kalau kita makan bisa habis banyak. Tapi pas pertama ketemu Mbak Evi, dalam pikiran saya... oh wajarlah. Istrinya juga gak kalah baik. Kurang lebih Mbak Evi adalah kopiannya Mas Ocid versi cewek dan versi lebih sopan. Mungkin kalau bukan dengan Mbak Evi, pertemanan saya dengan Mas Ocid gak pernah sedekat ini. Istri mana yang memperbolehkan suaminya main mulu sama temanya sampai nginap-nginap lagi. Ketika berdua ngumpul yang ada perang kentut dan rebutan kamar mandi buat boker. Mbak Evi, cuma bisa geleng-geleng. Kami bertiga juga sering road trip bareng. Gara-gara kehabisan kamar waktu itu di Bandung, akhirnya kami sekamar bertiga. Haha

Terakhir, waktu awal tahun 2021, saya ambil cuti 2 minggu. Pada kesempatan itu Mas Ocid mengajak saya road trip. Katanya buat dokumentasi kuliner Jawa Timur. Dengan senang hati, saya mau. Yang pada akhirnya, ternyata saya di prank. Ternyata kita ke Jawa Timur untuk kebutuhan kerjaan kantornya. Saya diminta tolong jadi produser dadakan. Sepanjang jalan saya ngedumel, Mas Ocid cuma bilang, "yaudah turun aja di sini, gak ada makan siang gratis, bayar aja makan siangmu yang banyak itu, termasuk hotel sekalian" dengan nada bercanda. Saya urung keluar dari mobil. Kebetulan juga road trip itu saya sekamar mulu dengan dia. Padahal sudah saya wanti-wanti jangan sekamar. Saya tak tahan dengan ngoroknya. Haha.

Akhir tahun 2015, suatu ketika kita pernah road trip ke Lampung, lalu kita tidur di rumah warga. Dia berpesan untuk saya tidur duluan. "Lah suka-suka aku lah Mas. Kok ngatur koyo pacarku". "Woh bocah iki dikandani ngeyel". Lalu dia tidur, gak dalam hitungan detik, langsung ngoroknya keluar. Kencang. Saya gak bisa tidur sampai pagi, padahal sudah pindah ke ruang depan. Sampai paginya si Ibu yang punya rumah minta maaf, dikiranya anaknya yang ngorok. Saya cuma mesam-mesem. Ngorok juga yang membuat kita sering ribut kalau harus tidur satu ruangan. Tapi dia baik, biasanya dia setia penutup telinga. 

Bagi Saya pribadi, Mas Ocid adalah lebih dari teman dan sahabat, saya menganggapnya seperti Kakak dan saudara saya sendiri. Kebetulan saya anak pertama juga. Tak punya sosok kakak. Kalau saya sedang butuh bantuan dan masalah, dia akan selalu menolong. Bahkan mengorbankan Sabtu - Minggunya dia. Saya selalu bilang, "ayoklah Mas, tolong adimu iki". Dia akan bilang, "nek butuh wae lagi ngaku-ngaku adi". Haha.

Ah... terlalu banyak kenangan bersamamu. Bahkan dulu ketika saya patah hati, sesedihnya gak kayak gini.

Selamat jalan Mas Ocid. Mungkin kepergianmu terlalu cepat, tapi apa yang telah kamu perbuat akan selalu abadi di hati kita. Selamat menikmati ngegame-mu, semoga selalu ada update-an FIFA ya di sana... dan Selamat makan-makan enak ya di sana! Gak perlu takut kolesterol dan darah tinggi sekarang!

Semoga Mbak Evi juga kuat menjalani ini. Doakan dari sana Mas, semoga aku bisa menghibur Mbak Evi. Bisa ada ketika nanti Mbak Evi membutuhkan bantuan, sama seperti apa yang dulu sering kamu lakukan ke aku.

Dulu awakmu selalu ngomong gak jelas, "Yud, aku kan introvert, gak punya banyak teman. Kalau Aku meniggal ono sing layat ora ya? Apa ya yang akan mereka posting?" Nah sekarang awakmu bisa liat dari sana kan Mas, banyak yang mencintaimu dengan tulus. Banyak sahabatmu. Banyak orang kehilangan. Kamu berarti banyak di mata kami Mas. 

Btw, sekarang tiap aku solat selalu ingat guyoananmu "Yud koe kui sholat opo cosplay jadi ayam? Kok cuma matuk-matuk aja". Haha. Jadi nek arep solat kilat koyo bus malam, saiki mikir-mikir Mas. Haha

Dengan berlinang air mata....

Adikmu yang kampret….

2 komentar:

  1. But what is grief, if not love persevering?”, begini kata wanda di Wandavision. Lihat kematian Ocid sebagai contoh hidup yang menyentuh hati banyak orang

    IK

    BalasHapus
  2. Iya mbak... kita adalah apa yang kita lakukan selama hidup kita. orang baik akan selalu dikenang, orang baik akan selalu menginspirasi siapapun melebihi zamannya...

    BalasHapus