Hari masih pagi.
Ketika Saya datang ke sebuah kedai kopi sekaligus tempat roasting yang saya pilih acak di maps Jogja. Sampai di depan kedai, kelihatan Penjaganya masih sibuk nata meja dan kursi. Bisa dipastikan, Saya pengunjung pertama. Sambil mengulur waktu buat mempersilahkan si Penjaganya menyelesaikan tugasnya, saya lihat-lihat stok kopinya. Sepertinya menarik.
Warungnya kelar diberes-beresin, kini Mbak Baristanya udah siap menyambut dengan senyum. Sebelum pesan kopi rostingannya buat dibawa pulang, saya coba sajian kopi standarnya. Dia menyarankan kopi gayo premium. Okelah.
Dengan cekatan Dia menyiapkan V60 pesanan saya. Sambil menunggu air mendekati mendidih di 85 derajat celcius, dia bertanya kenapa saya suka V60. Saya bilang, saya suka rasa dan aroma yang dihasilkan. Kopi yang baik akan selalu hidup diantara naungannya. Menikmati kopi rasanya lebih lengkap kalau dipastikan tanamannya ada diantara nangka, aren, durian, dan lainnya.
Lalu Dia menyahut bagaimana budidaya kopi mestinya dilakukan. Gimana mengolah kopi agar keluar rasa dan aroma yang baik. Di tangannya, dia juga memastikan bahwa kopi-kopi kualitas baik ini akan di-roasting untuk mendekati cita rasa aslinya.
Di tengah keasyikan kami, saya nyeletuk, bahwa harus hati-hati membudidayakan atau membeli kopi, jangan-jangan kita turut mengusik hutan. Lalu dia penasaran. Kopi enak juga harus dipastikan darimana dipanen. Petani-petaninya buka lapak dalam kawasan apa enggak. Makanya, penting untuk mengedukasi konsumen juga petaninya.
Dia menyodorkan gayo pesanan saya.
Gayo lalu membuka bab soal kopi-kopi di Aceh. Tak hanya soal kopi di Aceh, tapi kopi di Indonesia. Sebab, memang demikian. Perluasan bisnis komoditi kopi Arabika di luar jawa mulanya dilakukan di dekat Danau Lut Tawar di dataran tinggi Gayo. Arabika berhasil menggantikan Rabusta yang kala itu merugi karena penyakit.
Di awal abad 17, VOC mengenalkan kopi ke Indonesia. Lewat kopi, mereka pernah untung besar dan menjadi 'tauke' kopi di dunia bersama tempat asal kopi, Arab dan Ethopia. Emang kopi gak akan jauh-jauh dengan bisnis.
Sama kayak mbaknya, yang ternyata selain Barista juga Pemilik kedai-nya. Dia cerita awal mulai ngebangun bisnis kopinya. Dari mulai buka tempat buat nyeduh kopi sampai bikin roastingan sendiri. Mbaknya bilang, evolusi bisnis kopinya berlangsung lima tahun. Mulai dari cafe sebelah tugu sampai sekarang bergeser sedikit ke Utara.
Saya banyak nanya soal ini. Bilamana bisnis kopi bisa balik modal. Gimana pergeseran bisnis kopi dikala pandemi. Saya cerita, di Jakarta bisnis kopi mulai shifting dari kedai tempat nongkrong ke bisnis jual kopi literan sampai laku jual biji kopi dan alat-alat pendukung lainnya. Akhirnya kita punya hipotesa menarik soal bisnis kopi kini dan nanti serta pergeseran budaya ngopi masyarakat. Sayang, kita udah pada gak kuliah.
Saya juga berbagi, di Sumatera, kopi udah jadi budaya buat nongkrong, sekarang bahkan kopi udah jadi semacam angkringan, gak perlu pakai tempat yang nyaman kayak cafe dan wifi kenceng, yang penting ada tempat buat nongkrong. Lalu entah kenapa tiba-tiba nyambung ke kenapa Starbucks 'kukut' di Italia dan Australia. Saya bilang, karena budaya ngopi di sana beda sama ngopi di Amerika.
Hari beranjak siang.
Perut nagih buat dikasih haknya. Si Mbaknya, nawarin Mie Aceh, bilangnya, dia jago bikin masakan itu. Saya manut saja.
Saya ngaku sebagai pecinta kuliner Aceh. Saya sebutin-lah jajanan-jajanan Aceh dan tempat jualannya di sana. Kalau mau kopi bisa coba kopi Taufik, Cek Yuke, Sada Coffee, Haba Kopi atau Cut Zein Beurawee. Jangan lupa juga icip roti sarikayanya atau nasi gurih. Kalau nasi gurih sih di Pak Rayid. Agak lapar dikit bisa makan di Rumah Makan Ujung Batee, Lambaro, Tringgading, atau Banggam Kaye Leu. Kalau mau Mie, ya di Mie Aceh Lhok Nga, Mie Ayah, Mie Bardi atau Mie Rajali. Mau daging bisa makan Sate Matang, Ikan Kayu, Gulai Kambing, atau Nasi Bebek Bireun.
Sekarang mari kita coba Mie Aceh dari Mbaknya. Lewat rasanya, saya tahu dia orang Aceh asli. Mie Aceh jadi pengantar ngobrol soal bumbu-bumbu masakan Aceh. Kenapa masakan Aceh identik dengan bumbu yang kuat dan banyak rempah-rempahnya, padahal gak semua rempah-rempah bisa ditemukan di Aceh.
Dari makanan, kita bertutur soal sejarah Aceh, keberanian dan kegigihan orang Aceh, Laksamana Mahalyati, tokoh idolanya, sampai tsunami Aceh.
Mie Aceh buatannya telah habis diseruput. Saya haus, tapi kopi saya habis. Lalu saya pesan sanger -kopi susunya orang Aceh-.
Lewat kopi susu ini, kita ngobrol soal kecenderungan bisnis di masa depan. Dia banyak cerita soal ekonomi-nya Adam Smith sampai kontra teori atau teori pembaharuannya. Saya banyak mangut-mangutnya, gak banyak cakap. Sebab dia emang jagoan ngomongin itu. Terbukti kalau dia beneran lulusan Ekonomi dan Bisnisnya International Undergraduate Program di almamater yang sama .
Bisa ditebak, pasti yang mengalir dari mulut kami adalah romansa selama pakai jas coklat goni itu. Mengarungi bayangan Jogja dengan ruang dan waktu yang berbeda. Dengan cerita dan penekanan yang gak sama.
Gak tiba-tiba sih, tapi emang sore bergelayut.
Baru sadar belum sembahyang. Juga baru ngeh kalau tempat kedainya ternyata bercat coklat.
wah pamer pengetahuan kopi nie....luar biasa. Hati-hati sama yang mengalir di mulut mas. Bisa jadi iler lho
BalasHapus