Kamis, 13 Agustus 2020

Kelana Rasa, Perjalanan Pikir

Semua itu adalah soal berproses. Perjalan dan pengalaman-lah yang menuntun cara kita memandang sesuatu. Disadari atau tidak, merekalah yang menentukan pilihan dan cita rasa kita.

Ketika saya pulang ke Magelang atau ke Jogja, pasti akan menyempatkan makan di warung makan favorit. Rasanya kangen aja dengan makanan sewaktu SMP-SMA dan kuliah. Sebab di Jakarta, saya fakir makanan enak-enak sih.

Misalnya, makan soto Pak No (ini yang di Magelang ya, bukan yang di Jogja), nasi goreng, sego godog, dan mie ayam Pak Sugeng di dekat rumah. Atau kalau pas ke Jogja, menyempatkan makan bakmi, penyetan, soto dan lain-lain.

Tapi terkadang, ketika saya kembali untuk menyantap kuliner tersebut, ada yang selalu berbeda. Ini adalah soal rasa.

Kok rasanya tetiba berubah ya. Gak seenak dulu. Misalnya makan ayam geprek di Mas Kobis, dulu makan “cabai 20” aja dengan micin-garam-bawangnya yang beradu-padu memunculkan selera makan dan sensasi rasa yang tak terlupakan. Kini waktu kembali ke sana kok jadi hambar. Juga dengan SS dan beberapa persotoan yang lain.

Ada rasa yang hilang….

Sepertinya setelah saya bertanya-tanya, ada dua kemungkinan. Kemungkinan pertama adalah kualitas makanan yang telah berubah. Apakah karena takaran bumbu yang berubah, cara masaknya yang berganti, atau orang yang menyajikannya yang telah tersubtitusi. Kemungkinan kedua adalah saya-nya yang telah berubah. Perjalanan panjang dan kelana rasa saya setelah menyecap banyak cita rasa cenderung bergeser dalam menikmatinya.

Kita asumsikan saja, dari dua kemungkinan tersebut, kemungkinan pertama tidak pernah berubah. Semua proses penyajian masih sama dan rasa masih sama. Jadi yang menentukan rasa sekarang adalah soal kelana rasa dalam hidup saya bergeser.

Dulu, saya pikir nasi Padang Lima Sekawan sebelah kampus saya adalah nasi Padang terenak, sebelum saya makan nasi padang di Sumatera Barat atau daerah Sumatera yang lain. Dulu saya pikir soto sapi di Selokan Mataram adalah yang paling enak dan murah, sebelum saya menyecap makanan jenis sup tersebut di Solo. Dulu saya pikir, Mie Aceh Seulawah adalah yang paling lezat, sebelum saya nyicip Mie Aceh di Lhok Nga atau di Rajali, di tempat makanan itu bermula.

Semua itu adalah soal berproses. Perjalan dan pengalaman-lah yang menuntun cara kita memandang sesuatu. Disadari atau tidak, merekalah yang menentukan pilihan dan cita rasa kita.

Saya jadi teringat dalam sebuah tulisan majalah National Geographic (entah edisi yang keberapa, sepertinya edisi lama, bacanya udah lama banget) bahwa ada penelitian tentang hal tersebut. Setelah diuji, hipotesis tersebut benar, bahwa kondisi lingkungan (biotik dan abiotik) akan mempengaruhi pilihan-pilihan kita. Biotik ini misalnya adalah keluarga kita, cara mereka mendidik kita, guru-guru kita, dan sampai dengan unsur makhluk hidup yang lain. Sedangkan abiotik ya yang kayak tadi, dari cita rasa makanan, pandangan para tetangga, dan momen. Loh Kon gak percaya kalau cita rasa bisa mempengaruhi pilihan hidup orang? Lah saya punya teman yang akhirnya memilih pasangan hidupnya karena dia bisa masak sambel yang mirip dengan ibunya. Kisah nyata ini. Coba aja tanya teman-temanmu, kenapa milih pasangan sekarang, mesti ada yang jawabnnya unik-unik dan nyleneh.

Kelana rasa dan pengalaman yang telah kita lalui tentunya berpengaruh pada pilihan kita yang lainnya, bukan hanya soal makanan. Soal pilihan pasangan kita, seperti yang saya sebutkan tadi misalnya. Ada aspek cantik dan inner yang lain. Dulu saya melihat aspek cantik itu seperti “hfayiahyga vyabvaouvha” misalnya. Kemudian berubah menjadi seperti gabungan Kekeyi dan Jennifer Aniston. Dulu misalnya, aspek cantik yang harus mendominasi dari segalanya, baru innernya. Lalu bergeser ke innernya dulu lalu ke keluwesannya. Ya gitulah kira-kira.

Pilihan-pilihan itu ada di alam bawah sadar. Lingkungan telah menuntun kita secara halus. Mereka telah mengintervensi kita. Bahkan ketika kita bilang “saya memilih ini dan tidak ada intervensi dari pihak manapun”. Hmm… sebenernya anda secara tak sadar sudah dikelabui lingkungan sekitar. Gak cuma dalam setahun dua tahun, tapi dalam waktu yang lama yang telah jadi karat dalam otakmu.  

Ini sebagai contoh aja, beberapa waktu lalu saya mendengar podcast antara Komika disabilitas menikah dengan seorang wanita cantik. Ternyata setelah dikulik, dibalik keputusan wanita tersebut ada pengaruh dari ayah dan ibunya. Ayahnya adalah disabilitas juga. Hingga dia punya cita-cita membersamai suami disabilitas, sama seperti ibunya. Keluarga besarnya pun tak mampu menahan dorongan pikiran si wanita tersebut. Mungkin, ayahnya tak pernah berkata-kata dan menasehati si wanita tersebut untuk menikah dengan kaum non-disabilitas. Tapi tindakan dan penglihatan sehari-hari yang mendorong si anak tersebut untuk memutuskan dan memilih sesuatu. 

Contoh lainnya, misalkan soal lagu dan band idola. Paling pas untuk menghubungkan ini ya band Sheila on 7 dan Dewa 19. Sebelum pandemi, band-band tersebut merupakan band dengan request live concert paling laris. Sheila on 7 setiap kali manggung pasti akan berjubel penontonnya, dan kebanyakan adalah orang-orang seusia di atas 25 tahun. Kenapa laris? Padahal gak ada lagu baru, ada pun juga yang terngiang di telinga pasti gak banyak. Nah ini juga soal konsep proses memilih dan berpikir para penggemarnya (termasuk saya). Alam bawah sadar kita akan menuntun kita pada memori indah kita waktu kecil/remaja. Ketika dengar lagu "Kau Kini Ada" misalnya, ingatan saya langsung tertuju pada Ngatinem, dambaan hati saya waktu itu. Gitu juga dengan yang lain. Lagu "Pemenang", mengingatkan saya pada saat saya jago main bola jadi Trequartista kayak idola Ricardo Kaka', sebab waktu itu lagu ini rilis ketika jaman Piala Dunia. Saya yakin sih, selama penggemar masa lalunya terus exist di dunia, Eros Cs sih tetap bakal laris manis. Sebab lagu-lagunya udah terpatri di otak menjadi theme song memori indahmu. Gak ada yang bisa menghilangkan dan menyangkal ini kecuali tiba-tiba ada trauma dan kejadian luar biasa dalam pikiran kita. 

Gitulah kiranya.

Makanya, saya sebenernya sangat sepakat dengan ungkapan, kalau kalian mau lihat pribadi yang sesungguhnya dari seseorang, lihatlah keluarganya, lingkungannya, circle pertemanannya, buku-bukunya, bahkan sampai acara apa yang didengarkan.

Bagaimana kalau saya?

Saya kebanyakan hidup dalam lingkungan multikultural, dengan berbagai macam bentuk dan jenis pertemanan. Ada yang kampret, brengsek, ketela pohon, dan lain-lain. Semua lengkap. Satu yang saya belum bisa, berteman dengan kaum oportunis.

Dulu ketika di Magelang-Jogja, circle pertemanan terdekat saya ya yang mungkin setipe budayanya. Lebih enak ngobrol dan diskusi. Ada beberapa yang diluar itu, tapi tak banyak dan tak terlalu akrab. Bahkan dulu lihat orang ngomong “Lu-Guweh” aja risih.

Tapi dalam beberapa tahun terakhir, sahabat-sahabat saya mulai multikultur. Saya bisa sangat nyaman ngobrol dengan orang-orang Medan Bah! Bisa tertawa terpingkal-pingkal dengan mereka. Dengan orang Jakarta berlatih menghargai budaya mereka, mereka risih kalau disebut aku-kamu soalnya. Bersama dengan orang-orang dari kampung juga gak bisa ngomong pakai Bahasa Indonesia. Udah diset di kepala kalau sama orang jawa, Bahasa Indonesia seperti gak pernah belajar. Lalu dengan orang jawa timuran. Saya sangat nyaman dancuk-dancukan kadang pakai bajingan atau kalau lebih alus dikit pakai asuw. Biasa aja. Atau dengan orang-orang Makasar yang baik-baik. Bersama dengan teman-teman Papua yang sangat sopan-sopan juga nyaman-nyaman aja.

Lalu soal makanan, pertama kali makan makanan Aceh saya muntah. Eh tapi sekarang jadi paling favorit. Dulu gak pernah ngebayangin ada orang yang bisa sehari tiga kali makan nasi padang, sekarang biasa aja. Makan-makanan Chinese juga gak terpikirkan, tapi sekarang justru dimsum-dimsuman adalah sarapan tiap pagi.

Ya gitulah, cara saya berproses dengan kelana rasa dan pengalaman. Ini tentu akan terus membangun pribadi saya. Bisa jadi kelak, saya adalah kebalikan dari saya sekarang. Tapi satu yang saya yakini tak pernah berubah. Saya tetap menyukai dan mencintai MIE! Hiduplah Mie!

 

2 komentar:

  1. jelas jam terbang sangat menentukan rasa dan selera kita saat ini 'de Yudha....nanti akan ada titik balik dimana kita sudah merasa bosan dan akan kembali ke selera dan rasa kita semula :-)

    BalasHapus
  2. pengalaman kita, jatuh bangun kita, dan seberapa jauh perjalanan kita jua yang tiba-tiba gak terasa telah mengubah kita ya Mbak... namanya juga proses. Bisa jadi kita akan kembali ke 'selera' semula atau 'selera' saat ini. Yang jelas kita akan terus berevolusi secara perlahan, menemukan jati diri sebenernya hihi.... dalem yes

    BalasHapus