Sabtu, 04 April 2020

Ngelayap: Pasar Apitaik, Pohon Purba Lian, dan Kembali ke Bali (Lombok Timur Part 3)


Sewaktu kecil, Saya paling malas ketika disuruh mengantar Ibu Saya ke pasar. Mungkin dulu karena enggan untuk menunggu Ibu Saya memilah barang hingga tawar-menawar yang membutuhkan waktu lama. Udah gitu gak jadi beli barangnya lagi. Cuma satu hal yang saya sukai ketika harus mengantar Blio ke pasar yaitu iming-iming Mie Ayam.

Tetapi mulai dewasa ini, saya justru menikmatinya. Ketika mengantar ke pasar, terserah yang diantar mau ngapain, tetapi setidaknya saya bisa menikmati suasana pasar. Seringkali Saya membawa kamera untuk sekedar mencari obyek foto. Atau lebih sering nyomot jajanan pasar dan makanan tradisional yang ada.

Akhirnya dua alasan tersebutlah yang mendorong saya semangat ke pasar. Begitu pula ketika saya sedang melancong ke daerah-daerah. Saya akan menyempatkan diri ke pasar sekedar mencari sarapan dan mengambil gambar.

Bagi saya, pasar merupakan tempat yang paling pas untuk menemu kenali budaya masyarakat, entah budaya kuliner atau sosialnya.

Seperti halnya yang saya lakukan di hari ketiga berada di Lombok Timur. Kebetulan hari itu adalah hari terakhir kami di Lombok Timur.

Maka di pagi itu, awalnya Saya dan Mas Yunan, Kakak Angkatan saya sewaktu kuliah, merencanakan untuk melihat Pohon Purba Lian di Desa Gunung Malang, Pringgabaya. Ya, jajaran pohon-pohon besar itu yang menarik mata kami ketika sedang menuju ke pelabuhan tempat menyebarang ke Gili Kondo. Sebagai anak kehutanan, kami terpanggil untuk melihat sekilas penampakan pohon tersebut. Ide Kami ternyata juga mendapat sambutan dari Rizal, mantan aktivis BEM di salah satu universitas di Tasikmalaya, dan Ibnu, yang kami panggil sebagai Sobat Gurun karena dari dia kecil sampai lulus kuliah dia tinggal di Qatar.

Kami bergegas ke Pohon Lian tersebut menggunakan pinjaman motor dari kawan-kawan Andri. Kami pikir dekat, ternyata jauh juga. Mungkin kemarin tampak dekat karena kami naik mobil dan dalam keadaan melaju kencang.

Saya sempat berdebat dengan Mas Yunan tentang pohon ini. Saya mikirnya ini adalah jenis Ficus. Simpel saja alasannya. Karena salah satu pohon yang bisa bertahan ratusan tahun, tumbuh besar dan tinggi ya Ficus.

Sewaktu kami mendekat ke pohon tersebut, kami dihampiri oleh seorang laki-laki. Dia bilang, ada biasa masuk. Saya lupa waktu itu, kalau tidak salah 3 ribu rupiah tiap orang. Ketika saya tanya jenis apa pohon tersebut, beliau tidak bisa menjawab. Hanya bisa menceritakan bahwa pohon tersebut sudah tumbuh sekitar ratusan tahun lalu. Dulu Kawasan yang dimiliki oleh perseorangan tersebut pernah dijadikan sebagai kebun kapas yang kemudian diubah sebagai kawasan wisata oleh pemiliknya.

Begini kira-kira penampakannya.


Apalah Saya ini, gak lebih tinggi dari banirnya pohon ini. Makanya jangan pernah tinggi hati Yud, cukup Ficus aja yang tinggi. Elu jangan.

Cie Hafsah Lope Sunardi. Percaya deh yang lagi kasmaran, tapi besuk-besuk jangan tulis di poon atau obyek wisata yang lain ya. Saran Saya, buat ngbuktiin cinta yang dalam mending namanya ditato di jidat masing-masing aja. Lebih kece deh. Cobain. 

Ternyata ini jenis Ficus albipila

Cahaya Pagi mulai berpendar, maka itu adalah tanda Sarapan Pagi akan segera tiba.
Setelah dari pohon Lian, kami beranjak menuju pasar terdekat untuk mampir membeli jajanan tradisional seperti serabi dan lupis. Salah satu serabi yang terkenal di pasar itu adalah Serabi Inek Juminah. Ketika kami mampir dan berfoto-foto, beliau tampak malu-malu.

Inek Juminah lagi pamer skill nih....

Rasanya lebih enak dari fotonya, apalagi yang setengah matang. Beuh....


Lupis
Para pelanggan...


Selain serabi dan lupis, Saya sempat beli plecing kangkung. Sambalnya seperti kenal dan familiar. Saya baru ingat, itu adalah sambal khas Banyuwangi. Saya berbincang dengan Mas Yunan yang lama tinggal di sana. Dia pun sepakat. Sambal itu mengingatkan saya pada sebuah warung pecel lele di dekat Kantor Balai Besar Taman Nasional Alas Purwo (BBTNAP). Dahulu, ketika praktik di sana, Saya dan teman-teman se-jurusan sering makan pecel lele tersebut. Apalagi setelahnya, saya sempat memperpanjang tinggal di sana ikhwal urusan penelitian. 


"Mas, nuang gulanya pake tangan kayak Salt Bae itu ya" - "Eh gak usah Bu, pakai sendok aja. Nanti lengket"

Lupis.... 

Selesai foto-foto dan membeli makanan, teman-teman yang lain menuju ke basecamp untuk bersiap-siap dan packing. Sementara saya masih menuju pasar kedua. Pasar pertama yang saya kunjungi ini tak begitu ramai, mungkin bukan pasar induk. Nah, di pasar kedua yang ada di sekitar desa Apitaik ini, ada beberapa hal yang membuat saya tertarik.

Ketertarikan pertama adalah soal alat transportasi yang digunakan oleh masyarakat. Mereka masih memakai col dan delman. Col ini sebutan untuk kendaraan umum di sana. Sebenarnya namanya berasal dari colt, salah satu kendaraan bak terbuka yang dimodif menjadi alat tranportasi. Kendaraan ini yang membuat saya flasback 23 tahun yang lalu. Sebab, kendaraan ini sama dengan angkutan pertama yang ada di desa Saya waktu itu. Selain col, ternyata delman juga masih dipakai sebagai alat transportasi.


Ketertarikan kedua adalah pencarian Tuak Manis atau Air Nira atau kalau di Magelang disebut Badek. Sayangnya pada waktu itu penjualnya sedang cuti katanya.

Delman di sini agak lebih kecil daripada di Magelang.

Hiruk pikuk pasar Apitaik di pagi hari.

Bantu membantu.


Ampun Pak! Cuma mau lewat, janji gak makan kudanya kok.


Noh tukang Niranya ada di pojokan yang kosong. Kelihatan gak? Coba di zoom... 

"Udah gak muat Bu" - "Yaudah Pak, barangnya Saya aja yang penting. Saya mah gampang" - "???"

Pulang Menuju Bali

Emang Einstein suka bener deh, kata dia waktu itu relatif. Tiga hari di Lombok Timur (plus perjalanan tentunya) sangat berasa singat. Akhirnya di pagi menuju siang itu kami harus pamit kembali ke Bali. Adi mengantarkan kami ke Pelabuhan Lembar. Tetapi di tengah jalan (gak di tengah persis sih, agak ke pinggi dikit) kami sempat mampir ke pengrajin mutiara dan pusat tenun di Sukarara.

Tak berlama-lama di sana, kami melanjutkan perjalanan ke pelabuhan. Sayangnya seperti yang pernah saya bilang di tulisan sebelumnya, bahwa kondisi kapal suka gak tentu. Kapal dari Lombok ke Bali kali ini tak sebagus ketika berangkat. Ditambah macet laut. Cocok sudah! Perjalanan pulang ini hampir memakan waktu 6 jam. Tadinya saya mau ketemuan ama temen-temen di Bali, tapi ya sudahlah terpaksa ditunda.


Sampai di Pelabuhan Padang Bai, kami dijemput oleh supir kenalannya Ibnu. Saya, Ibnu, dan Mas Yunan menuju Penginapan Cacaca di Kuta, Bali. Teman Saya dari Bali yang merekomendasikannya. Sementara Rizal menginap di dekat Sanur.

Penginapan Cacaca ini menyediakan multi share room. Menginap dengan multi share room merupakan pengalaman pertama saya. Ternyata nyaman juga (nyaman karena teman sekamarnya adalah teman sendiri, gak tahu kalau gak kenal). Satu ruangan bisa untuk 4 kasur, dengan kamar mandi dan toilet di dalamnya. Paling penting, tempatnya bersih. Interiornya bergaya industrial gitu.






Pukul 12 malam, kami baru bisa beristirahat setelah muter-muter nyari makan malam di sekitar hotel. Biar 'aman', Kami makan bakso. Dari rasa, tekstur bakso, bihun dan sausnya, Saya kenal betul bakso ini. Seperti bakso khas Banyuwangi. Jadi biasanya bakso Banyuwangi itu bihunnya agak kebiru-biruan dan saosnya yang bikin saya tak pernah lupa, warnanya merah pekat. Benar saja, ketika Saya tanya ke penjualnya ternyata memang orang Banyuwangi.
***


Disarankan Baca Juga:
Nglayap: Adat, Gunung, dan Laut Lombok Timur (Part 1)
Nglayap: Piknik Sedetik Dari Sembalun ke Gili Kondo dan sekitarnya (Lombok Timur Part 2)






Tidak ada komentar:

Posting Komentar