Rabu, 01 April 2020

Di Balik Kesuksesan Klub Paling Dibenci di Liga Jerman, RB Leipzig

Timo Werner dkk merayakan goal melawan Tottenham Hotspur pada pertandingan 16 besar Liga Champions, 19 Februari 2020. Sumber: gettyimage.com. Credit: Julian Finney
Beberapa minggu lalu sebelum peristiwa covid-19 mewabah pesat di Indonesia, saya sempat bermain FIFA 20 bersama para sahabat. Waktu itu teman Saya memakai Atletico Madrid. Saya kemudian memilih RasenBallsport (RB) Leipzig.

Spontan teman saya bilang, “wah, jangan menghina gitu dong Yud. Pakai klub antah berantah, gak jelas kayak gitu. Kalau gitu aku pakai yang lain lah biar seimbang”

“Weh, jangan sembarangan Anda. RB Leipzig ini sekarang berada 3 besar Bundesliga. Klub hebat masa depan dengan stature yang terus meningkat” jawab saya

“Yah sakarepmu!” jawabnya.

Kalau saya gak salah ingat, kekuatan RB Leipzig di FIFA 20 rata-rata adalah 83 untuk penyerang, 80 untuk pemain tengah dan belakang. Sebenarnya gak terlalu jauh dengan Atletico Madrid. Bahkan lebih bagus daripada AC Milan.

Seperti teman Saya, beberapa orang pasti masih asing dengan RB Leipzig. Sebab memang tak banyak orang mengikuti Bundesliga, pasti karena alasan liga yang tak kompetitif. Bayern Munchen terlalu mendominasi. Tapi itu dulu, sekarang telah berubah. Liga semakin kompetitif, banyak pelatif hebat dan pemainnya menjadi incaran klub top Eropa. Dan menurut saya pribadi, sekarang liga tersebut jauh lebih bisa dinikmati dibanding Serie A.

Salah satu alasan liga tersebut mulai kompetifi adalah karena munculnya kekuatan baru, RB Leipzig. Klub yang sejak kemunculannya dibenci oleh pecinta sebak bola garis keras Jerman (kapan-kapan saya akan menceritakan kenapa klub ini dibenci) itu melesat cepat hanya dalam jangka waktu 1 dekade. Dieter Mateshitz sang bos perusahaan minuman ringan Red Bull membeli klub tersebut pada tahun 2009. Tujuh tahun kemudian, klub langsung melejit dari divisi 5 Liga Jerman ke Bundesliga pada musim 2016/2017. Dan berhasil mengamankan posisi 2 di bawah Munchen. Pada musim 2019 ini (sebelum Corona melanda) mereka sempat menjadi juara paruh musim mengalahkan rival mereka Munchen dan Dortmund. Terakhir, mereka menghempaskan Tottenham Hotspur pada laga 16 besar Liga Champions dengan agregat 4-0.


Pada awal pembeliannya, Mateshitz menggelontorkan dana lebih dari 500 Milyar untuk membangun klub dan pusat pelatihan megah. Ya, meski ada capital yang berlimpah tapi tak mudah membangun klub dari liga paling rendah. Tak semua pemain bintang tiba-tiba mau didatangkan apalagi stature klubnya masih rendah.

Mereka kemudian sepakat mulai memperkuat manajemen, membangun fasilitas pelatihan dan akademi serta mendatangkan pelatih berkelas pada tiap jenjangnya.

Pada kondisi tersebut, manajeman yang bagus merupakan kunci. Klub yang sedang diproyeksikan menjadi klub olahraga besar tersebut memiliki visi yang kuat. Untuk mengejawantahkan visi dan tujuan tersebut diperlukan Direktur Olahraga yang berpengalaman.

Direktur olahraga tersebut akan menjadi modal penting membangun manajemen dalam jangkapanjang. Dia akan menjadi jembatan komunikasi antara manajerial dengan eksekutif. Dia juga yang akan memastikan filosi klub dari atas ke tingkat pelaksanaan. Direktur ini juga menangani divisi science, analisis, scouting dan kepelatihan. Ibarat restoran, dialah yang memastikan supply bahan makanan, mencari alat masak, memilih koki yang sesuai dengan makanan khas restoran, sampai dengan memberikan direct jenis menu kepada juru masak. Sehingga ketika berganti-ganti juru ramu, tak akan berdampak pada jenis masakan dan kekhasan restoran tersebut.

Ralf Rangnick, ketika masih menjadi pelatih Hoffenheim. Sumber: gettyimage.com. Credit: Friedemann Vogel/Bongarts.

Ini yang dilakukan oleh RB Leipzig dengan mendatangkan Ralf Rangnick. Setelah 4 jam diskusi dengan pemilik klub, pria berdarah Jerman tersebut mau untuk bergabung dalam proyek besar Leipzig. Pemilik klub sangat yakin jika dia bisa menjadi katalisator kesuksesan klub, seperti yang sebelumnya dia lakukan pada banyak mantan klubnya.


"Ketika dia tiba di Leipzig, semuanya berubah. Dia membuat klub lebih muda dan cepat. Ini adalah filosofi dan sejak saat itu semuanya ada di bawah tekanan filosofi klub” ujar Guido Schafer seorang wartawan Jerman.


Ketidak berlimpahan uang seperti Bayern Munchen membuat klub harus memustuskan kebijakan “the stars of tomorrow”. Lewat dia-lah kebijakan klub membeli pemain di bawah 24 tahun berhasil dieksekusi dengan sangat baik. Pemain-pemain tersebut kemudian dididik dengan fasilitas klub yang mumpuni. Sebuah tulisan dari bundesliga.com mengatakan bahwa salah satu kesuksesan RB Leipzig pada musim 2018/2019 adalah pemain kunci mereka yang telah ada sejak klub tersebut promosi di tahun 2016.

Kebijakan tersebut juga didukung oleh fasilitas pelatihan dan akademi yang memadai. Menghabiskan dana 937 milyar, klub membangun pusat pelatihan modern nan canggih di Jerman. Salah satu alat modern tersebut adalah ruangan 360 derajat. Tempat yang dipakai oleh seorang pemain unutk melatih refleks dan kecepatan dalam pengambilan keputusan dengan memberi umpan kepada pemain lain.

Pemain belakang RB Leipzig, Dayot Upamecano, diapit oleh Djibril Sow dan Sebastian Rode dari Eintracht Frankfurt pada laga DFB Cup, 4 Februari 2020. Sumber: gettyimage.com. Credi: Matthias Hangst/Bongarts

Kini kebijakan itu telah dirasakan, pemain-pemain muda telah mulai bersinar. Sebut saja Naby Keita yang sudah lebih dahulu pindah ke Liverpool, Yussuf Poulsen, Timo Werner, Emil Forsberg dan terakhir Dayot Upamecano yang sedang jadi incaran banyak klub elite eropa. Serta tak ketinggalan pemain wonderkid di universe Football Manager (FM) saya, Patrik Schick. Merekalah hasil scouting yang matang dan pengembangan pemain yang berhasil di bawah manajemen klub yang kuat.

NB: Pernyataan sikap! Selama AC Milan belum juga kembali ke khitohnya, bukan tak mungkin saat ini saya akan lebih sering menonton RB Leipzig.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar