Selasa, 14 April 2020

Berkaca Pada Film Kim Ji-Young, Born 1982



Kebanyakan 'di rumah aja' membuat saya makin produktif. Tentunya makin produktif menghabiskan stok film saya. Film-film yang dulu banget sempet disalin dari warnet Jogja. Salah satu film yang baru selesai saya tonton adalah "Kim Ji Young, Born 1982". Saya tahu film tersebut setelah nyari referensi film bagus padanannya "Parasite".


Kim Ji Young, Born 1982 merupakan film bertemakan gender equality yang mampu ditampilkan secara apik dan halus, sehingga secara tidak langsung bakalan menggugah nurani penonton untuk melihat sekali lagi apa yang sebenernya terjadi pada hak-hak perempuan sekitar kita selama ini. Tak melulu tentang kerasnya perjuangan perempuan dalam berkarir atau memperjuangkan mimpinya seperti "The Iron Lady" atau "Hidden Figures". Justru kisah ini berlatar belakang sosok seorang ibu muda yang mengabdikan diri untuk keluarga. Film ini seolah mau bilang: jadi ibu rumah tangga itu gak gampang loh. Mungkin lebih susah dari kerja-kerja fisik kita di kantor.




Pada awal film, penonton langsung disajikan tentang seabrek kerjaan ibu rumah tangga muda bernama Ji-Young. Kerjaan yang tak ada habis-habisnya dan rutinitas terpaksa membuatnya lupa mengurus diri sendiri dan melupakan cita-cita kariernya sewaktu muda. Tekanan justru tak datang dari suaminya, tetapi dari keluarga besar dan budaya Korea Selatan. Ketika dia penat menjadi ibu muda dan mulai untuk berkarier kembali, Ibu Mertuanya terang-terang menolaknya. Menurut mertuanya, anak laki-lakinya sudah memiliki karir yang cerah, jangan sampai dibebani oleh pilihan Ji-Young untuk bekerja kembali. Mereka masih melihat bahwa laki-laki merupakan masa depan keluarga dan akan lebih sukses dibandingkan wanita. Sehingga dalam segala hal, laki-laki selalu diutamakan dalam sebuah keluarga.


Akhirnya, pergolakan batin dan semua tekanan di sekitarnya selama ini membuat Ji-Young depresi. Suaminya mulai melihat keanehan dalam diri istrinya. Dia kerap berbicara seolah-olah menjadi ibunya, kakak perempuannya, dan lain-lain. Dia kemudian disarankan oleh Sang Suami untuk ke psikiater.  

Begitu kira-kira gambaran besar ceritanya.


Sebagai orang yang miskin ilmu teknis perfilm-an, tentu saya tidak mau mengkritisi dari teknis pengembilan gambar dan sinematografinya. Saya cuma bisa bilang bahwa film ini memiliki pesan esensi yang cukup kuat dan penuh emosional. Mungkin saja sangat layak untuk menjadi salah satu film pembelajaran tentang isu gender equality. Sebab itu juga yang membuat film ini mendapat banyak kecaman di negara asalnya.

Oh ya, film ini juga mengingatkan saya pada sebuah film "The Wife" yang dibintangi oleh Glenn Close. Meski secara cerita dan latar belakang berbeda, tetapi esensi yang saya tangkap hampir sama. Tentang pengorbanan seorang perempuan yang harus meninggalkan karirnya untuk keluarga. Kapan-kapan saya coba tuliskan pandangan saya terhadap film tersebut.


Refleksi Sosok Ji Young Dalam Kehidupan Sehari-hari

Bagi saya pribadi, sebagai anak laki-laki, merefleksikan film tersebut melalui sosok Ibu Saya. Ilustrasi film tersebut semakin menegaskan gimana rasanya menjadi seorang Ibu. Saya tahu bagaimana capeknya, tidak hanya capek secara fisik, tapi juga mungkin psikis. Sebab itu saya jadi maklum, kenapa dulu waktu kecil ketika saya dan adik-adik saya bertinggkah (lebih kepada bebal bukan nakal lagi), gimana reaksi Ibu saya. Kalau gak marah ya pasti nangis. Lama-lama saya mending dimarahin oleh Ibu, daripada harus melihat Ibu Saya menangis. Hal itu juga yang mengubah saya menjadi anak yang baik dan nurut pada orangtua. Saya ingat ketika saya minta tolong Ibu saya buat bantu ngerjain PR. Waktu itu Saya kelas 4 SD. Ibu saya bilang “Mas, kamu udah besar, pelajarannya makin susah, udah punya adik juga, Ibu juga udah gak sempat bantu ngecek PR-PR mu. Mulai sekarang kamu harus mandiri memperhatikan guru dan bertanggung jawab sama tugasmu sendiri”. Kata-kata itu yang membekas dan mengubah saya. Sebenarnya saya bukan anak yang penurut dan manis-manis amat. Saya cuma orang yang sebisa mungkin menyelesaikan semua masalah saya di luar rumah, dari urusan berantem sama orang sampai urusan tugas yang membutuhkan biaya tambahan, sebisa mungkin itu semua saya selesaikan di luar dan tidak dibawa pulang. Keluarga saya bahkan tak pernah tahu urusan dan masalah Saya. Bahkan ketika saya pernah menjadi ketua BEM di kampus juga mereka gak pernah tahu. Mereka cukup percaya apa yang telah saya lakukan. Dan mereka sangat yakin dengan keputusan saya, karena memang saya berusaha untuk menjaga kepercayaan mereka. Mungkin itu juga yang menyebabkan saya menjadi orang yang tak pintar menceritakan masalah sendiri. Saya tak pernah nyaman ketika harus bercerita masalah pribadi.


Lewat Ibu saya pula, saya melihat peran perempuan sangat mengakar dalam keluarga. Dulu bahkan saya sempet berpandangan jika punya istri maka sebaik-baik istri harus di rumah menjaga anak-anak dan keluarga. Saya hanya takut, perempuan bekerja akan berpotensi depresi lebih tinggi dan meningkatkan masalah dalam keluarga.


Tetapi entah kapan tepatnya, pandangan itu mulai berubah. Terutama setelah saya bekerja.

Tak terbayangkan bagaimana capeknya seorang perempuan yang harus mengasuh anak dan memendam keinginannya untuk berkarier. Sama seperti yang dilakukan oleh Ji Young. Kecuali jika memang menjadi Ibu Rumah Tangga adalah cita-cita dan keinginan mereka. Beda cerita. Tapi setidaknya, memberikan kesempatan mereka untuk bersosial dan mengembangkan diri dalam bentuk lainnya adalah wajib bagi suami.


Bagi saya pribadi, sangat penting untuk memberikan kesempatan perempuan berkembang dan bekerja. Menurut Saya sih ada banyak keuntungan ketika perempuan dapat bekerja. Pertama dengan bekerja dan bersosialisasi akan membuka cakrawala bagi mereka sekaligus menjadi play ground untuk melepaskan depresi. Kedua, bekerja juga merupakan cara kita untuk mempersiapkan hal buruk dimasa mendatang yang tidak pernah kita tahu. Misalkan, suatu ketika kita terkena musibah, dan akhirnya istri kita harus mengambil beban tanggung jawab keluarga. Setidaknya dengan dia bekerja akan menjaga jaringan dan selalu membuka kesempatannya. Seseorang pernah berkata pada Saya, bahwa salah satu kewajiban seorang suami adalah memastikan istri bisa tetap 'hidup' jika kita tidak ada. Kalau memang kita tidak sanggup memberikan harta yang cukup, ya mungkin salah satunya memberikan kesempatan dia untuk bekerja. Bagi anak, ibu yang bekerja mungkin akan memberikan perspektif tambahan dalam mendidik anak-anaknya. Interaksi dia bersama teman-temannya di kantor akan mengembangkan cara berpikirnya. Mungkin juga sharing tentang pendidikan dan perkembangan anak. Ketiga, bagi suami tentu ini nilai tambah. Ketika istri berkembang setidaknya juga bisa menjadi partner diskusi yang baik. Ini mungkin subyektif, tapi bagi saya, istri yang cerdas itu penting. Istri yang bisa kita ajak diskusi banyak hal. Misalkan kita punya gagasan atau ide, kita bisa minta tolong istri untuk memberikan masukan. Ingat, orang yang paling tulus selain orantua kita ya mungkin adalah istri.


Gitulah kira-kira. Saya sih gak berani banyak cakap. Soalnya belum terbukti teori-teori saya tersebut. Tapi terakhir, pujian saya setingi-tingginya untuk para Ibu, baik yang memang mendedikasikan waktu di rumah untuk keluarga atau mereka yang memilih bekerja dan mengurus keluarga secara bersamaan. Semoga kalian selalu diberi kesehatan dan kekuatan untuk terus menjadi inspirasi bagi anak-anak kalian!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar