Rabu, 08 April 2020

Apakah Corona Akan Berdampak Pada Kehidupan Satwa Liar Di Alamnya?


Ilustrasi: seekor harimau Sumatra sedang dirawat di kandang khusus di Barumun Nagari Wildlife Sanctuary. Credit: Yudha/tfcas

Penyebaran Sars-Cov-2 di dunia terus melonjak. Bahkan didapati kasus terbaru, corona tidak hanya menyerang manusia tetapi juga satwa. Nadia,seekor harimau Malaya berumur 4 tahun di Kebun Binatang Bronx, New York dikabarkan telah positif corona.


Kejadian bermula ketika 4 harimau dan 3 singa di Kebun Binatang Bronx memiliki gejala batuk kering dalam beberapa hari seperti yang diberitakan di Time. Setelah dilakukan pemerikasaan lebih lanjut oleh The National Veterinary Services Laboratory ternyata Nadia dikonfirmasi positif Sars-CoV-2. Sumber dari infeksi virus tersebut diduga berasal dari penjaga kebun binatang yang sebelumnya tanpa gejala terkena corona. Kabar baiknya, sampai saat ini dipastikan bahwa hewan-hewan lain tidak menunjukan gejala sakit yang sama.


Meskipun dari hasil penelitian saat ini penyebaran corona belum ditemukan penularan dari satu spesies ke spesies lain atau bahkan dari satwa ke manusia secara langsung. Tetapi virus bisa saja terus bermutasi. Sama halnya ketika pada awal temuan Corona, ilmuwan menyanggah bahwa virus tersebut tidak bisa menular ke satwa. Lalu tiba-tiba perkembangan terakhir virus telah menjangkit harimau.

Jika corona bisa menyerang seekor harimau, apakah virus itu akan menjadi ancaman untuk satwa lain di habitat liarnya? Mungkin kecil kemungkinannya untuk saat ini. Lagi pula, penelitian belum berkembang kearah sana. Sehingga masih terlalu dini untuk mengatakan bahwa virus corona berdampak pada kehidupan satwa liar di habitatnya. Namun, tidak ada salahnya jika kita terus waspada. Ada baiknya jika kita belajar dari kasus pandemi lainnya yang pernah menyerang satwa liar. Semata untuk kita ambil sebagai pembelajaran dan antisipasi kedepannya.

Misalnya saja, kasus pertama Bovine Tubercolosius (TB) yang pernah ditemukan pada satwa liar impala di habitatnya, Taman Nasional Kruger, Afrika Selatan, tahun 1967.  Lalu kemudian juga pernah ditemukan pada kawanan Kerbau Africa di bagian selatan Taman Nasional Kruger pada 1990, padahal waktu itu telah terjadi penurunan kasus bovine TB pada sapi ternak di Afrika Selatan di awal tahun 1990. Karena TB adalah infeksi kronis sehingga memakan waktu berbulan-bulan bahkan sampai tahunan untuk menunjukan gejala pada satwa yang terkena. Individu yang terserang bakteri akan menyebarkannya dalam waktu yang lama tanpa ada tanda gejala penyakit yang mengakibatkan penularan melalui kontak langsung pada lingkungan sekitar. Dampak langsung yang terjadi selain penyakit tersebut dapat menurunkan kesehatan dan produktivitas hewan tersebut, individu yang terinfeksi akan memiliki resiko sebagai agen penularan TB. Akibatnya mengkonsumsi susu yang tidak dipasteurisasi atau produk hewani lainnya, bahkan sampai kontaminasi lingkungan seperti padang rumput dan air akan mentransmisikan penyakit ke hewan lain dan juga manusia (Cosivi et al, 1998, Good dan Duignan, 2011).


Jika melihat sekilas, meskipun saat ini masih ada banyak sekali gap penelitian tentang dampak kronik dari pathogen terhadap setiap satwa, tetapi yang jelas TB ini dapat menurunkan reproduksi dan produktivitas satwa liar. Meskipun perlu digaris bawahi bahwa belum pernah ada TB yang mengakibatkan kematian masal atau musnahnya populasi suatu satwa di alam liarnya. Tetapi beberapa peneliti menemukan bahwa TB kronik pada Banteng di HluhluweImfolozi Park berdampak pada penurunan ketahanan hidup banteng dewasa dan menurunkan tingkat pertumbuhan populasi (Jolles et al. 2005). Bahkan TB pada beberapa spesies menyebabkan tingkat kematian tinggi dan kepunahan lokal sebuah populasi satwa. Misalnya yang terjadi pada mongooses (garangan) di Botswana (disebabkan oleh infeksi M.mungi) dan meerkats (keluarga luwak) di Kalahari (disebabkan oleh M.suricattae) (Alexander et al. 2002, 2020-Drewe et al.  2009, Parsons et al. 2013). Perlu diingat bahwa di ekosistem, satwa-satwa tersebut merupakan mangsa penting bagi spesies lain dan kehilangan mereka dapat mempengaruhi populasi predator yang lain dalam jejaring rantai makanan.


Di masa mendatang, tentu ini sangat berbahaya bagi perlindungan keanekaragaman hayati, bisa saja suatu satwa punah di alam liarnya akibat pandemi. Tak hanya untuk satwa tersebut, tetapi barangkali hal tersebut juga berbahaya bagi penularan virus kepada manusia lagi. Siklus tertular dan saling menulari akan terus berputar, antara satwa liar, hewan ternak dan manusia. Penularan Mycobacterium bovis, agen penyebab TB, diduga berasal dari hewan ternak seperti sapi yang kemudian menular ke spesies lain di sekitar kawasan TN Krugger. TB ini akhirnya menyerang singa, citah, babon, macan tutul, babi hutan dan luwak di dalam taman nasional (Musoke et al. 2015).


Nah, tentunya kita tidak mengharapkan pandemi corona juga terjadi pada hewan lain. Sebab jika terjadi, bukan hanya soal populasi suatu satwa turun tetapi siklus tular menulari dikemudian hari bisa merugikan manusia kembali.

Lantas jika kemungkinan buruk itu terjadi, jika ditemukan bahwa corona juga menular dari satu spesies ke spesies lain, atau dari manusia ke satwa (serta sebaliknya), apa yang harus dilakukan? Pertama, perlu memastikan kondisi kesehatan petugas satwa baik di ex-situ maupun in-situ. Kedua, pengecekan kondisi satwa di ex-situ, seperti kebun binatang, suaka satwa, dan Conservation Response Unit. Ketiga, memastikan kondisi kesehatan para ranger yang bertugas mengamankan kawasan hutan. Keempat, juga perlu memeriksakan hewan ternak yang ada di sekitar kawasan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar