Kedatangan gajah di lokasi restorasi Cinta Raja 3 menunjukan
salah satu keberhasilan restorasi YOSL |
Dunia tengah dihadapkan pada pandemi Covid-19. Virus tersebut telah menyebar secara cepat ke 180-an negara dengan menginfeksi ratusan ribu penduduk dunia dan mengakibatkan puluhan ribu orang meninggal dunia (per tulisan ini dibuat). Banyak peneliti kemudian mengaitkan hubungan antara munculnya virus dengan dampak kerusakan hutan dan perubahan perilaku manusia. Deforestasi membuat ekosistem hutan menjadi rusak lalu satwa yang kehilangan rumahnya kian terdesak dan mendekat dengan lingkungan manusia. Belum lagi, beberapa satwa liar yang diburu dan dikonsumsi. Virus dan bakteri yang bersarang secara alamiah di tubuh mereka akan mudah menular ke manusia. Tetapi kita tentu tidak bisa menyalahkan satwa liar seperti kelelawar yang selama ini diduga menjadi perantara penyebaran. Seperti yang diungkapkan oleh Andrew Cunningham, professor dari Wildlife Epidemiology di Zoological Society of London dalam sebuah wawancara CNN bahwa perilaku manusia dan diperparah dengan kerusahakan lingkungan tempat hidup hewan-hewan tersebut telah menyebabkan virus berkembang dan menyebar dengan pesat.
Dua hal penting yang bisa diambil pembelajarannya dari kejadian besar tersebut adalah dampak kerusakan lingkungan dan pola perilaku manusia. Epidemi tersebut juga semakin membuktikan bahwa kerja-kerja konservasi menjadi penting adanya. Selama ini upaya konservasi memang bertujuan untuk mempertahankan keanekaragaman hayati dan mengembalikan kondisi ekosistem yang rusak agar terjaga keseimbangan lingkungan dan kesehatan manusia baik sekarang maupun masa depan.
Restorasi menjadi salah satu cara kita untuk mengembalikan kondisi kesehatan hutan yang tadinya rusak untuk memiliki fungsi ekologi seperti sedia kala. Dengan demikian, melakukan restorasi juga secara tidak langsung menjaga bencana umat manusia dari wabah penyakit di kemudian hari. Tetapi tulisan ini secara lebih lanjut tidak akan mengulas tentang hubungan Covid-19 dan kerusakan lingkungan. Tulisan ini hanya akan memberikan sebuah pembelajaran tentang upaya restorasi di Resort Cinta Raja III, Taman Nasional Gunung Leuser (TNGL) yang dilakukan oleh sebuah lembaga konservasi, Yayasan Orangutan Sumatera Lestari (YOSL).
Upaya
Menghutankan Kembali Cinta Raja 3
Putra (45) salah satu staf restorasi Cinta Raja 3. Putra dan kawan-kawannya setiap hari tinggal di lokasi restorasi untuk merawat tanaman restorasi.
|
Upaya restorasi berawal dari penemuan
kebun sawit di dalam kawasan tanaman nasional, tepatnya di Resort Cinta Raja
(Sei Serdang, Batang Selangan). Patroli gabungan Balai Besar Taman Nasional
Gunung Leusr (BBTNGL) dan Yayasan Orangutan Sumatera Lestari (YOSL) berhasil
menangkap ketua kelompok perambah kawasan di akhir tahun 2016. Berdasarkan data
yang dihimpun, luas kawasan yang dirambah mencapai 80 ha dengan kepemilikan lahan
kurang lebih18 KK. Melalui sebuah pendekatan persuasif yang baik dari pihak
Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS) TNGL akhirnya dihasilkan sebuah solusi
jalan tengah. Masyarakat boleh mengembil hasil sawit yang siap panen sebelum
tanaman tersebut dimusnahkan.
Setelah masalah perambahan selesai, BBTNGL
bersama dengan YOSL melakukan penebangan sawit di zona rimba tersebut. Proses
penebangan didampingi oleh pihak Kepolisian dan TNI. Sesuai dengan perjanjian
semula, setelah sawit ditebang, masyarakat dapat segera mengambil hasil buahnya.
Setelah dipastikan selesai, persiapan restorasi langsung dilakukan. Namun
sambil menunggu proses persiapan restorasi, patroli pengamanan kawasan tetap
dilakukan. Kegiatan pengamanan dilakukan untuk menghindari masyarakat lainnya
yang masuk ke lahan kosong tersebut.
Secara teknis, proses restorasi oleh
YOSL dapat dibagi menjadi 3, pertama adalah proses persiapan lahan. Para proses
ini ada kegiatan penting yang kadang absen dilakukan oleh beberapa kelompok
restorasi yaitu melalukan analisis vegetasi dengan ekosistem referensi dan
analisis fenologi. Dua hal tersebut nantinya yang akan menentukan hasil
restorasi dan layer tutupan hutan seperti fungsi semula. Kedua adalah proses
penanaman. Perlu digaris bawahi dalam proses ini memilah dan menentukan tanaman
fast dan slow growing akan sangat
penting. Karena kedua jenis tanaman tersebut memiliki perlakukan yang
berbeda-beda. Ketiga adalah proses pasca penanaman. Proses ini meliputi proses survey
keanekaragaman hayati (kehati) dan mengukur iklim mikro yang ada. Jika sudah
ada indikator seperti datangnya satwa endemik dan predator maka restorasi bisa
saja dikatakan telah berhasil. Survey kehati di awal dan akhir akan bermanfaat
untuk analisis keberhasilan restorasi ke depan. (lebih lanjutnya tentang teknis restorasi secara detail dapat dilihat
di sini)
Lalu, apakah dengan proses teknis
tersebut proses restorasi telah selesai? Ternyata belum. Ada proses proses non
teknis yang kadan sering ditinggalkan dan dianggap tidak penting. Proses ini
memang tidak pernah ada dalam text book
tetapi jika melihat pembelajaran yang telah dilakukan justru proses ini tak
kalah pentingnya. Meski demikian, bukan berarti proses ini bisa dilakukan
disemua tempat, mungkin akan berbeda dalam setiap daerah atau kasus per kasusnya.
Tetapi setidaknya pembelajaran ini dapat menjadi referensi pengelolaan
restorasi di tempat lain.
Beberapa proses non teknis yang
dilakukan YOSL diantaranya adalah live in,
pola pendekatan kepada masyarakat dan pengelolaan sistem pengetahuan untuk mengambil
pembelajaran dari proses restorasi terdahulu. Pertama, tinggal di lokasi ternyata
membuat orang-orang yang punya niat buruk berpikir dua kali untuk melakukannya.
Setidaknya masyarakat merasa bahwa tempat tersebut ‘dihuni’ dan ‘dijaga’. Kedua,
pendekatan kepada masyarakat juga merupakan instrument penting untuk menggali
dukungan masyarakat sekitar. Proses terakhir yang tak kalah penting adalah cara
mengatur sistem pengetahuan untuk dapat dengan mudah memanen pembelajaran dari
proses kegagalan dan keberhasilan restorasi terdahulu. Kegiatan seperti membuat
air ‘infuse’ pada lahan gersang di musim kemarau tidak pernah ada di dalam buku
dan itu lahir dari kreatifitas pengelola yang ada disana. Hal semacam itu telah
dicatat dan dipraktekan di lokasi restorasi yang lain. (lebih lanjtu lagi tentang proses non teknis restorasi secara detail
dapat dilihat di sini)
Melalui berbagai proses tadi, Mitra
TFCA-Sumtera tersebut telah mengklaim bahwa restorasi Cinta Raja III merupakan
salah satu restorasi di hutan dataran rendah yang paling cepat partumbuhan dan
keberhasilan yang selama ini dilakukan oleh mereka. Berdasarkan pengamatan
Manajer Resortasi YOSL, perbandingan hasil pertumbuhan tanaman di Cinta
Raja III pada umur 1 tahun dengan restorasi Halaban bisa 2 kali lipatnya.
Pada umur 1 tahun fast growing di
Cinta Raja III bisa mencapai tinggi 5 meter sementera di Halaban hanya 2,5
meter. Pernyataan tersebut juga didukung oleh para petugas lapangan yang
mengatakan bahwa survival rate
tanaman lebih tinggi. Indikator lainya adalah pada tahun ke-2 kijang dan
gajah telah muncul kembali. Selompok gajah (terdiri dari 13 individu) maupun
gajah soliter beberapa kali tertangkap kamera mencari makan di dalam kawasan
tersebut (bisa dilihat pada gambar pembuka tulisan ini). Perubahan lahan sebelum dan setelah restorasi selama 1 tahun |
Kemunculan satwa-satwa tersebut
menjadi bukti kuat keberhasilan restorasi yang didanai oleh TFCA-Sumatera.
Senada dengan beberapa literasi yang mengatakan bahwa keberhasilan restorasi
dapat diukur dari munculnya kembali satwa-satwa kunci. Kembalinya satwa kunci
di habitat semula dan menjauh dari lingkungan perkampungan bisa saja secara jangka
panjang dapat mengurangi zoonosis virus. Begitulah para konservasi berjuang
untuk menjaga kesehatan lingkungan, bukan untuk hari ini tetapi untuk masa
depan umat manusia.
(YAN)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar