Minggu, 29 Maret 2020

Nglayap: Piknik Sedetik Dari Sembalun ke Gili Kondo dan sekitarnya (Lombok Timur Part 2)



274. Gunung Rinjani Longsor, dan Gunung Samalas runtuh, banjir batu gemuruh, menghancurkan Desa Pematan, rumah-rumah rubuh dan hanyut terbawa lumpur, terapung-apung di lautan, penduduknya banyak yang mati.
275. Tujuh hari lamanya, gempa dahsyat meruyak bumi, terdampar di Leneng, diseret oleh batu gunung yang hanyut, menusia berlari semua, sebahagian lahi naik ke bukit.
Babada Lombok 274 – 275

Masih Sabtu 17 Agustus 2019

Bait di atas menggambarkan betapa dahsyatnya letusan gunung Samalas, Lombok. Dahulu, catatan kuno tersebut hanya dianggap sebagai dongeng, namun pada tahun 2013 Franck Lavigne dari Universite Paris Pantheon-Sorbonne bersama para peneliti yang lain mengkonfirmasi kebenaran cerita tersebut (cek makalahnya di https://www.pnas.org/content/110/42/16742). Dari perkiraan Lavigne, erupsi gunung Samalas memuntahkan 40 kilometer kubik material vulkanik dengan ketinggian kolom letusan 43 kilometer. Dampaknya adalah hujan abu masif hampir di seluruh dunia dan mempengaruhi iklim global seperti penurunan suhu kala musim panas dan menghangatkan cuaca musim dingin di Eropa sekitar kurun 1257-1258. Tak heran, karena memang dua pertiga tubuh gunung Samalas hancur dan meninggalkan jejak berupa kaldera Segara Anak.



Fakta-fakta tersebut saya telusuri setelah kami berkunjung ke rumah Kakek Adi. Kertayang (Mardisah) namanya. Beliau adalah orang yang dituakan di Desa. Usianya sekitar 72 tahun.

“Rinjani itu kan dikenal baru-baru ini. Kami kenalnya gunung Samalas. Ini semua (sambil menunjuk gunung-gunung sekitarnya) juga bagian dari Samalas dulu” terangnya.




Nini, begitulah orang-orang memanggilnya. Diperkirakan beliau berusia 94 tahun. Salah satu orang tertua di Sembalun.

Kertayang, yang dituakan di Desa Sembalun.

Menurutnya, daerah Sembalun memang sudah sering terjadi gempa. Bahkan menurut tetua mereka, biasanya tiap 200 tahun selalu ada letusan gunung berapi. Dia menuturkan dari nenek moyangnya bahwa tahun 1818 merupakan salah satu letusan yang terdasyat. Ikhwal ini saya masih melakukan pengecekan data dan faktanya. Apakah yang dimaksud adalah adalah letusan Gunung Tambora atau bukan. Dari ulikan urutan waktu terdekat pada tahun 1815 adalah waktu Tambora meletus.
Letusan gunung jualah (belum dikonfirmasi apakah karena Samalas atau letusan Rinjani yang pertama pada tahun 1846) yang menyebabkan 7 orang Sasak lari mencari tempat baru di lembah Rinjani. Tujuh orang tersebutlah yang membangun dusun Beleq atau Sembalun Lawang. Kini rumah 7 orang tersebut juga menjadi salah satu situs peninggalan sejarah.

Sayang sekali ketika saya berkunjung ke rumah adat tertua di Sembalun yang berusia ratusan tahun tersebut beberapa telah hancur karena gempa 2018 lalu.

Dampak gempa Lombok 2018, rumah adat hancur.

Masih akibat gempa Lombok 2018.


Dari atas bukit, pemandangan Sembalun.

Sori narsis di cerita kali ini, soalnya gak ada obyek untuk di foto sih. Laki semuanya rombongan jalannya. 


Selain Rinjani, ada satu hal lagi yang membuat saya penasaran dengan Lombok Timur. Adalah budaya Jawa yang berakulturasi dengan budaya Sasak. Sebab harusnya Lombok justru punya punya kedekatan dengan budaya Bali. Tetapi dari agam dan bahasa justru kental dengan budaya Jawa. Saya lalu mencoba mengulik keingintahuan saya kepada Pak Kertayang. Dari penjelasan beliau, saya bisa menyimpulkan seperti ini.

Secara budaya, Lombok memang dari dulu lebih dekat kepada raja-raja di Jawa. Dimulai dari Mataram Kuno, Majapahit hingga penyebaran agama Islam oleh para Wali Songo. Hal tersebut dapat dilihat ketika perang antara Raja Anak Agung (Kerajaan Karangasem, Bali) dengan Raja Selaparang (Kerjaan di Lombok Timur). Selaparang pada saat itu dibantu oleh Majapahit. Kedekatan politik juga ternyata mendorong pada ajaran agamanya. Dimana Hindu Lombok banyak dipengaruhi oleh Hindu Jawa (Majapahit). Lalu setelah Majapahit runtuh dan digantikan oleh Kerajasaan Islam, para Wali Songo juga datang ke Lombok untuk menyebarluaskan agama. Di Sembalun misalnya, sampai dibuatkan petilasan Wali Songo. Menurut Kertayang, nama Sasak juga diambil dari istilah bilah bambu yang disusun menjadi getek (perahu dari bambu) dan dipakai oleh salah seorang Wali Songo (mungkin juga utusannya) sebagai alat transportasi menuju Lombok.

“Islam Kami dari Jawa. Kitab-kitab Kami juga kebanyakan berbahasa Jawa. Saya sendiri dulu ijab (akad) dengan istri saya memakai syahadat dengan arti bahasa Jawa” pungkas Kertayang.

Cerita tersebut akhirnya menyudahi obrolan kami siang itu. Tak terasa lebih dari 2 jam kami berdiskusi. Pembicaraan menarik tersebut terpaksa disudahi karena agenda kami selanjutnya.
Seharusnya, kami ikut menonton acara Tari Perisai sebagai salah satu perayaan 17 Agustusan di Desa Apitaik. Sayangnya, Kami harus melewatkannya karena hari sudah siang dan kami diburu snorkeling di Gili Kondo dan sekitarnya. Tapi tenang, kira-kira ini adalah foto kegiatan Tari Perisai yang ada di desa. Andri berbaik hati memberikan dokumentasinya pada saya. Terimakasih Andri!






Gini-gini, gw mantan Tonti (Pleton Inti) alias Paskibra waktu SMA. Jadi ya kalau ada bendera bawaannya pengen hormat. Takut ditabok dan disuruh push up ama senior. 


Perjalanan pulang sempat mampir nganter Tauke buat borong tembakau.



Bonus karapan kuda. Ayok pada mau pasang yang mana.... 


Siang Hari, Gili Petagan-Kondo-Bidara




Pukul 13.00 WITA, kami sudah ada di perahu menuju destinasi snorkeling selanjutnya. Terlalu siang untuk snorkeling, tapi apalah daya karena waktu sangat terbatas untuk menikmati Lombok Timur kali ini. Eits, rasanya bukan waktu yang terbatas, sebab waktu tak ada batasnya. Kamilah yang membatasi ruang dan waktu itu. Jie...


Mangrove gili Petagan


Woy HP gw jangan dibawa lari, balikin Gak! Ekspresi ketika temen Lu minta foto terus HP nya di bawa lari.

Skip aja itu orang-orang yang di depan, fokus sama air yang jernih. Padang lamunnya aja kelihatan.
Kapal siap berlayar lagi...

Saya bisa mengatkan bahwa salah satu spot terbaik untuk snorkeling di Lombok adalah Gili Petagan-Kondo-Bidara. Ketiganya belum seramai Gili Trawangan dan sekitarnya. Kondosi lautnya masih bersih dan karangnya masih cukup terjaga. Keanekaragaman ikannya juga lumayan banyak. Dari ketiga gili tersebut, menurut saya yang terbaik adalah pemberhentian pertama Kami yaitu Gili Petagan. Saya takjub. Mungkin karena daerah tersebut dekat dengan mangrove dan lamun. Dimana mangrove dan lamun adalah salah satu ekosistem penting untuk kelestarian terumbu karang dan ikan. Ekosistem tersebut adalah penyedia pakan untuk keduanya. Gitulah. Gak perlu dijelasin panjang kali lebar ya....

Klo ada penemuan paling berfaedah abad ini, mustinya pasta gigi masuk dong. Cuma pasta gigi yang bisa jadi obat kulit kebakar, tolak gas air mata kala demo, dan menolong para pe-snorkel.

Ini gw renang sambil nahan ketawa, lihat teman di depan kegulung-gulung krn pegangan kapal terus kapalnya jalan. Haha!

Biru!

Lagunya 'Feeling Good' enak nih...









Jadi gini broh, ini kameranya udah nyala belum ya?




yang tersisa, bawah laut:







Sayangnya kebahagian kami tidak berlangsung lama. Sekitar setengah jam kami harus bergerak ke gili yang lain. Tak pernah tahu kalau habis itu cuaca mulai buruk, hujan turun, dan gelombang meninggi. Visibilitas mulai terganggu. Lebih parah lagi action camera yang saya bawa ternyata tidak merekam keindahan Petagan. Ada kesalahan koordinasi kayaknya sih. Saya-nya mikir action cam sudah hidup dan langsung saya bawa nyelem. Teman lainnya mikir, karena saya yang bawa maka saya yang mengoperasikan kameranya. Kejadian tersebut baru disadari oleh kami ketika spot snorkeling terakhir. Ya apalah daya. Kami hanya berencana, Tuhan yang menentukan.
Lepas sore, kami memutuskan untuk pulang. Di tengah jalan kami ‘ditampar’ berkali-kali sama hujan. Syukurnya, kami masih bisa sampai basecamp dengan selamat.

Kali lain saya berjanji bakalan balik lagi ke Lombok Timur. Khusus menikmati keindahan gili yang ada di sana. Sekedar kemah di pinggir pantai Gili Bidara, menikmati bintang dan paginya menyelam. Gitu aja. Gak perlu ke naik ke Rinjani, untuk sekarang kayaknya muskil dengan kondisi fisik yang ada. Perlu olahraga dan memperlangsing perut.
See yu Lombok Timur!




Pulang... 


Gak dilarang buat baca:
Nglayap: Adat, Gunung, dan Laut Lombok Timur (Part 1)
Ngelayap: Pasar Apitaik, Pohon Purba Lian, dan Kembali ke Bali (Lombok Timur Part 3)





Tidak ada komentar:

Posting Komentar