Jumat, 27 Maret 2020

Nglayap: Adat, Gunung, dan Laut Lombok Timur (Part 1)




Jum’at 16 Agustus 2019


Before the time runs out
There's somewhere to run
Wake up
Run for your life with me
Wake up
Run for your life with me” ~ Foo Fighters



Jam masih menunjukan pukul 6 pagi ketika lirik lagu Run dari Foo Fighters itu berteriak tepat di sebelah gendang telinga saya. Pada kondisi normal, tentu saya amat menyukai lagu tersebut. Tetapi di pagi hari dalam keadaan setengah sadar entah kenapa suara Dave Grohl tiba-tiba saya benci. Saya masih ingin menikmati kasur hotel yang empuk dan udara pagi pantai di Bali yang segar ini dengan tidur.


Tetapi nampaknya Grohl tidak pernah menyerah. Saya pun beranjak dan menyahut ponsel hitam saya. Saya cek WA dan notifikasi telp dari teman-teman saya. “Ayo, jadi berangkat gak? Kita tunggu di lobby” pesan teman Saya.


Saya masih sempat menimbang-nimbang ajakan tersebut, sebab sejatinya saya punya 2 janji agenda untuk menghabiskan weekend saya di Bali atau Lombok. Kebetulan malam sebelumnya, saya ketemu dengan dua teman saya dari Bali. Sungguh saya masih kangen dengan suasana guyon bersama mereka. Lima tahun sudah kita tidak bertemu. Kebetulan Saya ada kegiatan di Bali dan mengajak ketemuan mereka. Malam itu juga sebenarnya kami telah sepakat untuk main di Bali. Sekedar mengunjungi Desa Adat Penglipuran dan beberapa wisata budaya yang lain.


Cuma pagi itu juga tiba-tiba teman saya ngabari kalau hanya bisa menemani setelah Sabtu siang. Dia bilang harus mengikuti upacara kemerdekaan dulu di kantornya. Yasudah, akhirnya dengan terburu-buru saya putuskan ikut grup nasidaria tour de Lombok. Dengan keahlian last minute yang telah lama saya latih, saya bisa mengemasi semua barang bawaan ke dalam carrier biru hanya sekejap saja.


Saya lari menuju lobi. Tapi sempet mlipir dulu ke restaurant buat ambil bekal.

Sesampainya di lobi hotel, teman-teman saya sudah pasang muka gak enak. Udah jelek sok marah lagi. Wakacau sih. Pada gak nyadar.


“Busyet, lama banget Lu! Mana telpon gak diangkat!”

“Haha, moon maap sodara, ada kesalahan teknis yang disengaja!”

“Tai, Lu!”

“Hah, kok lu tahu kalau gw belum cebok abis boker tadi!”

“F*CK!!!!!”

“HAHAHA”


Begitulah timpal-timpalan guyon kami mengantar masuk ke mobil jemputan. Tak beberapa lama akhirnya mini bus hitum tersebut melesat menuju ke Pelabuhan Padang Bai.


Pukul 08.30 WITA kami sampai di Padang Bai. Beberapa calo sudah bersiap di depan pintu loket untuk menawari kami tiket kapal cepat. Kami menolak. Karena kami tak terlalu terburu-buru, kami memilih menumpang kapal Ferry biasa. Harga kapal tersebut kalau tidak salah sekitar 45 ribu rupiah.

Sementara jarak tempuh dari Padang Bai ke Lembar kurang lebih 4 jam. Sangat dimungkinkan molor karena 'macet laut'. Maka untuk menghindari macet usahakan berangkat dengan kapal paling pagi yaitu jam 9.00 WITA.




Kadang, naik kapal Ferry dari Padang Bai untung-untungan juga. Kalau stok amal ibadahnya lagi banyak, bisa jadi dapat kapal yang bagus dan bersih. Seperti keberangkatan kami ini. Karena teman-teman saya banyak sekali amal ibadahnya (tentu bukan karena saya), maka kebetulan kami dapat kapal yang masih baru. Di dalam kapal juga ternyata ada satu ruang ber-ac untuk sekedar tidur-tiduran atau tidur beneran juga boleh. Kalua mau pakai ruangan ini gratis. Waktu itu ya, gak tahu kalau sekrang. Tahu sendiri kan masyarakat kita ‘kreatifitasnya’ kayak apa? Kadang bisa jadi lebih kapitalis dari Om Sam sendiri.

Sembari menghabiskan waktu di kapal, kami semua kompak untuk tidur. Berharap ketika bangun sudah sampai di Lembar. Sayangnya kejadian kayak Ashabulkahfi tidak terwujud. Ketika bangun, kami masih di laut dan dan baru menempuh 1 jam perjalanan. Eleh!

Untuk menjauhkan dari rasa bosan, kami lalu room tour kapal.






Setelah room tour kapal selesai, kami balik lagi ke kursi. Melanjutkan tidur. Lalu bangun, makan pop mie. Tidur lagi, bangun lagi, lalu minum. Tidur lagi. Dan ajaibnya, kapal perlahan tapi pasti mulai menepi (bukan ajaib sih, emang waktunya menepi aja). Pemandangan tepi pulau Lombok begitu indah. Kami tercengang. Meski sebenernya ini adalah kali ke-3 saya pergi ke Lombok, tapi belum pernah bepergian naik kapal seperti ini. Biasanya naik getek doang.




Sampai di Lembar, kami dijemput oleh Adi. Oh ya, gak usahlah ya diceritakan gimana kami terlunta-lunta selama satu jam karena salah komunikasi antara Rizal (Nakhoda jalan ke Lombok kali ini) dengan Adi.


Adi ini adalah cucu dari ketua adat Suku Sasak di desa Sembalun. Beliau yang akan mengantarkan kami keliling-keliling Lombok Timur selama 2 hari. Menunggang mini busnya, kami akan diantarkan ke basecamp Sudut Lombok, salah satu komunitas literasi dan pegiat wisata di Lombok Timur. Kurang lebih perjalanan ditempuh selama 4 jam (dengan istirahat makan dan macet). Mustinya kalau lancar perjalanan hanya menempuh waktu 3 jam ‘saja’.

Di tengah perjalanan, kami sempatkan makan siang kesorea-sorean. Kami menepi di salah satu warung makan yang terkenal, RM Lesehan Rarang namanya. Warung tersebut menyajikan Ayam Rarang khas Lombok Timur. Sekali lagi ini bukan ayam taliwang, tapi ayam rarang. Keduanya gak sama lho. Bedanya ada pada bahan masakannya seperti cabai, jenis ayam dan makanan pengiringnya. Ayam rangrang memakai cabai sebiye gero (cabai rawit kering). Cabai kering ini digunakan sebagai bumbu sekaligus pengawet pada makanan khas Lombok. Ayam rangrang juga hanya menggunakan ayam kampung. Kalau kata orang Medan, gak main dia ama ayam kota. Makanya harga lebih mahal daripada ayam taliwang. Satu lagi, makanan pengiring ayam rangrang memakai kuah berupa sayur bening dan kedelai goreng.

Penampakan ayam ini kelihatan pedas. Namun setelah dimakan, ternyata tidak terlalu pedas. (Peringatan: penulis ini punya lidah antipedas, jadi level pedasnya udah di-upgrade. Maka dianjurkan bagi yang tidak terlalu doyan pedas untuk berhati-hati.)





Nyisain satu makanan bisa bikin perpecahan pertemanan.


Selesai makan, kami melanjutkan perjalanan. Sepertinya kami tersihir oleh makanan tadi. Kami semua tidur di dalam mobil hingga tak terasa gelap mulai turun. Waktu itu, bulan sedang memerah. Nampak jelas dari kaca mobil. Sayang, kamera saya kurang mahal dan canggih sehingga momen tersebut tak bisa diabadikan dengan sempurna. Karena sempurna hanya milik Bintang di Benhil (guyon lokal khas anak Benhil).

Akhirnya ditemani bulan yang sedang memerah, sampailah kami di suatu basecamp di Desa Apitaik, Kecamatan Pringgabaya, Lombok Timur. Teman Kami, Andre telah menyambut kami dengan senyum. Dia adalah salah satu pegiat dan aktivis muda di Lombok Timur.

Malam itu, belum juga lapar memanggil, kami sudah ditawari makan malam. Kami diajak makan di rumah warga. Makan santapan yang biasa warga makan. Cukup menarik bukan? Ya bagi kami ini menarik, kami bisa berkenalan dengan warga dan mempelajari budaya mereka.

Kira-kira seperti ini makanan yang disajikan oleh masyarakat. Sebenernya ini foto makan siang kami, cuma karena waktu itu pencahayaan agak gelap jadi gak bisa ambil foto makan malam. 
Selesai makan malam, kami sempat briefing sejenak (tenang MOM-nya nanti dilampirkan). Menimbang dan memutuskan bahwa dikarenakan waktu yang terbatas, maka kami cuma bisa memilih main ke desa Sambalun, kalau sempet ikut menghadiri festival tari Perisai, dan siangnya snorkeling ke gili Kondo, Bidara dan Petagan.


Esoknya, Sabtu 17 Agustus 2019


Pagi pukul 7.00 WITA kami sudah bersiap. Telah sarapan pagi di rumah warga dan sudah berada di atas mobil avanzanya Adi. Kami bersegera menuju ke Desa Sembalun!

Pelan tapi pasti, kami mulai meninggalkan Apitaik. Melewati persawahan dan perkampungan desa yang sejuk dan besih. Lalu perlahan jalanan mulai naik. Udara gunung mulai terasa.






Yang di bawah itu namanya Desa Sembalun



Sayangnya, setelah jalan menanjak dan melalui hamparan pinus kami melihat fenomena jalan yang masih rusak dan dalam proses pembangunan kembali. Ini merupakan dampak dari gempa bumi yang mengguncang kaki Rinjani pertengahan 2018 lalu. Silahkan anda bisa mencari tahu tentang gempa ini disurat kabar online. Gempa terjadi bulan Juli 2018 dengan magnitudo 6,4. Gempa tersebut menjadi yang pertama dan kemudian memicu gempa-gempa selanjutnya sampai rangkaiannya berakhir pada akhir Agustus 2018. Ratusan orang meninggal, puluhan ribu unit rumah rusak, ratusan ribu orang mengungsi. Dan desanya Adi merupakan salah satu yang terparah.
Bekas longsor karena gempa Lombok 2018.

Beberapa rumah juga masih dalam proses renovasi

Adi sempat bercerita bagaimana gempa tersebut membuat kakek dan warganya di Desa Sambalun trauma. Beruntungnya Adi waktu itu sedang berada di Pringgabaya bersama ayah ibu nya. Gempa membuat akses jalan tak bisa dilewati selama beberapa hari. Listrik mati dan sambungan telepon kacau. Bantuan datang telat karena akses jalan yang tak bisa dilalui.


Kini Desa Semabalun dan sekitarnya sudah mulai berbenah, meski nampak puing-puing kerusakan. Satu yang masih tetap tegak, Rinjani. Gunung berapi tertinggi kedua di Indonesia.

Itu Rinjani!


Dianjurkan baca:
Nglayap: Piknik Sedetik Dari Sembalun ke Gili Kondo dan sekitarnya (Lombok Timur Part 2)
Ngelayap: Pasar Apitaik, Pohon Purba Lian, dan Kembali ke Bali (Lombok Timur Part 3)


Tidak ada komentar:

Posting Komentar