Rabu, 25 Maret 2020

Bagaimana Proses Restorasi Cinta Raja III?

PERINGATAN!
Tulisan ini merupakan sambungan dari tulisan Restorasi dan Upaya Menjaga Kesehatan Ekosistem. Tulisan ini sangat bersifat teknis. Sebelum membaca tulisan ini disarankan untuk membaca tulisan sebelumnya
Putra (45) sedang menunjukan perubahan tutupan lahan pada resotrasi Cinta Raja III setalah tahun ke-2. 



Langkah Teknis Restorasi



Selama proses penyiapan lahan dan restorasi, tim melakukan beberapa kegiatan. Kegiatan pra penanaman ini dinilai penting, sebab akan menentukan hasil restorasi dan layer tutupan hutan dikemudian hari. Beberapa kegiatan penting yang dilakukan sebagai berikut:
1. Melakukan pemetaan lokasi restorasi
2. Penumbangan
3. Penyiapan fasilitas seperti pondok jaga dan nursery
4. Analisis vegetasi dengan ekosistem referensi
Analisis vegetasi dengan ekosistem referensi ini penting untuk melihat jenis tanaman yang akan ditanam sesuai dengan habitatnya, termasuk juga identifikasi tumbuhan apa saja yang termasuk fast dan slow growing.
Kegiatan ini termasuk salah satu yang baru diterapkan dalam restorasi YOSL. Ketika projek YOSL pada tahun 2012 di Halaban, mereka tidak menggunakan referensi ini. Dahulu mereka asal melakukan tanaman hutan saja seperti damar dan meranti. Mereka juga tidak menerapkan sistem penanaman campuran antara tanaman yang cepat dan lama tumbuhnya. Padahal, tumbuhan seperti meranti membutuhkan naungan untuk dapat tumbuh. Maka pada awal pertumbuhan kondisinya kritis serta tanaman banyak yang mati.
Selama 3 tahun dengan kondisi yang ada survival rate-nya (sintasan) hanya 60%. 

5. Analisis fenologi
Fenologi sendiri merupakan sebuah ilmu tentang suatu masa (waktu) dari peristiwa-peristiwa biologis yang berulang-ulang, dimana pada msa tersebut turut berperan adalah faktor kekuatan biotik dan abiotic yang dapat berupa hubungan antar fase pada jenis yang sama atau jenis yang berbeda (Lieth, 1974). Ilmu ini dapat diterapkan untuk kegiatan ekologi restorasi terutama untuk pengumpulan benih.
Pada restorasi ini, YOSL juga telah menerapkan analisis fenologi untuk menentukan pohon indukan dan waktu berbuahnya, sehingga dapat ditentukan kapan waktu pembibitan yang tepat. Hasil dari bibit-bibit pohon tersebut setelah ditanam ternyata memiliki daya tumbuh yang tinggi karena proses adaptasi terhadap kondisi tanah dan iklim tak perlu lama.
Berbeda dengan pengalaman restorasi di Halaban (ketika masih asal menanam bibit) tanaman susah untuk tumbuh dan mereka harus membeli tanaman untuk pakan satwa dari luar. Karena ternyata tanaman yang tumbuh tidak cocok dengan satwa yang ada. Sekarang hal tersebut tidak diperlukan lagi.
Keuntungan lain dari analisis fenologi ini selain mengembalikan tanaman asli di kawasan konservasi dan mengurangi invasive spesies juga memastikan kembalinya satwa asli untuk datang kembali.

Setelah proses pra restorasi selesai, proses selanjutnya adalah penanaman. Beberapa langkah-langkah yang dilakukan adalah sebagai berikut:
1. Penyiapan media tanam dan produksi bibit
YOSL membuat sistem bloking untuk pelaksanaan penanaman. Selain untuk merencanakan proses penanaman, sistem bloking juga memudahkan proses monitoring.
Sementara untuk produksi bibit, masyarakat dilibatkan dalam proses pencarian bibit, pembuatan lubang tanam, dan penanamannya.
Saat ini, YOSL juga melakukan inovasi baru untuk mengganti plastik bibit dengan ecopolybag. Ecopolybag sendiri dibuat dari gedebog pisang. Menurut hasil pengamatan dari YOSL dengan ecopolybag ini hasil survival rate lebih tinggi sebab kelembaban tanah terjaga dan gedebog pisang nantinya bisa cepat terurai menjadi seresah/pupuk. 

2. Penanaman
Tanaman untuk restorasi dibagi menjadi dua yaitu jenis fast growing (tanaman yang cepat tumbuhnya) dan slow growing (tanaman yang tumbuhnya lama). Tanaman cepat tumbuh seperti pakam, durian, bayur, marak bangkong, cermai, sungkai, salam, sempuyung, halaban, terap, kayu lanang, dan lain-lain ditanam lebih dahulu daripada tanaman yang lama. Hal ini berfungsi untuk menyuburkan tanah, membentuk iklim mikro, dan sekaligus berperan sebagai pohon induk untuk beberapa tanaman intoleran seperti meranti. Setelah itu baru ditanam slow growing species seperti banitan, medang sengir, keranji, beringin, sentangan, punak, petai rawa, jambu-rambu, renggas rawa, dan lain-lain.
Meskipun restorasi menggunakan jalur tanam, tetapi tanaman alami yang sebelumnya telah tumbuh tidak ikut ditebang. Mereka dibiarkan untuk tetap hidup. Sistem ini disebut Accelerated Natural Regeneration (ANR). 

3. Pemeliharaan termasuk diantaranya penyulaman pada tumbuhan yang mati
Untuk efektivitas waktu kerja, proses pembersihan gulma, perawatan jalur tanam dan penyulaman dilakukan dalam sekali kerja. Sembari melakukan pembersihan gulma dan perawatan jalur tanam, setiap orang akan membawa 20 bibit untuk mengganti tanaman yang mati. Bekas gulma, rumput atau bahkan kotoran gajah digunakan untuk memupuk tanah. Melalui pemupukan seperti ini tampaknya juga lebih efektif karena selain menyuburkan tanah juga berfungsi mengurangi penguapan tanah. Pupuk kompos juga dihindari karena ternyata justru akan mengundang babi hutan untuk datang dan merusak tanaman.
Kegiatan penyulaman secara rutin seminggu setelah penanaman sangat penting untuk mendorong keberhasilan restorasi. YOSL mengatakan bahwa mereka menargetkan survival rate sebesar 80%. Dengan demikian diperlukan bibit dalam jumlah yang banyak. Kebutuhan bibit bisa 2 sampai 3 kali dari jumlah tanaman. Menurut mereka, waktu satu minggu merupakan waktu efektif untuk melihat apakah tanaman bertahan hidup atau tidak.

Proses restorasi tidak berhenti pada penanaman saja, tetapi juga diperlukan perawatan pasca penanaman seperti:
1. Survey dan monitoring biodiversity
Inventarisasi pertumbuhan tanaman diukur dari tinggi dan diameter batang. Monitoring pertumbuhan secara makro juga dilakukan dengan drone dan analisis peta tutupan lahan. Sementara untuk pengamatan satwa liar dengan melakukan pengamatan dan pemasangan kamera jebak.
Indikator restorasi berhasil adalah ketika hewan predator telah datang di kawasan restorasi tersebut. Kedatangan predator menjadi indikator bahwa satwa mangsa sebagai pakan di sana telah datang. Dari pembelajaran restorasi sebelumnya di Halaban dibutuhkan waktu10 tahun untuk dikatakan restorasi terlah berhasil.
2. Monitoring Iklim Mikro restorasi
Dilakukan dengan mengukur suhu dan curah hujan

Langkah Pendekatan  Non Teknis Restorasi:


Pondok restorasi Cinta Raja III
 

1. Live in

Tinggal dan menetap di kawasan restorasi menjadi salah satu kunci sukses dalam pelaksanaan restorasi. Kegiatan live in dipandang penting karena memiliki beberapa manfaat, diantaranya:

a. Keberadaan orang di dalam lokasi restorasi sekaligus dapat mengawasi areal restorasi dari ancaman perambahan. Banyak contoh kasus perambahan di dalam kawasan karena pembiaran dan minimnya pengawasan kawasan sehingga live in bisa menjadi salah satu cara untuk menekan hal tersebut. Selama live in, beberapa kali pekerja lapangan menemukan percobaan pembukaan lahan oleh perambah. Tetapi dengan adanya pondok restorasi dan adanya staf lapangan yang berada di sana selama 24 jam, hal tersebut dapat dicegah. 

b. Persoalan restorasi bukan hanya menanam lalu ditinggal begitu saja. Tetapi diperlukan upaya perawatan seperti penyulaman, pembersihan jalur tanam, dan monitoring hasil. Adanya staf yang berjaga penuh di sana dapat fokus untuk kegiatan tersebut.

2. Pola pendekatan kepada masyarakat

Pendekatan perlu dilakukan dari sejak sebelum kegiatan restorasi dimulai. Sebelum kegiatan restorasi, pendekatan dilakukan untuk proses penumbangan sawit. Pada satu sisi, law enforcement juga diperlukan. Ini untuk memberi efek jera dan memberikan kepastian hukum kepada para tersangka. Sebab kebiasaan masyarakat adalah melihat apa yang dilakukan oleh aparat penegak hukum. Jika penegakan hukum lemah, peraturan akan diabaikan oleh masyarakat.
Sementara kegiatan pendekatan kepada masyarakat sekitar selama proses restorasi adalah dengan cara berbaur dengan masyarakat melalui aktivitas masyarakat seperti kegiatan kerja baki, olahraga, atau terlibat dalam kegiatan adat istiadat desa (kenduri). Hal tersebut dilakukan untuk sosialisasi projek dan membangun dukungan dari masyarakat sekitar. Awal mula ketika pekera restorasi datang masyarakat masih curiga, namun sekarang mereka berhasil membaur dengan masyarakat. Proses pendekatan kurang lebih dilakukan selama 1 tahun.

3. Belajar banyak dari kegagalan restorasi di Halaban

Proses restorasi di Halaban pada tahun 2009-2018 telah diambil pembelajarannya untuk diterapkan pada kegiatan restorasi Cinta Raja 3 ini. Manajement YOSL dan staf lapangan belajar banyak dari kegagalan dan keberhasilan yang telah didapat. Berbagai point pembelajaran yang diterapkan pada restorasi Cinta Raja 3 adalah sebagai berikut:

a. Pendekatan scientific based

YOSL memandang bahwa penting untuk melakukan restorasi berbasis scientific based. Proses tersebut telah diterapkan pada ketiga tahapan restorasi. Diantaranya yang tampak jelas adalah penggunaan ekosistem referensi, analisis vegetasi dan fenologi, penerapan metode penanaman berbasis tanaman fast dan slow growing serta survey dan monitoring menggunakan kamera jebak atau drone.

b. Inovasi teknis lain seperti:
- Mengelabui babi hutan dengan menutup bekas penanaman (tanah baru) dengan seresah bekas pembukaan jalur (rumput-rumput)
-  Mencegah gangguan trenggiling: memasang kawat pelindung tanaman dengan tinggi 30 cm
- Menjaga kelembapan tanah pada tanah kritis/kering di musim kemarau: dulu memakai koran dan kardus untuk menutupi tanah, lalu menggunakan penutup dari seresah alami. Saat ini mereka memakai sistem air ‘infus’, dimana para staf lapangan akan memasang botol aqua berisi air pada ajir tanaman dan selang ntuk mengalirkan air dan ke bawah.

4. Sistem Knowledge Management:

Secara resmi, YOSL memang belum menerapkan Knowledge Management (KM), tetapi jika ditelisik lebih dalam mereka telah menerapkan beberapa prinsip KM, diantaranya:

1. Shared learning terkait inovasi dari pengalaman di lapangan di dalam internal lembaga misalnya melalui rapat internal bulanan
2. Menerapkan hasil pembelajaran dari staf yang lama dan menginventarisasi masukan dari mereka terkait pengembangan metode restorasi
3. Referensi inovasi dari media sosial seperti youtube

(YAN)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar