Jumat, 27 Desember 2019

A Photo Story: Selayang Pandang Suku Anak Dalam



"Dulu, sekedar ngobrol dan lewat di depan perempuan Suku Anak Dalam (SAD) akan dikenakan denda. Minimal beberapa helai kain" ucap salah seorang anak Tumenggung Hasan, yang juga membantu menerjemahkan ucapan ayahnya tersebut kepada kami. 


Siang itu, saya dan rombongan bertamu ke salah satu komunitas Suku Anak Dalam di daerah Muara Tebo, Jambi. Kedatangan kami adalah untuk menemu kenali tentang Suku Anak Dalam yang berada di sekitar lokasi Wildlife Conservation Area (WCA) milik sebuah joint venture perusahaan karet. Kami didapuk untuk dapat memberikan solusi tentang tantangan mewujudkan harmonisasi ruang hidup antara satwa Gajah dengan masyarakat sekitar melalui wadah Kawasan Ekosistem Esensial. SAD menjadi salah satu subyeknya.

Sesungguhnya, tidak ada rumus pasti tentang pemberdayaan pada salah satu suku di Jambi ini. Tiap kelompok SAD memiliki problematika dan latar belakang yang tentu berbeda. Ada SAD yang memang terasing dari tanahanya, ada yang terpojok keberadaanya dengan sawit atau karet, tetapi juga banyak yang secara terus terang menjual tanah-tanah mereka sendiri atau sekedar berpolitik untuk bertahan hidup. 

Jadi, inilah beberapa cerita foto yang saya tangkap pada dua dari tiga Tumenggung (kelompok) SAD yang berada di sekitar kawasan WCA. 




- Perjalanan kami dimulai Soeta-Jakarta, lalu singgah di Bandara Sultan Thaha Syaifudin II, dan berlanjut ke Bandara Muara Tebo. Kemudian, disambung perjalanan darat kurang lebih 3-4 jam di mess suatu perusahaan tempat kami ditampung. Pohon karet dan tanaman sawit menjadi teman perjalanan kami -






- Olahraga pagi di sekitar lokasi WCA untuk inventarisasi keanekaragaman hayati yang ada di sana. Ya, lumayanlah buat cari keringet dan bakar sarapan pagi itu -


"Eh itu apa ya?"  | "Ya, pohon lah" | "Oh iya, benar" |
Sungguh percakapan yang berfaedah.




- Mereka adalah kelompok SAD, atau orang menyebutnya Orang Rimba dari Tumenggung Hasan (baju batik hijau). Kelompok mereka kini mulai hidup menetap. Meski demikian, sehari-hari mereka masih melakukan aktivitas berburu dan meramu. Untuk menunjang kehidupan sehari-harinya, mereka menjual hasil hutan non kayu seperti menjual damar dan jengkol atau petai. Mereka sudah mengenal alat komunikasi seperti Handphone atau alat transportasi modern seperti sepeda motor, bahkan ada yang memiliki mobil - 

- Secara terpisah, kelompok kami yang lain mewawancarai para perempuan Orang Rimba. Mereka mendengar curhatan tentang sekolah anak-anak mereka. Ya, beberapa diantara mereka telah 'sadar' bahwa sekolah penting untuk masa depan mereka kelak. Setidaknya agar tidak ditipu saat bertransaksi. Kelompok Tumenggung Hasan ini juga sudah mengenal perkawinan antar suku. Anaknya sendiri telah kawin dengan salah satu masyarakat sekitar -




- Setelah makan siang, kami kemudian berpindah menuju kelompok Tumenggung Buyung. Kelompok ini sedikit berbeda dengan kelompok sebelumnya. Meski sebenarnya masih ada pertalian darah dengan Tumenggung Hasan. Wilayah kelola kedua suku ini dibatasi oleh Sungai. Mereka masih hidup berpindah-pindah. Memilih bertempat tinggal di daerah Hulu Sungai. Bagi sebagian SAD, tempat terbaik untuk tinggal adalah di daerah hulu. Menurut mereka, daerah hilir merupakan tempat bersemayamnya penyakit-penyakit. 
Kelompok SAD sekitar WCA ini asalnya dari Bukit Dua Belas, sebuah kawasan konservasi yang menjadi pusat hidup SAD di Jambi. Konon, nenek moyang mereka berasal dari sana. 
Orang Rimba juga sangat percaya bahwa karma selalu datang dalam bentuk penyakit. Mereka percaya, ketika ada keluarga yang terkena penyakit pasti ada yang telah melakukan kesalahan atau berbohong.-


----
Epilog: 
"Menjadi Orang Rimba memang sangat sulit, mereka terhimpit oleh modernisasi dan tuntutan ekonomi. Bertahan dengan segala keaslian adalah pilihan yang baik. Tugas kita adalah melindungi tempat tinggal mereka. Pun banyak akhirnya Orang Rimba yang memilih hidup instan sama seperti manusia modern lainnya. Maka tugas kita adalah memberikan kesempatan bagi mereka untuk hidup seperti orang modern dengan segala konsekuensi dan aturan mainnya"
Sekian.  
Foto bercerita ini merupakan salah satu kegiatan projek belajar kami yang didanai oleh Yayasan Unity in Diversity dan Packard Foundation.












Tidak ada komentar:

Posting Komentar