Jumat, 12 Juli 2019

Meski di Plosok, Tak Membuat Desa ini Gaptek Loh!


Kondisi desa Renah Pelaan, Merangin, Jambi.

Matahari waktu itu tepat di atas kepala kami, kala rombongan kami menunggu di depan rumah panggung cat hijau. Untungnya ada beberapa pelindung naungan pohon yang menangkal sinar surya secara langsung. Setelah menunggu sekitar setengah jam, akhirnya nampak dua orang laki-laki dengan motornya dari arah barat.  Apri, pria yang membonceng motor itu datang membawa sebuah laptop.



“Maaf menunggu lama Bang, kami harus mencari laptop yang ada dayanya. Maklum kalau siang tempat kami tidak listrik” ucapnya.

Kemudian, dia mempersilahkan kami naik ke dalam rumah. Mereka mempersilahkan kami duduk dan menghindangkan kopi hasil olahan warga sendiri. Kemudian Apri dan Temannya membuka laptopnya. Apri adalah salah seorang guru sekolah dasar di desa Renah Pelaan. Dulunya, dia adalah salah satu kader database yang dilatih oleh Mitra Aksi.

Tak beberapa lama dia mengakses aplikasi database di laptop bercap TFCA-Sumatera. Saya pun mendekat untuk melihat mereka memaparkan tentang aplikasi data dan informasi desa Renah Pelaan, Jambi. Dia menunjukan kondisi ekonomi masyarakat melalui angka-angka yang tertera di layar laptop.

“Berkat database ini, desa kami mengalami kenaikan peringkat administrasi di Kecamatan Jangkat pada tahun 2019. Kami berhasil naik dari peringkat 15 ke peringkat 4” jelasnya. Manfaat lainnya yang bisa diambil dari penerapan database desa adalah Rencana Kerja Pemerintah dan APBDES berhasil menjadi yang pertama masuk ke kantor Pemberdayaan Masyarakat Desa (PMD) Kabupaten Merangin. Pada level kebijakan, database desa juga mendorong lahirnya BUMDes (Badan Usama Milik Desa) yang sesuai dengan potensi lokal masyarakat desa. Sehingga pangkalan data tersebut menghasilkan rencana BUMDES tepat sasaran. 
Menerangkan tentang database desa.


Pangkalan data desa ini baru saja diperkenalkan oleh Lembaga Mitra Aksi kepada masyarakat desa Renah Pelaan, sekitar 7 bulan yang lalu. Adit, koordinator program Mitra Aksi mengatakan bahwa proses penerapan database desa dimulai dari : sosialisasi manfaat program database kepada masyarakat, penunjukan kader database melalui Surat Keputusan (SK) Desa, peningkatan kapasitas kader melalui pelatihan dan pengenalan alat, praktik sensus pengambilan data sosial dan spasial di desa, input hasil sensus, workshop bersama untuk mempresentasikan analisis dan hasil, rekomendasi dan produk kebijakan, serta update data. Proses tersebut cukup menantang dan tidak mudah, sebab kebanyakan kader database ternyata belum pernah menggunakan laptop. Mereka  harus memulainya dari pelatihan penggunaan laptop. Ketersediaan listrik yang hanya ada di malam hari  membuat mereka harus pintar untuk mengelola waktu.

Setelah kegiatan pelatihan dan orientasi database selesai, kegiatan selanjutnya dilakukan oleh masyarakat desa sendiri. Kader mengambil data-data tiap kepala keluarga seperti jumlah penghuni, jumlah lansia, pencatatan difabel, pendapatan masyarakat, asset keluarga, luas lahan, titik koordinat, foto rumah. Tak lupa mereka akan menempelkan ID pada rumah yangtelah terdata. Data yang didapat kemudian diinput dalam aplikasi. Pekerjaan analisa data peta sebagian besar masih dilakukan oleh Mitra Aksi.

Keterlibatan masyarakat secara langsung ternyata memiliki dua manfaat sekaligus. Pertama, pada tahap inilah proses partisipasi dan kaderisasi dilakukan. Masyarakat dilibatkan secara langsung untuk dapat mengambil pembelajaran dan melihat proses input data. Sehingga ketika nanti Mitra Aksi tidak lagi mendampingi, masyarakat masih tetap dapat melakukan proses tersebut. Kedua, pelibatan masyarakat dalam proses input data untuk memverifikasi data. Kader berasal dari masyarakat dan mereka mengenal tentang seluk beluk desa serta masyarakat yang lain, sehingga data yang diperoleh menjadi lebih akurat.

Setelah input data rampung, tahap selanjutnya adalah analisis data peta dan penyelenggaraan lokakarya untuk memaparkan hasil dan rekomendasi kebijakan kepada masyarakat. Tahap ini menjadi salah satu kegiatan yang penting dalam proses mendorong kebijakan baru dan mengupayakan keterbukaan publik. Masyarakat dapat mengetahui profil dan potensi desa mereka, sehingga dapat bersama-sama merumuskan rekomendasi kebijakan desa. Ada partisipasi yang dibangun di dalam proses mendorong kebijakan baru. Dalam proses ini terjadi diskusi dan tukar pikiran antara masyarakat, kader, pemerintah desa, dan pendamping. Selain itu ada proses penyadartahuan yang dapat mendorong perubahan persepsi terhadap perlindungan kawasan.

Saat ini, melalui pendanaan TFCA-Sumatera, Mitra Aksi mendorong implementasi database di 6 desa (Pulau Tengah, Lubuk Pungguk, Muara Madras, Koto Renah, Renah Pelaan, Renah Alai). Sementara di luar dukungan TFCA-Sumatera, Mitra Aksi telah mendorong penggunaan database kepada 48 desa di Jambi (Kabupaten Kerinci, Tanjung Jabung Timur, Tanjung Jabung Barat, Muara Jambi, dan Merangin).
Menurut Hambali, Pembina Mitra Aksi, rencana pengembangan database desa selanjutnya adalah dengan memasukan data emisi karbon dan Sertifikasi Indikasi Geografis (SIG) tanaman sebagai salah satu indikator perlindungan kawasan hutan. Mimpi besarnya adalah para pemerintah desa dan masyarakat Indonesia dapat bekerja berbasis data, sehingga kebijakan-kebijakan yang dihasilkan berdasarkan scientific dan lebih tepat sasaran. Jika ditilik lagi, ini sejalan dengan paraturan Kementerian Pedesaaan nomor 6 tahun 2014 tentang Desa (Syarat Informasi Desa).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar