Minggu, 30 Juni 2019

Plesiran : Menjejakan Kaki di Dusun Napaksikam, Daerah Paling Ujung Humbang Hasundutan, Sumatera Utara



‘Pagi itu, orang-orang sudah bergegas untuk ke ladang atau ke pasar terdekat menjual hasil bumi yang mereka panen. Napaksikam di pagi hari sangat indah. Kabut masih turun dari bukit-bukit dan menyapu bentang hutan yang menghampar hijau. Suara burung saling beradu satu sama lain. Anak-anak mulai berangkat sekolah’




Bentang Alam sekitar dusun Napaksikam

Menyusuri jalan berkelok nan sepi sembari diiringi hujan dimalam hari membuat saya terkantuk-kantuk. Waktu di jam tangan saya menunjukan pukul 20.15. Diskusi-diskusi hangat di dalam mobil mulai sepi. Bekal kopi lintong yang saya bawa dari Dolok Sanggul juga sudah habis. Rasanya ini konspirasi paling baik untuk rehat sejenak setelah sehari yang melelahkan di Humbang Hasundutan. Saya sandarkan kursi mobil dan mulai memejamkan mata.



Belum lama mata terpejam, saya mulai merasakan goncangan dari jalan yang berlubang. Gerimis masih menemani mobil kami di luar sana. Rombongan Saya terdiri dari 4 mobil. Satu mobil double gardan sudah melesat di depan. Rupanya mereka lupa kalau ‘oto’ di belakang mereka adalah mini bus. Saya berada di urutan ke-2 bersama 2 penumpang lain plus 1 sopir. Beberapa kali bagian bawah mobil kami harus bersentuhan dengan gundukan batu dan tanah. Mata sudah tak lagi terpejam, alarm waspada mulai dinyalakan. Kami hanya takut tangki mobil kami bocor kalau terus-terusan tersandung tanah atau batu. Bukan apa-apa, keberadaan kami cukup jauh dari bengkel, bahkan jarak dari satu desa ke desa lainnya sudah sangat jauh. Disekeliling kami hanya ada sungai, hutan dan kadang persawahan atau perkebunan warga.
Dorong mobil malam hari karena selip


Benar saja, tak beberapa lama mobil kami tiba-tiba harus menderu dengan kencangnya. Setelah sopir menghindari jalan berlubang di depan, mobil kami malah terperosok di lubang yang lainnya. Gas sudah mulai diinjak dalam-dalam dan mesin sudah mulai dipompa penuh. Tetapi tetap saja kami belum beranjak dari kubangan di tengah jalan. Akhirnya di tengah gerimis kami harus turun. Dibantu dengan personel dari mobil lain kami mendorong mobil. Beruntung, mobil masih mau keluar dari kubangan itu.

Kami melanjutkan perjalanan. Malam semakin larut dan gerimis masih saja setia menemani kami. Sementara sinyal semua provider sudah musnah sedari beberapa jam lalu.

Pukul 1 dini hari, semua mobil berhenti di sebuah dusun. Kedatangan kami di dusun tersebut disambut oleh listrik yang padam. Tak lama setelah kami keluar dari mobil, beberapa warga mulai menyambut kehadiran rombongan. Rupanya mereka masih terjaga untuk menunggu kedangan orang-orang dari Jakarta dan Medan ini. Kami dipersilahkan memasuki sebuah rumah. Di ruang tamu rumah tersebut, karpet digelar. Lalu Kami menurunkan tas-tas dan bebersih.

Setelah semua kembali berkumpul di ruang tengah tersebut, salah seorang perwakilan dari ‘Raja’ menyambut kedatangan kami. Mengucapkan selamat datang lalu mempersilahkan kami untuk makan malam. Rupanya mereka telah menyiapkan jamuan untuk malam itu.

“Dore, Dore!” suara ibu-ibu yang melayani kami sambil menumpahkan segunung nasi dari dandang ke piring-piring kami. Dore berarti makan 1 piring (lauk atau sayur) untuk berdua. Malam itu kami disajikan ayam kampung gulai yang lezat. Salah satu budaya masyarakat di sini adalah ketika makan besar, ibu-ibu akan ada di tengah-tengah para tamu. Mereka akan melayani para tamu, memberikan nasi, sayur dan lauk. Lalu menuangkan minuman. Selama kami makan, mereka akan tetap berada di tengah untuk menunggu jika ada tamu yang hendak tambah nasi atau lauk. Sampai kami selesai makan dan mereka akan membawa piring-piring kotor ke belakang. Selama melayani para tamu, mereka tidak diperkenankan makan bersama. Biasanya mereka akan makan setelah semua tamu selesai makan. Mereka akan makan di dapur. 
Seorang Ibu menyajikan sarapan pagi. 


Esoknya, kami bangun kesiangan. Saya buru-buru ke masjid di dekat rumah tempat kami menginap. Ambil air wudhu lalu menjalankan sholat subuh. Sewaktu hendak pulang, saya melihat sandal saya tidak ada. Rupanya, sandal saya terbawa seorang kakek. Belum jauh beliau berjalan, saya hampiri dan kami bertukar sandal. 
Kabut di atas bukit di pagi hari.


Anak-anak berangkat ke sekolah.

Pagi itu, orang-orang sudah bergegas untuk ke ladang atau ke pasar terdekat menjual hasil bumi yang mereka panen. Napaksikam di pagi hari sangat indah. Kabut masih turun dari bukit-bukit dan menyapu bentang hutan yang menghampar hijau. Suara burung saling beradu satu sama lain. Anak-anak mulai berangkat sekolah. 
Jeri dan kawan-kawan bermain di Sawah
Rupanya, saya baru sadar. Ini adalah daerah paling ujung di barat daya Humbang Hasundutan. Sedangkan dusun kami merupakan dusun terakhir yang bisa dijangkau menggunakan mobil. Sebenarnya masih ada 2 dusun lagi yang dipisahkan sungai. Namun penduduknya tak sebanyak Napaksikam. 


Keseharian Masyarakat Napaksikam
Saya menyeberangi sungai dengan getek.


Dusun ini baru saja dikeluarkan dari kawasan Hutan Lindung Siranggas bersamaan dengan keluarnya izin IUPHKm (Izin Usaha Pemanfaatan Hutan Kemasyarakat) pada akhir tahun 2017 lalu. Sebelumnya, pemerintah bahkan tak terlalu tahu menahu tentang keberadaan dusun yang sudah berumur ratusan tahun ini.

Sebagian besar masyarakatnya merupakan petani karet. Lahan karet masyarakat ini berada dalam kawasan lindung yang sekarang sudah ada hak pemanfaatannya untuk 35 tahun ke depan. Karet-karet masyarakat sudah berumur tua. Mereka mengaku jika tanaman karet sekarang adalah warisan dari para orang tua jaman dahulu. Sementara sekarang harga karet lesu, berkisar Rp 6.000,- mereka terpaksa mencari mata pencaharian lain seperti memanen hasil hutan non kayu yang ada. Biasanya mereka mencari petai, durian atau rotan. Selain mengambil hasil hutan, mereka juga mulai memelihara ikan.

Seorang warga hendak membantu mengambilkan getek yang ada di sebrang.


Mata pencaharian masyarakat : 1 - 2. Panen Petai, 3. Panen Rotan, 4. Mengolah Gambir, 4. Menyadap Karet. 



Salah satu ikan yang terkenal dari daerah ini adalah ikan Jurung atau dikenal dengan Ihan (ikan) Batak atau Ikan Mera. Biasanya ikan ini selalu ada dalam setiap pesta adat khas batak. Keberadaannya bisa menjadi pengganti daging kerbau atau babi bagi upacara adat. Ikan yang termasuk dalam keluarga Cyprinidae tersebut hanya dapat hidup di daerah air yang jernih dan mengalir.

Masyarakat Napaksikam sendiri menjaga keberadaan ikan tersebut dengan Lubuk Larangan. Dimana mereka menerapkan aturan adat untuk tidak boleh memanen atau mengambil ikan kecuali pada hari tertentu yang telah disekapati. Sayang sekali, waktu kami berkunjung Lubuk Larangan masih ditutup sehingga tidak bisa dipanen.

Listrik baru masuk ke dusun ini sekitar tahun 2015. Sementara sinyal provider tetap belum masuk di kampung ini. Untuk dapat menggapai sinyal provider dibutuhkan perjuangan 2-3 jam perjalanan ke desa Tarabintang. Hal baiknya adalah, anak-anak tidak terlalu sibuk Mabar PUBG. Mereka memanfaatkan Mabar untuk mencari belut di sawah atau bermain di sungai. Sementara bagi para remaja, surat masih menjadi salah satu cara untuk berkabar dengan sang pujaan. Romantis bukan?  

Meski jarang sekali orang asing datang ke dusun Napaksikam, masyarakat tidak canggung dan cukup terbuka dengan tamu yang ada. Mereka suka untuk ngobrol dan berkumpul menyambut tamu. Buktinya, baru sehari saya sudah cukup akrab dengan orang-orang di sini. Bahkan dengan anak-anak desa saya bisa bersenda gurau dengan lepas. 




Keseharian anak-anak : Mandi di Sungai dan Mencari Belut




Saya ikut mereka untuk mencari belut dan mandi di sungai. Perbedaan anak desa palsu dengan anak desa asli cukup terlihat di sini. Mereka sangat lincah untuk mencari belut dan skillful macam atlet loncat indah ketika mandi di sungai. Sedangkan saya, sebagai anak desa palsu hanya bisa geleng-geleng dengan kemampuan mereka. Saya tak pandai mencari belut, kadang jatuh di pematang sawah, atau cukup melihat mereka loncat dari ketinggian 4 meter dengan gaya salto-nya.

Populasi belut di sini masih cukup banyak. Salah satu bukti kalau tanah mereka masih bagus dan belum banyak terkontaminasi pupuk kimia. Sepertinya mereka juga tahu kalau saya suka dengan belut. Anak-anak itu memberikan belut hasil buruannya kepada saya. Saya terima dengan dengan senang hati dan saya meminta ibu-ibu untuk memasak belut tersebut. Namun sepertinya masyarakat di dusun Napaksikam jarang mengkonsumsi belut, karena ketika saya minta bantuan untuk memasak belut mereka kebingungan.

Sebagai balasan atas kebaikan anak-anak, saya traktir mereka jajanan di warung terdekat. Tak beberapa lama, anak-anak lainnya ikut berkumpul minta traktiran seperti yang lain. Jajan menjadi magnet saya di mata anak-anak. Setelahnya, kemanapun saya pergi, saya selalu digelendotin oleh mereka. Bahkan sampai ketika saya sholat Maghrib, saya masih diikuti anak-anak. Sampai-sampai waktu saya menjalankan sholat jama’ mereka juga ikut. Satu anak bahkan menunggui saya ketika saya berdiskusi dengan imam masjid. Sampai dia tertidur di sebelah saya.

Satu hal yang mereka ingat tentang saya adalah nama marga saya. Sepanjang hari mereka selalu bertanya ‘Om, apa nama marga om?’. Saya jawab ‘marganya Om adalah Marga Satwa’. Lalu tawa dari mereka bergemuruh. 


Islam Di Napaksikam Diantara Minoritas di Humbang Hasundutan
Masjid di Dusun Napaksikam

Shalat Jum'at di Masjid Al - Ikhlas Napaksikam
Sembilan puluh lima persen masyarakat Humbahas adalah beragama Katolik. Sisanya dibagi-bagi menjadi agama yang lain. Islam sendiri hanya berkisar 5000 orang dan tersebar di seluruh Humbahas. Diantaranya, Napaksikam merupakan dusun yang mayoritasnya adalah beragama islam.

Saya bersyukur bisa menginap selama 2 hari di Napaksikam. Saya dapat menemukan masjid dan makan apapun yang disajikan tanpa was-was. Sebelumnya, ketika saya berada di ibu kota kabupaten Humbahas, saya cukup kesulitan mencari makanan halal. Kebanyakan warung menyajikan babi. Selain babi, ada juga daging kuda. Karena mayoritas warung menyajikan 2 daging tersebut, akhirnya saya harus memilih daging kuda untuk saya konsumsi tiap malam.

Perkembangan Islam di Napaksikam dipengaruhi oleh Barus, sebuah kota tua yang terletak di Tapanuli Tengah, Sumatera Utara. Menurut masyarakat, jarak antara Barus dengan dusun mereka hanya berkisar 3 jam dengan jalan kaki. “Agama islam dibawa ke Napaksikam oleh salah seorang Ulama dari Barus, Mas”, ujar seorang tetua desa.

Ini cukup masuk akal mengingat Barus merupakan daerah Islam pertama di Indonesia. Persebaran islam di Barus bahkan lebih tua daripada sejarah Wali Songo di tanah Jawa. Islam masuk ke barus pada abad ke-7 masehi sementara Wali Songo di Jawa ada pada abad ke-14. Pengaruh Islam di Barus dibawa oleh para pedagang dari Timur Tengah. Waktu itu Barus yang dikenal dengan nama Pancur atau Fancur dalam bahasa Arab. Barus dikenal dengan ‘Jalur Rempah-nya karena letaknya yang strategis. Salah satu hasil bumi yang terkenal yang membuat pada pedagang datang ke Barus adalah Kamper. (Yudha  AN)
Seorang warga berseruling menyanyikan lagu daerah mereka.
Disclaimer : 
Semua foto-foto di atas adalah foto pribadi saya. Silahkan menggunakan foto-foto tersebut untuk hal yang bermanfaat (kecuali untuk kepentingan bisnis) dengan syarat mencantumkan sumber dan fotografer-nya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar