Selasa, 07 Mei 2019

Mendorong Kegiatan Konservasi Gajah Sumatera Tepat Sasaran


Ketersediaan habitat alami dan ruang jelajah gajah Sumatera yang semakin terbatas mengakibatkan tingkat konflik gajah dan manusia (KGM) cenderung meningkat. Mengutip data Forum Konservasi Gajah Indonesia (FKGI), jumlah populasi gajah per 2016 diperkirakan sekitar 1.724 ekor. FKGI juga mencatat lebih dari 700 gajah mati dalam 10 tahun terakhir. Sebagian diduga  sengaja dibunuh untuk diambil gadingnya.

Saat ini, populasi Gajah Sumatera tersisa hanya terdapat di tujuh propinsi (Aceh, Sumatera Utara, Riau, Bengkulu, Jambi, Lampung dan Sumatera Selatan). Fakta di lapangan menunjukkan bahwa 85% populasi tersisa diketahui berada di luar kawasan konservasi dan banyak diantaranya tergabung dalam kelompok-kelompok kecil dan terisolir. Hal ini dapat meningkatkan resiko kepunahan lokal dan konflik dengan manusia.

Awal April 2019 lalu, para ahli gajah berkumpul untuk membahas upaya penanggulangan ancaman gajah Sumatera tersebut. Semua sepakat bahwa populasi mammalia besar tersebut menurun dan menghadapi ancaman yang tinggi. Berbagai upaya penyelamatan juga sebenarnya telah dilakukan oleh pemerintah dan lembaga masyarakat, namun belum mampu menjawab keseluruhan permasalahan yang ada. Maka dari itu diperlukan suatu upaya rencana konservasi gajah Sumatera yang tepat sasaran. 


Rekomendasi Kegiatan Konservasi Gajah Sumatera Tepat Sasaran

Beberapa strategi konservasi gajah Sumatera diantaranya adalah mendorong pembangunan kemandirian masyarakat dalam resolusi konflik antara gajah dan manusia (KGM), harmonisasi kebijakan antar lembaga pemerintah, dan penyediaan ruang habitat gajah melalui Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW).

Kemandirian masyarakat dalam mitigasi konflik menjadi penting karena masyarakat adalah subyek utama dalam KGM yang sering terjadi. Masyarakat merupakan aktor tingkat tapak yang sering kali berhadapan langsung dengan kejadian konflik. Untuk itu, masyarakat perlu dilibatkan dan diberi ketrampilan untuk melakukan upaya mitigasi konflik gajah dan manusia secara mandiri. Dengan demikian diharapkan kasus kematian gajah dan korban dipihak masyarakat karena konflik bisa diminimalisir.

Harmonisasi kebijakan antar lembaga pemerintah juga harus didorong. Kerap kali, beberapa kebijakan baru bertabrakan dengan upaya konservasi di tingkat tapak. Misalnya, kebijakan tentang perhutanan sosial (persos) yang saat ini sedang gencar didorong oleh pemerintah pusat. Pada beberapa tempat, izin-izin persos tumpang tindih dengan area jelajah gajah. Hal tersebut bisa memicu konflik baru antara gajah dan manusia. Semestinya, izin-izin persos bisa berjalan sejalan dengan konservasi gajah Sumatera. Untuk itu, perlu ada koordinasi dan harmonisasi kebijakan antar lembaga pemerintah.

Memastikan kelestarian gajah Sumatera juga harus dibarengi dengan menyediakan ruang dan habitat yang baik untuk mereka. Karena daya jelajah gajah yang saat ini banyak berada di luar kawasan konservasi maka perlu meninjau ulang dan memastikan tata kelola Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) di daerah. RTRW harus bisa mengakomodasi daya jelajah gajah dan fungsi-fungsi kawasan lindungnya. Dengan demikian, kawasan tersebut akan mendapat jaminan perlindungan dan pencadangan dalam dokumen RTRW.

 ***
Disclaimer: tulisan ini adalah catatan saya ketika mewakili instansi saya untuk menghadiri diskusi tersebut. 


Tidak ada komentar:

Posting Komentar