“Kalau perekonomian
masih tumbuh, sementara usaha Anda mengalami kemunduran, itu pertanda ada
lawan-lawan baru yang tak terlihat. Temukanlah. Gunakan ilmunya untuk
menciptakan sesuatu yang baru” Steve Jobs
Dewasa ini, perusahaan atau organisasi dituntut selalu
dinamis dalam menangkap kesempatan dan perubahan zaman. Anonim pernah berkata
bahwa kepunahan suatu perusahaan adalah keniscayaan, tetapi tugas kita adalah bagaimana
dapat mengundur kepunahan tersebut. Kepunahan dapat ‘diundur’ ketika
perusahaan atau organisasi ramah terhadap perkembangan zaman.
Salah satu contoh kegagalan perusahaan yang tidak mampu
beradaptasi dengan cepat terhadap perubahan zaman adalah Nokia. Perusahaan
telekomunikasi asal Finlandia ini pernah berjaya cukup lama di bidangnya. Namun
tiba-tiba dia harus terpuruk karena sedikit bebal menangkap perkembangan zaman.
Nokia bersikeras untuk tetap mempertahankan sistem Symbian-nya. Dia menolak
sistem android (yang sekarang merajai pasar gawai di dunia). Nokia melihat
bahwa sistem android waktu itu banyak celahnya. Namun dia tidak melihat
permintaan pasar. Bahasanya Rhenald Kasali, Nokia tak pernah bisa menjembatani permintaan
lintas-generasi. Walhasil, tiba-tiba android berkembang pesat. Pada waktu itu
permintaan gawai tak sebatas menghadirkan perangkat untuk berkomunikasi
melalui telepon. Tetapi bisa hadir bersama dengan kehidupan sehari-hari mereka.
Sebut saja salah satunya, permintaan aplikasi game. Meski banyak kelemahannya waktu itu, Android
dengan sistem Java-nya mampu dengan mudah mengembangkan aplikasi permainan. Bahkan
saat ini, Android telah hadir bersama dalam keseharian masyarakat, dari mulai alat hiburan sampai menyediakan tools pembayaran berbasis elektronik. Sistem Symbian yang
diklaim susah dikembangkan oleh para developer akhirnya harus menyerah. Tak
berhenti disana, pada saat Nokia telah gagal dan melihat besarnya Android saat
itu, mereka malah bekerja sama dengan Microsoft. Mereka masih menolak android. Steven Elop, CEO Nokia waktu itu, mengatakan bahwa Nokia dan Windows Phone-nya akan dapat mengalahkan dominasi
Android. Tetapi kemudian faktanya adalah Nokia masih tetap terpuruk. Dua kali
Nokia harus gagal. Sekarang mereka telah menggandeng Android dalam perangkat
lunaknya, tetapi pada saat yang sama gawai lain sudah berlari meninggalkan Nokia.
Pada zaman serba tidak pasti ini (Disruption Era),
perusahaan semestinya peka terhadap ide-ide baru. Dunia telah berkembang, saat
ini nilai perusahaan bukan pada asset-asset berbentuknya. Tetapi pada asset tak
berwujudnya seperti Sumberdaya Manusia bersama ide-ide luar biasanya. Inilah
yang dinamakan Industri 4.0. Pengelolaan Data dan Pengetahuan menjadi unsur
penting disana. Gagasan-gasaran kebaruan ini bisa ditangkap perusahaan dari
internal perusahaan sendiri atau berdasarkan pembelajaran praktis yang ada.
Untuk bisa dengan mudah memanen pengetahuan tersebut, perusahaan harus dapat
mengelola dan merawat pengetahuan praktis tersebut.
Sistem pengelolaan pengetahuan menjadi penting dalam
perusahaan karena disanalah letak asset intangible (tak berwujud) suatu
perusahaan. Ada banyak kompetisi yang harus dihadirkan dalam sistem pengelolaan
pengetahuan ini misalnya saja infrastruktur (The Expertise Locator), Community
of Interest (COI), Peer Assists, Share Learning, Project Retrospective,
Community of Practice (COP), dan didukung oleh Technologi, Change Management,
serta Strategi pelaksanaan.
Semua kompetensi mestinya memang harus dibangun untuk dapat
mendorong terciptanya sistem pengelolaan pengetahuan yang optimal. Namun, apa
sesungguhnya hal yang lebih penting dari itu semua?
Justru seringkali kita terlena menghabiskan tenaga, pikiran dan cost untuk membuat infrastruktur berbagi. Misalnya menyiapkan aplikasi-aplikasi yang kadang biayanya tidak murah. Dan kita lupa bahwa inti dari Pengelolaan Pengetahuan adalah membudayakan berbagi pengetahuan tersebut. Terkadang, urusan berbagi pengetahuan menjadi sangat sulit karena ada beberapa orang yang menganggap bahwa pengetahuan adalah power. Siapa yang dapat menguasai pengetahuan, dialah yang menang. Anggapan tersebut harus diluruskan, pengetahuan bukanlah power, sebaliknya berbagi adalah power.
Justru seringkali kita terlena menghabiskan tenaga, pikiran dan cost untuk membuat infrastruktur berbagi. Misalnya menyiapkan aplikasi-aplikasi yang kadang biayanya tidak murah. Dan kita lupa bahwa inti dari Pengelolaan Pengetahuan adalah membudayakan berbagi pengetahuan tersebut. Terkadang, urusan berbagi pengetahuan menjadi sangat sulit karena ada beberapa orang yang menganggap bahwa pengetahuan adalah power. Siapa yang dapat menguasai pengetahuan, dialah yang menang. Anggapan tersebut harus diluruskan, pengetahuan bukanlah power, sebaliknya berbagi adalah power.
Berbagi pengetahuan berarti mengulang pengetahuan yang kita
dapatkan untuk diteruskan kepada orang lain. Maka otak akan memanggil kembali
pengetahuan-pengetahuan yang telah tersimpan. Kemudian ketika kita menyampaikan
sesuatu pengalaman atau pembelajaran, ada proses menstrukturkan pikiran.
Sehingga, berbagi juga merupakan proses belajar yang paling efektif bagi yang memberikan
pengetahuan.
Dalam sebuah Learning Pyramid, share learning menjadi satu
tingkatan belajar yang paling tinggi jika dibandingkan dengan pembelajaran yang
lain. Melalaui proses belajar ini dapat lebih meningkatkan kemampuan pemahaman
dari pembelajar. Pembelajar secara tidak langsung akan dituntut untuk lebih
paham terhadap materi yang akan dibagikan kepada peserta lainnya. Hal ini dapat
meningkatkan akselerasi belajar. Tujuan utamanya adalah bukan pada orang yang
menerima (peserta), tetapi pada mereka yang akan memberikan pembelajaran.
Sehingga dapat meningkatkan pengetahuannya.
Dari berbagi dan berdiskusi, kita juga akan mendapatkan
perspektif lain. Perspektif ini kadang sangat penting untuk menyempurnakan
gagasan-gagasan kita. Semakin beragam masukan yang terserap ke dalam otak,
semakin bagus penyempurnaan ide kita. Bagi perusahaan sendiri, budaya berbagi
dapat menjadi best practice learning setiap projek. Harapannya dengan mengambil
pembelajaran dan pengalaman dari projek sebelumnya dapat mengambil pengalaman kegagalan dan kesuksesan dari projek sebelumnya. Sama seperti kata-kata yang
Saya kuote dari Steve Jobs di atas, ambil ilmunya, scale up dan terapkan. Hal ini akan lebih
mengefektifkan projek daripada harus belajar lagi dari trial and error. Pada satu sisi, hal tersebut juga dapat mengurangi cost dari trial and error.
Dalam praktiknya, budaya berbagi bisa melalui tatap muka
langsung seperti sesi share learning khusus atau community of interest (perkumpulan
minat khusus dalam suatu perusahaan atau organisasi). Atau bisa
juga dengan bantuan aplikasi seperti whatsapp, line, atau workspace facebook. Semuanya tentu baik untuk menjadi ruang berbagi. Tetapi, berbagi yang
optimal adalah ketika dilakukan secara informal. Ruang berbagi informal
ini justru terbukti dapat mendorong optimalisasi berbagi. Kita tidak terbatas
sekat-sekat struktural (silo organization)dan suasana lebih cair sehingga lebih mudah untuk
menerima pembelajaran baru.
Pada ekosistem perusahaan atau institusi, terkadang para
karyawan terlalu sibuk dengan dunianya sendiri karena deadline atau jobdesk
yang menumpuk. Sehinga jarang sekali karyawan mau untuk belajar pada hal-hal
baru. Misalnya dengan adanya ruang berbagi seperti share learning, dapat
membuka pandangan baru yang mungkin akan menambah khasanah dalam pekerjaan atau
projek yang sedang ditangani. Hal ini juga dapat membuka peluang kolabarasi
antar departemen.
Ketika perusahaan atau institusi dapat membudidayakan
berbagi pengetahuan, maka akan mudah untuk menciptakan masyarakat pembelajar di
dalamnya.Orang-orang akan lebih terbuka untuk hal-hal
yang baru dan tidak alergi untuk menerapkannya. Bagi perusahaan atau institusi ini akan menjadi lebih peka untuk menangkap
perubahan dan tantangan zaman. Ketika demikian, maka perusahaan
akan lebih sustain dan mendapat provit yang lebih tinggi.
***
Mandatori sebagai praktisi KM. Sebab, berbagi harus dimulai dari diri sendiri. Selamat berbagi!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar