Senin, 06 Mei 2019

Apakah Saya Harus 'Break' Menonton AC Milan?



AC Milan juara Champion 2006/2007. Sumber foto : google.com



 "Pada jaman saya, ketika kami kalah kami tertunduk. Tidak ada yang melihat handphone. Kami melihat Kapten kami, kami merasa malu. Dia (Maldini) memberi contoh arti kerja keras dan komitmen di dalam dan di luar lapangan. Rasanya sekarang kami kehilangan sosok itu" Gattuso pada Maldini




Saya lupa kapan pertama kali saya menonton bola. Tetapi memori paling saya ingat ketika ‘pertama’ kali nonton olahraga paling terkenal di dunia tersebut adalah pertandingan antara Inggris vs Argentina pada Piala Dunia 1998. Saya masih kecil dan hanya nimbrung nonton dengan para orangtua di desa saya. Saya tidak begitu ingat jalannya pertandingan seperti apa, namun satu hal yang paling menonjol yang bisa saya simak adalah diusirnya pemain nomor punggung 7 dari lapangan. Insiden tersebut dimulai ketika 2 orang jatuh lalu berlanjut dengan sedikit tendangan dari si nomor punggung 7 berbaju putih. Akhirnya wasit mengeluarkan 2 buah kartu. Satu kartu kuning untuk Diego Simone, yang kelak bakal menjadi pelatih Atletico Madrid dan satunya kartu merah kepada Pangeran Lapangan dari Inggris, David Beckham.

Mengagumi (pemain) bola waktu kecil memang sederhana. Lihat saja siapa pemain paling jago gocek, cetak gol dan tentu paling good looking. Termasuk saya waktu itu, saya melihat umpan-umpan akurat Beckham dan tendangan pisangnya. Tetapi dalam pertandingan tersebut selain Beckham, saya juga melihat anak muda berbakat. Michael Owen namanya. Dia yang berjasa atas 2 gol ke gawang Argentina. Waktu itu, dia masih menjadi wonder kid berbakat dari Inggris. Skill dan kecepatannya kelihatan menjanjikan. Sayang, karirnya harus hancur karena cidera.

Lewat Michael Owen-lah kemudian saya tahu Liverpool. Aneh, Liverpool dan Inggris memang klub dan negara pertama yang saya ingat ketika menonton bola. Tetapi sekarang saya justru menjadi Milanisti.

Saya tak ingat kapan menjadi Milanisti. Tetapi bisa dipastikan itu bukan pada era keemasannya di bawah asuhan Sacchi dan trio Belanda. Kala itu saya belum lahir dan belum ada youtube atau google yang menunjukan siapa Milan pada waktu itu.



Saya mulai mencintai Milan pada musim 2002/2003, setelah tim merah hitam tersebut menyabet gelar juara Liga Champion. Magnet pertama Milan waktu itu adalah Maldini, Inzaghi, Rui Costa, dan Shevchenko. Sejak saat itu saya mulai mengikuti kiprah Milan.


Gelar juara Champion ke-6.. Sumber foto : google.com
Tak beberapa lama setelah menjuarai Champion ke-6nya, calon legenda Milan, Ricardo Kaka’ datang dari Sao Paulo. Dari Kaka’-lah saya mulai banyak mencari tahu Rossoneri. Saya menyukai gaya main pemain Brasil tersebut. Selain jago gocek, dia adalah pemain dengan kecepatan tinggi dan cerdas. Posisinya pas sebagai trequartista, posisi di belakang dua striker. Salah satu pemain terbaik pada posisi itu di AC Milan hingga saat ini.

Pelan tapi pasti Kaka’ menggantikan posisi Rui Costa. Lalu pada 2006 kala Sheva (panggilan Shevchenko) hijrah ke Chealsea, saya sebagai Milasnisti sempat terpukul. Untungnya, Kaka’ berhasil menggantikan Sheva di hati Milanisti. Setelah juara 2002/2003, Milan berjaya lagi Liga Champion 2006/2007. Padahal materinya kala itu tergolong tua. Namun skuat senior Milan berhasil memukul Manchester United di San Siro. 


Pada pertandingan semifinal itu juga menjadi laga pembuktian antara Kaka' dengan C.Ronaldo. Dua pemain yang digadang-gadang mendapat balon door. Satu momen tak terlupakan ketika Kaka' berhasil mempecundangi 4 tembok terakhir MU (laga tandang Milan ke Old Trafford). Sebelumnya, Kaka’ telah mencetak gol indah dari celah sempit. Namun, saya rasa gol ke-2 ini lebih spektakuler. Kaka’ memanfaatkan bola liar di sisi kanan lapangan. Lalu Kaka’ memenangi duel badan dengan Fletcher. Dan mengecoh Heinze serta Evra sehingga keduanya bertabrakan. Dua bek handal 'Setan Merah' kala itu dibuat tampak amatir. Terakhir, aksi individu tersebut diselesaikan dengan manis. Bola digelintirkan ke sebelah kiri Van Der Saar. Kiper terbaik MU tersebut tak dapat menjangkaunya. “Absolutely Magical” Clyve Tyldesley, komentator pertandingan kala itu. Meski kalah 3-2 di Old Trafford, beberapa hari kemudian MU dipecundangi 3-0 di San Siro.
Magisnya Kaka' saat bertemu M.United di Old Trafford. Sumber foto : google.com


Pertemuan beberapa kali dengan MU juga membuat Sir Alex Ferguson mengagumi sosok bek tangguh Milan, Paolo Maldini. Bahkan jauh sebelum itu. Kala Fergie, datang langsung ke Allianz Arena, kandang Bayern Munich. Beliau datang untuk melihat siapa lawan yang akan dihadapi MU pada semifinal nanti. Lepas pertandingan, dia tidak mengomentari gol Seedorf atau Inzaghi, bahkan penampilan Kaka’ sekalipun. Dia keluar dengan pujian setinggi langit pada Maldini. Saya ingat, suatu ketika pas jam istirahat sekolah saya mampir baca Kompas di perpustakaan. Ada satu artikel menarik yang memberitakan bahwa Ferguson mati kutu menghadapi pemain nomor punggung 3 tersebut. Beliau berkata “tamatlah sudah ketika Maldini masih bermain lagi untuk 2-3 tahun”. Baginya, Maldini adalah pemain terbaik pada masanya.

Lama melihat gaya permainan Milan, saya mulai sadar bahwa sosok penting dibalik kesuksesan Milan pada 2000-an adalah sang kapten, Maldini. Sosok pemimpin lapangan yang disegani. Bahkan Gattuso saja yang kala itu menjadi pemain bengal dan tempramen mengaku lebih takut kepada Maldini ketimbang pelatih. 



Sang Kapten, The Greatest One-Club Men. Sumber foto : google.com
Kala Maldini dan Nesta bermain, Milanisti pasti tidak akan was-was dengan gempuran dari lawan. Dia ada di lini belakang, mengomandoi Nesta, meneriaki dan mewanti-wanti bek kanan dan kiri Milan. Kadang mengapresiasi penyelamatan gemilang Dida. Bahkan kadang mampu menjadi opsi terakhir membuka gol. Semangat dan metalitasnya menular pada pemain lain. Karismanya sebagai pemimpin belum ada yang menyamai di Milan hingga saat ini.

Tahun 2007 juga menjadi ajang balas dendam Milan setelah mimpi buruk 2 tahun sebelumnya. Harus gagal mengangkat tropi setelah unggul 3-0. Milan kemudian bertemu lagi dengan Liverpool. Sebuah misi balas dendam yang dibayar tuntas oleh Inzaghi di Athena.

Itu adalah gelar juara ke-7 Champion dan untuk saat ini menjadi terakhir kali. Lepas tahun tersebut, apalagi setelah kepindahan Kaka’ sepertinya DNA juara Milan luntur. Meski sebenarnya pada tahun 2011, Milan masih sempat menjuarai Serie A di bawah Massimiliano Allegri. Sayangnya, setelah juara tahun 2011 serta kepergian Ibrahimovic, Thiago Silva dan terutama Andrea Pirlo, kemediokeran AC Milan dimulai. Tahun 2014, Milan harus puas diposisi ke-8. Pemecatan Allegri tak terelakan. Lepas itu, pergantian pelatih menghiasi Milan. Milan mencoba memanggil kembali para legendanya untuk meracik 4-4-2 nya. Sayangnya, selevel Seedorf, Inzaghi, bahkan sekarang Gattuso juga susah untuk mengembalikan kejayaan Milan.


Pada fase tersebut, Milan juga harus menghadapi masalah keuangan besar. Tahun 2004/2005, Milan masih berada pada posisi ke-3 klub eropa terkaya dengan pendapatan 234 juta euro. Tetapi, perlahan tapi pasti ancaman dari luar seperti hak siar yang meroket dari klub Inggris mulai terlihat. Management Milan tak mampu berbenah. Infrastruktur yang buruk ditambah calciopoli di Italia membuat penggemar sepak bola modern ogah menengok Serie A. Pada Milan ini berdampak besar, pemain tua mulai habis, tetapi pemain bintang tak juga bisa didatangkan.

Kemunduran Milan yang drastis menyebabkan saya tak lagi rutin menontonnya. Saya bahkan agak mengurangi intensitas membicarakan Milan. Tetapi, layaknya orang yang masih cinta, saya selalu membaca update berita Milan. Kala itu, saya berjanji sementara waktu break dulu.

Meski Milanisti, pada periode 2009 ke atas, saya lebih sering membahas kebangkitan M.City pada era Mancini. Drama perebutan M.City juara tahun 2011/2012 (setelah 44 tahun puasa gelar) membuat saya harus menunda jadwal makan malam bersama pacar saya waktu itu. M.City musti bisa mengunci kemenangan saat berhadapan dengan QPR. Sampai menit +95, juara baru bisa ditentukan. Gol Aguero di menit terakhir membuat semua pendukung City menangis. Saat paling ditunggu-tungu oleh mereka. Mungkin juga saat mereka bisa menyingkirkan M.United, tim sekotanya. Saya sendiri mendukung City bukan karena 100% menyukai gaya mainnya. Tetapi lebih kepada ketidaksukaan saya pada hegemoni M.United di bawah Ferguson. Saya cuma ingin M.U terpleset. Bahkan, saking seringnya membicarakan M.City, saya dikira pendukung sejadi klub biru muda tersebut oleh pacar saya waktu itu. Pernah dia menghadiahi saya bed cover bermotif M.City. Ketika diberi bed cover itu, saya mengernyitkan dahi. Saya berterimakasih, tapi saya bilang ke dia  “kamu tahu? Saya Milanisti”. Dia sempat kaget karena mungkin dalam obrolan kami, jarang sekali saya membicarakan Milan. Hingga berasumsi saya adalah pendukung M.City.

Petaka Milan Lepas Era Berlusconi

Bagi saya, menang dan kalah bukanlah hasil akhir. Tetapi bagaimana cara mereka bermain lebih utama dari itu semua. Hasil akan mengikuti usaha yang dilakukan. Ketika performa stabil dan memiliki determinasi yang kuat, tentu kemenangan pasti akan mengikuti. Sebab itu, bagi saya lolos Champion juga bukanlah target, mestinya target mereka adalah juara Serie A dengan mengembalikan permainan dan menciptakan pemain bintang lagi. Ketika itu terjadi, mestinya lolos Champion akan mengikuti.

Milan hari ini, dari sisi permainan dan pemain belum menjanjikan. Disamping kualitas pemain tak lagi sama dengan yang dulu, permainannya juga tidak stabil. Apalagi sekarang, kalau saya sebutkan pemain Milan, anda pasti akan asing mendengar nama-namanya. Sebut saja, Laxalt, Rodriguez, Calhanoglu, Kessie, Mussachio, Plizzari. Bahkan Casano saja sempat bilang “kalau pemain Milan saat in ada pada masa saya di Milan, pasti mereka tak ada satupun yang masuk skuad 23”. Sebuah perbedaan kualitas yang cukup jauh.


Milan hari ini, rasanya cukup susah untuk menang melawan klub selevel Torino atau bahkan Sassuolo. Kini, kualitas kolektivitas permainan tim tertinggal dengan Atlanta atau Sampdoria. Dengan resources pemain yang sebenarnya di bawah AC Milan, Atlanta saja bisa menjadi tim yang paling produktif di Seria A musim ini (2018/2019).  Tak usah jauh-jauh, saat ini Milan juga kuwalahan ketika bermain di Europa League. Untuk lolos dalam babak 16 besar saja sudah tidak mampu. Meladeni Real Betis dan Olympiakos adalah hal yang sulit. Berbeda pada beberapa dekade lalu, sekelas M.United, Munich, Arsenal, Barcelona atau Liverpool masih bisa dipecundangi.

Di awal musim ini, sebenarnya Milan sempat menjanjikan (2 musim belakangan, saya rutin live streaming pertandingan Milan), namun di tengah musim ketika sebagian pemain didera cidera konsistensi mulai turun. Keluarnya Higuain dan masuknya Piatek membuka angin segar sebenarnya. Beberapa kali Milan sempat menang. Gattuso dipuji. Tetapi manajemen tampaknya lupa, banyak kemenangan yang lahir bukan karena skema permainan baik, tetapi banyak keberentungannya. Gol-gol lahir bukan karena proses menyerang yang bagus.

Sang Pelatih masih miskin kreativitas. Entah karena memang karakter saat dirinya menjadi pemain  atau memang karena skuadnya yang susah untuk diajak bermain cantik. Ketika Si Rhino ini jadi pemain, dia memang hanya mengandalkan semangat dan determinasi saja. Duetnya dengan Pirlo memang baik. Dialah yang memberi ruang Pirlo untuk leluasa berkreasi. Tetapi ketika jadi pelatih, saya rasa menularkan semangat saja belum cukup.


Kreativitas Milan untuk mencetak sebuah gol terus dipertanyakan. Minimnya gelandang kreatif saat ini membuat pemain depan Milan harus susah mendapatkan peluang menendang bola ke arah gawang lawan. Dampaknya adalah striker tajam sekelas Piatek dalam 4 pertandingan terakhir (sampai dengan tulisan ini dimuat) terpaksa puasa gol. Padahal dia merupakan penyerang tajam yang digadang-gadang dapat menggantikan Shevchenko. Statistik selama berseragam dengan Genoa (klubnya di awal musim sebelum pindah ke AC Milan) sangatlah menjanjikan. Dia telah mencetak 18 golnya bersama Genoa. Namun sekarang, ketika di Milan dia harus berjibaku menciptakan gol dengan supply bola yang minim.

Gaya main 4-3-3 yang dipakai ‘hanya’ untuk memfasilitasi Suso ternyata tak kunjung membawa Milan dalam posisi terbaiknya. Bahkan strategi ini cenderung akan gagal ketika Suso sedang tidak pada performanya atau selfish-nya muncul. Pada awal musim, dengan skema ini Suso telah menciptakan 8 assist. Namun setelah itu, performanya kembali menurun sejalan dengan performa Milan. Gaya ini juga mungkin masih kurang nyetel dengan permainan Piatek. 
Squad Milan hari ini, kiri ke kanan : Baka, Piatek, Rodri, Kessie, Mushaccio, Calabria. 
Sumber foto : google.com


Memang, kita tidak bisa mengandalkan Piatek atau Suso saja. Perlu dukungan dari pemain lain. Tetapi kecendurangannya pemain lain pun belum bisa diandalkan. Beberapa tahun lalu, ketika Shevchenko buntu kita masih bisa mengandalkan Inzaghi, pemain yang positioning-nya bagus. Lalu ketika 2 orang tersebut tidak bisa mencetak gol, masih ada Kaka’ yang tiba-tiba dengan kecepatannya bisa menggetarkan gawang lawan. Seedorf dengan kecerdasannya bisa menciptakan peluang dan bahkan mencetak gol. Ketika itu semua tidak berhasil, masih ada Pirlo yang bisa diandalkan dari sepakan bola mati.

Kini, satu-satunya keahlian Milan adalah bermain ‘back pass’. Sejak jaman pelatih Montella hingga dilanjutkan oleh Gattuso. Melalui back pass-nya, pada beberapa pertandingan selalu berhasil memberikan peluang kepada lawan. Sebut saja blunder yang dilakukan oleh Donaruma pada gionarta ke-29.  

Musim 2018/2019 ini, Milan tinggal menyisakan beberapa pertandingan, tetapi permainan Milan tak lekas menjanjikan. Pemain tengah dan depan rasanya susah sekali menciptakan gol dan peluang. Kreativitas tidak ada. Semangat juang juga mudah kendor.

Saya ragu, meski nanti akhirnya Milan lolos Champion atau Europe, malah akan jadi bahan lawakan dan meme baru. Ketika di level liga saja tak mampu berbuat banyak, apa yang bisa diperbuat pada level lebih tinggi? Apakah sudah siap? Saya rasa belum. Masih banyak yang perlu diperbaiki. Mestinya, Milan bisa belajar dari kebangkitan Ajax. Projek Restorasi Van Der Saar dan kawan-kawannya untuk mengembalikan Ajax pada khitoh permainannya telah berhasil. Muda dan bergairah. Ketika tidak bisa mendatangkan pemain bintang, datangkan saja pelatih yang memiliki visi dan ahli dalam meracik pemain-pemain muda layaknya Ten Hag. Meski saya juga harus sadar ini tidak bisa dilakukan dalam jangka waktu yang singkat seperti yang dilakukan Napoli. Tapi, sebagai Milanisti saya akan terus menunggu. Saya rindu menonton permainan cantik-mu. 
***


Tidak ada komentar:

Posting Komentar