AC Milan juara Champion 2006/2007. Sumber foto : google.com |
"Pada jaman saya, ketika kami kalah kami tertunduk. Tidak ada yang melihat handphone. Kami melihat Kapten kami, kami merasa malu. Dia (Maldini) memberi contoh arti kerja keras dan komitmen di dalam dan di luar lapangan. Rasanya sekarang kami kehilangan sosok itu" Gattuso pada Maldini
Saya lupa kapan pertama kali saya menonton bola. Tetapi
memori paling saya ingat ketika ‘pertama’ kali nonton olahraga paling terkenal
di dunia tersebut adalah pertandingan antara Inggris vs Argentina pada Piala Dunia
1998. Saya masih kecil dan hanya nimbrung nonton dengan para orangtua di desa
saya. Saya tidak begitu ingat jalannya pertandingan seperti apa, namun satu hal
yang paling menonjol yang bisa saya simak adalah diusirnya pemain nomor
punggung 7 dari lapangan. Insiden tersebut dimulai ketika 2 orang jatuh lalu berlanjut
dengan sedikit tendangan dari si nomor punggung 7 berbaju putih. Akhirnya wasit
mengeluarkan 2 buah kartu. Satu kartu kuning untuk Diego Simone, yang kelak
bakal menjadi pelatih Atletico Madrid dan satunya kartu merah kepada Pangeran
Lapangan dari Inggris, David Beckham.
Mengagumi (pemain) bola waktu kecil memang sederhana. Lihat
saja siapa pemain paling jago gocek, cetak gol dan tentu paling good looking. Termasuk saya waktu itu,
saya melihat umpan-umpan akurat Beckham dan tendangan pisangnya. Tetapi dalam pertandingan
tersebut selain Beckham, saya juga melihat anak muda berbakat. Michael Owen
namanya. Dia yang berjasa atas 2 gol ke gawang Argentina. Waktu itu, dia masih
menjadi wonder kid berbakat dari Inggris. Skill dan kecepatannya kelihatan
menjanjikan. Sayang, karirnya harus hancur karena cidera.
Lewat Michael Owen-lah kemudian saya tahu Liverpool. Aneh,
Liverpool dan Inggris memang klub dan negara pertama yang saya ingat ketika
menonton bola. Tetapi sekarang saya justru menjadi Milanisti.
Saya tak ingat kapan menjadi Milanisti. Tetapi bisa
dipastikan itu bukan pada era keemasannya di bawah asuhan Sacchi dan trio
Belanda. Kala itu saya belum lahir dan belum ada youtube atau google yang
menunjukan siapa Milan pada waktu itu.
Saya mulai mencintai Milan pada musim 2002/2003, setelah tim merah hitam tersebut menyabet gelar juara Liga Champion. Magnet pertama Milan waktu itu adalah Maldini, Inzaghi, Rui Costa, dan Shevchenko. Sejak saat itu saya mulai mengikuti kiprah Milan.
Gelar juara Champion ke-6.. Sumber foto : google.com |
Pelan tapi pasti Kaka’ menggantikan posisi Rui Costa. Lalu
pada 2006 kala Sheva (panggilan Shevchenko) hijrah ke Chealsea, saya sebagai
Milasnisti sempat terpukul. Untungnya, Kaka’ berhasil menggantikan Sheva di
hati Milanisti. Setelah juara 2002/2003, Milan berjaya lagi Liga Champion
2006/2007. Padahal materinya kala itu tergolong tua. Namun skuat senior Milan
berhasil memukul Manchester United di San Siro.
Pada pertandingan semifinal itu juga menjadi laga pembuktian antara Kaka' dengan C.Ronaldo. Dua pemain yang digadang-gadang mendapat balon door. Satu momen tak terlupakan ketika Kaka' berhasil
mempecundangi 4 tembok terakhir MU (laga tandang Milan ke Old Trafford). Sebelumnya, Kaka’ telah mencetak gol indah
dari celah sempit. Namun, saya rasa gol ke-2 ini lebih spektakuler. Kaka’
memanfaatkan bola liar di sisi kanan lapangan. Lalu Kaka’ memenangi duel badan
dengan Fletcher. Dan mengecoh Heinze serta Evra sehingga keduanya bertabrakan.
Dua bek handal 'Setan Merah' kala itu dibuat tampak amatir. Terakhir, aksi individu
tersebut diselesaikan dengan manis. Bola digelintirkan ke sebelah kiri Van Der
Saar. Kiper terbaik MU tersebut tak dapat menjangkaunya. “Absolutely Magical”
Clyve Tyldesley, komentator pertandingan kala itu. Meski kalah 3-2 di Old
Trafford, beberapa hari kemudian MU dipecundangi 3-0 di San Siro.
Magisnya Kaka' saat bertemu M.United di Old Trafford. Sumber foto : google.com |
Pertemuan beberapa kali dengan MU juga membuat Sir Alex
Ferguson mengagumi sosok bek tangguh Milan, Paolo Maldini. Bahkan jauh sebelum itu. Kala Fergie, datang
langsung ke Allianz Arena, kandang Bayern Munich. Beliau datang untuk melihat
siapa lawan yang akan dihadapi MU pada semifinal nanti. Lepas pertandingan, dia tidak mengomentari gol Seedorf atau
Inzaghi, bahkan penampilan Kaka’ sekalipun. Dia keluar dengan pujian setinggi langit pada Maldini. Saya ingat, suatu ketika pas jam istirahat sekolah
saya mampir baca Kompas di perpustakaan. Ada satu artikel menarik yang
memberitakan bahwa Ferguson mati kutu menghadapi pemain nomor punggung 3
tersebut. Beliau berkata “tamatlah sudah ketika Maldini masih bermain lagi
untuk 2-3 tahun”. Baginya, Maldini adalah
pemain terbaik pada masanya.
Lama melihat gaya permainan Milan, saya mulai sadar bahwa
sosok penting dibalik kesuksesan Milan pada 2000-an adalah sang kapten, Maldini.
Sosok pemimpin lapangan yang disegani. Bahkan Gattuso saja yang kala itu
menjadi pemain bengal dan tempramen mengaku lebih takut kepada Maldini
ketimbang pelatih.
Sang Kapten, The Greatest One-Club Men. Sumber foto : google.com |
Tahun 2007 juga menjadi ajang balas dendam Milan setelah
mimpi buruk 2 tahun sebelumnya. Harus gagal mengangkat tropi setelah unggul
3-0. Milan kemudian bertemu lagi dengan Liverpool. Sebuah misi balas dendam
yang dibayar tuntas oleh Inzaghi di Athena.
Itu adalah gelar juara ke-7 Champion dan untuk saat ini menjadi terakhir kali. Lepas tahun tersebut, apalagi setelah kepindahan Kaka’ sepertinya DNA juara Milan luntur. Meski sebenarnya pada tahun 2011, Milan masih sempat menjuarai Serie A di bawah Massimiliano Allegri. Sayangnya, setelah juara tahun 2011 serta kepergian Ibrahimovic, Thiago Silva dan terutama Andrea Pirlo, kemediokeran AC Milan dimulai. Tahun 2014, Milan harus puas diposisi ke-8. Pemecatan Allegri tak terelakan. Lepas itu, pergantian pelatih menghiasi Milan. Milan mencoba memanggil kembali para legendanya untuk meracik 4-4-2 nya. Sayangnya, selevel Seedorf, Inzaghi, bahkan sekarang Gattuso juga susah untuk mengembalikan kejayaan Milan.
Pada fase tersebut, Milan juga harus menghadapi masalah
keuangan besar. Tahun 2004/2005, Milan masih berada pada posisi ke-3 klub eropa
terkaya dengan pendapatan 234 juta euro. Tetapi, perlahan tapi pasti ancaman
dari luar seperti hak siar yang meroket dari klub Inggris mulai terlihat.
Management Milan tak mampu berbenah. Infrastruktur yang buruk ditambah
calciopoli di Italia membuat penggemar sepak bola modern ogah menengok Serie A.
Pada Milan ini berdampak besar, pemain tua mulai habis, tetapi pemain bintang
tak juga bisa didatangkan.
Kemunduran Milan yang drastis menyebabkan saya tak lagi rutin menontonnya. Saya bahkan agak mengurangi intensitas membicarakan Milan. Tetapi,
layaknya orang yang masih cinta, saya selalu membaca update berita Milan. Kala
itu, saya berjanji sementara waktu break
dulu.
Meski Milanisti, pada periode 2009 ke atas, saya
lebih sering membahas kebangkitan M.City pada era Mancini. Drama perebutan M.City
juara tahun 2011/2012 (setelah 44 tahun puasa gelar) membuat saya harus menunda
jadwal makan malam bersama pacar saya waktu itu. M.City musti bisa mengunci
kemenangan saat berhadapan dengan QPR. Sampai menit +95, juara baru bisa
ditentukan. Gol Aguero di menit terakhir membuat semua pendukung City menangis.
Saat paling ditunggu-tungu oleh mereka. Mungkin juga saat mereka bisa
menyingkirkan M.United, tim sekotanya. Saya sendiri mendukung City bukan karena
100% menyukai gaya mainnya. Tetapi lebih kepada ketidaksukaan saya pada
hegemoni M.United di bawah Ferguson. Saya cuma ingin M.U terpleset. Bahkan, saking
seringnya membicarakan M.City, saya dikira pendukung sejadi klub biru muda
tersebut oleh pacar saya waktu itu. Pernah dia menghadiahi saya bed cover bermotif M.City.
Ketika diberi bed cover itu, saya mengernyitkan dahi. Saya berterimakasih, tapi
saya bilang ke dia “kamu tahu? Saya
Milanisti”. Dia sempat kaget karena mungkin dalam obrolan kami, jarang sekali
saya membicarakan Milan. Hingga berasumsi saya adalah pendukung M.City.
Petaka Milan Lepas Era Berlusconi
Bagi saya, menang dan kalah bukanlah hasil akhir. Tetapi
bagaimana cara mereka bermain lebih utama dari itu semua. Hasil akan mengikuti
usaha yang dilakukan. Ketika performa stabil dan memiliki determinasi yang
kuat, tentu kemenangan pasti akan mengikuti. Sebab itu, bagi saya lolos
Champion juga bukanlah target, mestinya target mereka adalah juara Serie A dengan
mengembalikan permainan dan menciptakan pemain bintang lagi. Ketika itu
terjadi, mestinya lolos Champion akan mengikuti.
Milan hari ini, dari sisi permainan dan pemain belum menjanjikan. Disamping kualitas pemain tak lagi sama dengan yang dulu, permainannya juga tidak stabil. Apalagi sekarang, kalau saya sebutkan pemain Milan, anda pasti akan asing mendengar nama-namanya. Sebut saja, Laxalt, Rodriguez, Calhanoglu, Kessie, Mussachio, Plizzari. Bahkan Casano saja sempat bilang “kalau pemain Milan saat in ada pada masa saya di Milan, pasti mereka tak ada satupun yang masuk skuad 23”. Sebuah perbedaan kualitas yang cukup jauh.
Milan hari ini, rasanya cukup susah untuk menang melawan
klub selevel Torino atau bahkan Sassuolo. Kini, kualitas kolektivitas permainan
tim tertinggal dengan Atlanta atau Sampdoria. Dengan resources pemain yang sebenarnya di bawah AC Milan, Atlanta saja
bisa menjadi tim yang paling produktif di Seria A musim ini (2018/2019). Tak usah jauh-jauh, saat ini Milan juga
kuwalahan ketika bermain di Europa League. Untuk lolos dalam babak 16 besar
saja sudah tidak mampu. Meladeni Real Betis dan Olympiakos adalah hal yang
sulit. Berbeda pada beberapa dekade lalu, sekelas M.United, Munich, Arsenal,
Barcelona atau Liverpool masih bisa dipecundangi.
Di awal musim ini, sebenarnya Milan sempat menjanjikan (2 musim belakangan,
saya rutin live streaming pertandingan Milan), namun di tengah musim ketika sebagian pemain didera cidera konsistensi mulai turun. Keluarnya Higuain dan masuknya Piatek membuka angin segar sebenarnya.
Beberapa kali Milan sempat menang. Gattuso dipuji. Tetapi manajemen tampaknya
lupa, banyak kemenangan yang lahir bukan karena skema permainan baik, tetapi
banyak keberentungannya. Gol-gol lahir bukan karena proses menyerang yang bagus.
Sang Pelatih masih miskin kreativitas. Entah karena memang karakter
saat dirinya menjadi pemain atau memang karena skuadnya yang susah
untuk diajak bermain cantik. Ketika Si Rhino ini jadi pemain, dia memang hanya mengandalkan semangat dan determinasi saja. Duetnya dengan Pirlo memang baik.
Dialah yang memberi ruang Pirlo untuk leluasa berkreasi. Tetapi ketika jadi pelatih, saya rasa menularkan semangat saja belum cukup.
Kreativitas Milan untuk mencetak sebuah gol terus dipertanyakan. Minimnya gelandang kreatif saat ini membuat pemain depan Milan harus susah mendapatkan peluang menendang bola ke arah gawang lawan. Dampaknya adalah striker tajam sekelas Piatek dalam 4 pertandingan terakhir (sampai dengan tulisan ini dimuat) terpaksa puasa gol. Padahal dia merupakan penyerang tajam yang digadang-gadang dapat menggantikan Shevchenko. Statistik selama berseragam dengan Genoa (klubnya di awal musim sebelum pindah ke AC Milan) sangatlah menjanjikan. Dia telah mencetak 18 golnya bersama Genoa. Namun sekarang, ketika di Milan dia harus berjibaku menciptakan gol dengan supply bola yang minim.
Gaya main 4-3-3 yang dipakai ‘hanya’ untuk memfasilitasi
Suso ternyata tak kunjung membawa Milan dalam posisi terbaiknya. Bahkan
strategi ini cenderung akan gagal ketika Suso sedang tidak pada performanya
atau selfish-nya muncul. Pada awal
musim, dengan skema ini Suso telah menciptakan 8 assist. Namun setelah itu,
performanya kembali menurun sejalan dengan performa Milan. Gaya ini juga
mungkin masih kurang nyetel dengan permainan Piatek.
Squad Milan hari ini, kiri ke kanan : Baka, Piatek, Rodri, Kessie, Mushaccio, Calabria.
Sumber foto : google.com
|
Memang, kita tidak bisa mengandalkan Piatek atau Suso saja.
Perlu dukungan dari pemain lain. Tetapi kecendurangannya pemain lain pun belum
bisa diandalkan. Beberapa tahun lalu, ketika Shevchenko buntu kita masih bisa
mengandalkan Inzaghi, pemain yang positioning-nya bagus. Lalu ketika 2 orang
tersebut tidak bisa mencetak gol, masih ada Kaka’ yang tiba-tiba dengan
kecepatannya bisa menggetarkan gawang lawan. Seedorf dengan kecerdasannya bisa
menciptakan peluang dan bahkan mencetak gol. Ketika itu semua tidak berhasil,
masih ada Pirlo yang bisa diandalkan dari sepakan bola
mati.
Kini, satu-satunya keahlian Milan adalah bermain ‘back pass’. Sejak jaman pelatih Montella
hingga dilanjutkan oleh Gattuso. Melalui back
pass-nya, pada beberapa pertandingan selalu berhasil memberikan peluang
kepada lawan. Sebut saja blunder yang dilakukan oleh Donaruma pada gionarta ke-29.
Musim 2018/2019 ini, Milan tinggal menyisakan beberapa
pertandingan, tetapi permainan Milan tak lekas menjanjikan. Pemain tengah dan
depan rasanya susah sekali menciptakan gol dan peluang. Kreativitas tidak ada.
Semangat juang juga mudah kendor.
Saya ragu, meski nanti akhirnya Milan lolos Champion atau
Europe, malah akan jadi bahan lawakan dan meme baru. Ketika di level liga saja
tak mampu berbuat banyak, apa yang bisa diperbuat pada level lebih tinggi?
Apakah sudah siap? Saya rasa belum. Masih banyak yang perlu diperbaiki. Mestinya,
Milan bisa belajar dari kebangkitan Ajax. Projek Restorasi Van Der Saar dan
kawan-kawannya untuk mengembalikan Ajax pada khitoh permainannya telah
berhasil. Muda dan bergairah. Ketika tidak bisa mendatangkan pemain bintang,
datangkan saja pelatih yang memiliki visi dan ahli dalam meracik pemain-pemain
muda layaknya Ten Hag. Meski saya juga harus sadar ini tidak bisa dilakukan
dalam jangka waktu yang singkat seperti yang dilakukan Napoli. Tapi, sebagai
Milanisti saya akan terus menunggu. Saya rindu menonton permainan cantik-mu.
***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar