Senin, 11 Desember 2017

Asa yang Tak Pernah Pupus di Tanggamus


seorang petani sedang mendekap pohon yang tumbuh di areal HKm-nya. Foto oleh Agus Prijono.


Dari gubug di tepi ladang itu, mata Makpul (58) menatap ke depan, menerawang. Sejurus lalu, dia mulai bertutur tentang kenangan yang tak mungkin lekang dari ingatannya dan para anggota gabungan kelompok tani (gapoktan) Hutan Kemasyarakatan (HKm) Pala Makmur, Kabupaten Tanggamus, Lampung, lainnya.
“Segalanya tak mudah untuk memulai HKm ini. Mulai dari kucing-kucingan dengan aparat, pengusiran, pungutan liar hasil hutan, sampai dengan ditipu lewat iming-iming HKm. Proses sulit itu tak mungkin kami lupakan,” tutur Makpul. 
Tapi, hal tersebut tinggal kisah lalu. Kini, petani Pala Makmur telah mengunduh hasil perjuangan mereka bertahun-tahun melalui skema HKm. Mereka dapat mengelola lahan hutan secara produkif dan lestari melalui produk pertanian, sekaligus menjaga kelestarian hutan. 
Sebelum HKm diimplementasikan oleh sejumlah gapoktan di Kabupaten Tanggamus, perambahan liar terhadap hutan lindung di dekat kawasan tersebut umum terjadi. 
Menurut Makpul, dia merupakan generasi kedua yang mengelola lahan di kawasan hutan negara. Orang tuanya termasuk yang generasi pertama membuka hutan. Pembukaan hutan lindung di sekitar Tanggamus dimulai sekitar tahun 1960-an atau ada yang mengatakan jauh sebelum itu.  
Bukannya tanpa solusi, pemerintah berusaha memindahkan masyarakat melalui transmigrasi pada tahun 1980-an dan setelahnya. Namun sulitnya ekonomi di tempat transmigrasi membuat sebagian orang kembali ke Tanggamus.



Memasuki akhir 1990-an, keadaan tak berlangsung membaik. Pada 1998-1999 kisruh politik di Jakarta memperkeruh situasi di hutan lindung. Kisruh politik menyulut pembukaan hutan lindung secara besar-besaran. Lalu angin segar mulai berembus tahun 2007 ketika lima gapoktan pertama di Tanggamus mendapatkan izin kelola. 
Bukannya tanpa usaha, para petani telah mengupayakan pengajuan HKm. Mereka telah mengeluarkan biaya banyak namun kandas atau ditipu oleh oknum. Kegagalan menyebakan Makpul dan anggota kelompoknya mulai putus asa. 
Sekitar tahun 2013, Yayasan KEHATI melalui program TFCA Sumatera menggandeng Konsorsium Kota Agung Utara (KORUT) dalam upaya mengembalikan fungsi hutan di Register 39 sebagai penyangga Taman Nasional Bukit Barisan Selatan dan daerah tangkapan air Waduk Batu Tegi melalui mekanisme teknis kehutanan yang tepat. Salah satu kegiatan dalam program ini adalah pendampingan HKm untuk warga di Tanggamus yang tinggal di dalam dan sekitar hutan penyangga tersebut.
"Oleh KORUT, kami didampingi untuk mengurus proposal, memetakan lahan dan bermusyawarah bersama,” terang Makpul. 
Pada saat masyarakat mulai letih dengan proses izin Perhutanan Sosial, KORUT hadir sebagai pendamping untuk mempercepat proses. Lembaga swadaya masyarakat ini membantu menyusun rencana kerja, menata batas, dan memperbahuri data petani. 
Fajar Sumantri, Koordinator KORUT, menjelaskan, salah satu nilai penting dalam mendorong terbitnya izin HKm adalah kesadaran masyarakat untuk memiliki inisiatif mengusahakan HKm. Upaya memahamkan masyarakat tentang HKm haruslah matang. Untuk itu, sosialisasi menjadi kuncinya.
“Bila sudah paham, petani baru mau bergerak. Kelemahan di lapangan, bila hanya tahu permukaannya saja, kelompok gampang gamang” ujarnya. 
Pembagian kerja antara pendamping dan mitra dampingan mestinya harus jelas. Prinsipnya semua rencana dan kegaiatan disusun bersama. Semua harus dilibatkan. Transparansi ini juga untuk menghapus pengalaman pahit di masa lalu agar tidak terjebak oknum makelar HKm. 

Izin HKm hanyalah Awal
Pendampingan KEHATI melalui KORUT ini mulai menampakkan hasilnya pada tahun 2014 seiring terbitnya 18 izin usaha pengelolaan HKm. Setelah mendapatkan izin usaha pengelolaan (IUP) HKm, tentu ini bukan menjadi akhir. Sebaliknya, justru menjadi awal dari tantangan sesungguhnya dalam pengelolaan perhutanan sosial. 
Tak berhenti pada proses pendampingan izin HKm, KORUT pun terlibat dalam proses pendampingan tata kelola kelembagaan, kawasan dan usaha. Bentuk pendampingan ini disesuaikan dengan level kapasitas kelompok masing-masing, seperti fasilitas pemasaran, akses kredit, membentuk koperasi, sampai membuka jaringan kemitraan.
Usaha-usaha ini pelan tapi pasti membuahkan hasil. Pada tahun 2015, anggota Beringin Jaya memperoleh pinjaman dari Kredit Ketahanan Pangan dan Energi (KKPE) Bank Rakyat Indonesia senilai Rp 1,74 miliar. Kredit itu tersebar di 69 anggota Beringin Jaya. Pinjaman kredit ini digunakan sebagai modal masyarakat untuk mengelola lahannya. 
Dari sisi perekonomiannya, masyarakat juga mengalami peningkatakan pendapatan yang signifikan. Penelitian KORUT tahun 2008 memperlihatkan bahwa pendapatan terendah petani adalah Rp 1,1 juta setahun. Sejak tahun 2015, setelah ada HKm, pendapatan terendahnya menjadi Rp 4,1 juta tiap musim panen. Naiknya pendapatan ini didorong oleh legalitas HKm sehingga membuat petani serius dalam mengelola tanamannya. 
Sedangkan pada pemberdayaan perempuan, ada Kelompok Wanita Tani Hutan Himawari yang membuka peluang bisnis dengan menjual kopi premium. Kopi-kopi yang mereka jual, seperti kopi codot, kopi mahoni, kopi lanang, kopi cilik, kopi kemiri, kopi sonokeling dan kopi codot laku di pasaran dengan harga jual yang tinggi. 
Dari sisi pengelolaan kawasan, masyarakat membentuk patroli pengamanan kawasan hutan (pamhut) secara swadaya. Hasil pamhut ini terlihat pada tahun 2015 ketika kebakaran hutan terjadi di banyak tempat, justru kawasan hutan di Tanggamus aman. 
Capaian-capaian ini membuat mereka diganjar penghargaan oleh KLHK sebagai HKm terbaik pada tahun 2016 dan 2017. HKm Sidodadi memenangi Wana Lestari Kementerian Lingkungan dan Kehutanan pada tahun 2017 dan HKm Beringin jaya pada tahun sebelumnya.
Hasil-hasil positif ini memang menggembirakan. Tetapi, pekerjaan rumah yang lebih besar juga menanti, khususnya bagaimana menutup lubang-lubang di tingkat kelompok tani dalam hal penguatan kapasitas masyarakat, menyeragamkan pengetahuan tentang HKm, serta pengembangan usaha tingkat regional dan nasional. 
Selain itu, yang tak kalah penting adalah keseimbangan antara pemberdayaan masyarakat dan pemanfaatan ekonomi dengan perlindungan ekosistemnya. Tanpa itu semua, mustahil tercapai kelestarian dan pemanfaatan sumberdaya hutan yang berkelanjutan. (Yudha Arif Nugroho)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar