seorang petani sedang mendekap pohon yang tumbuh di areal HKm-nya. Foto oleh Agus Prijono.
|
Dari gubug di tepi ladang itu, mata Makpul (58) menatap ke
depan, menerawang. Sejurus lalu, dia mulai bertutur tentang kenangan yang tak
mungkin lekang dari ingatannya dan para anggota gabungan kelompok tani (gapoktan)
Hutan Kemasyarakatan (HKm) Pala Makmur, Kabupaten Tanggamus, Lampung, lainnya.
“Segalanya tak mudah untuk memulai HKm ini. Mulai dari
kucing-kucingan dengan aparat, pengusiran, pungutan liar hasil hutan, sampai
dengan ditipu lewat iming-iming HKm. Proses sulit itu tak mungkin kami lupakan,”
tutur Makpul.
Tapi, hal tersebut tinggal kisah lalu. Kini, petani Pala
Makmur telah mengunduh hasil perjuangan mereka bertahun-tahun melalui skema HKm.
Mereka dapat mengelola lahan hutan secara produkif dan lestari melalui produk
pertanian, sekaligus menjaga kelestarian hutan.
Sebelum HKm diimplementasikan oleh sejumlah gapoktan di
Kabupaten Tanggamus, perambahan liar terhadap hutan lindung di dekat kawasan
tersebut umum terjadi.
Menurut Makpul, dia merupakan generasi kedua yang mengelola
lahan di kawasan hutan negara. Orang tuanya termasuk yang generasi pertama
membuka hutan. Pembukaan hutan lindung di sekitar Tanggamus dimulai sekitar
tahun 1960-an atau ada yang mengatakan jauh sebelum itu.
Bukannya tanpa solusi, pemerintah berusaha memindahkan masyarakat
melalui transmigrasi pada tahun 1980-an dan setelahnya. Namun sulitnya ekonomi
di tempat transmigrasi membuat sebagian orang kembali ke Tanggamus.
Memasuki akhir 1990-an, keadaan tak berlangsung membaik. Pada
1998-1999 kisruh politik di Jakarta memperkeruh situasi di hutan lindung.
Kisruh politik menyulut pembukaan hutan lindung secara besar-besaran. Lalu angin
segar mulai berembus tahun 2007 ketika lima gapoktan pertama di Tanggamus mendapatkan
izin kelola.
Bukannya tanpa usaha, para petani telah mengupayakan
pengajuan HKm. Mereka telah mengeluarkan biaya banyak namun kandas atau ditipu
oleh oknum. Kegagalan menyebakan Makpul dan anggota kelompoknya mulai putus asa.
Sekitar tahun 2013, Yayasan KEHATI melalui program TFCA
Sumatera menggandeng Konsorsium Kota Agung Utara (KORUT) dalam upaya mengembalikan
fungsi hutan di Register 39 sebagai penyangga Taman Nasional Bukit Barisan
Selatan dan daerah tangkapan air Waduk Batu Tegi melalui mekanisme teknis kehutanan
yang tepat. Salah satu kegiatan dalam program ini adalah pendampingan HKm untuk
warga di Tanggamus yang tinggal di dalam dan sekitar hutan penyangga tersebut.
"Oleh KORUT, kami didampingi untuk mengurus proposal,
memetakan lahan dan bermusyawarah bersama,” terang Makpul.
Pada saat masyarakat mulai letih dengan proses izin
Perhutanan Sosial, KORUT hadir sebagai pendamping untuk mempercepat proses. Lembaga
swadaya masyarakat ini membantu menyusun rencana kerja, menata batas, dan
memperbahuri data petani.
Fajar Sumantri, Koordinator KORUT, menjelaskan, salah satu
nilai penting dalam mendorong terbitnya izin HKm adalah kesadaran masyarakat
untuk memiliki inisiatif mengusahakan HKm. Upaya memahamkan masyarakat tentang
HKm haruslah matang. Untuk itu, sosialisasi menjadi kuncinya.
“Bila sudah paham, petani baru mau bergerak. Kelemahan di
lapangan, bila hanya tahu permukaannya saja, kelompok gampang gamang” ujarnya.
Pembagian kerja antara pendamping dan mitra dampingan
mestinya harus jelas. Prinsipnya semua rencana dan kegaiatan disusun bersama. Semua
harus dilibatkan. Transparansi ini juga untuk menghapus pengalaman pahit di
masa lalu agar tidak terjebak oknum makelar HKm.
Izin HKm hanyalah
Awal
Pendampingan KEHATI melalui KORUT ini mulai menampakkan hasilnya
pada tahun 2014 seiring terbitnya 18 izin usaha pengelolaan HKm. Setelah
mendapatkan izin usaha pengelolaan (IUP) HKm, tentu ini bukan menjadi akhir.
Sebaliknya, justru menjadi awal dari tantangan sesungguhnya dalam pengelolaan
perhutanan sosial.
Tak berhenti pada proses pendampingan izin HKm, KORUT pun
terlibat dalam proses pendampingan tata kelola kelembagaan, kawasan dan usaha.
Bentuk pendampingan ini disesuaikan dengan level kapasitas kelompok
masing-masing, seperti fasilitas pemasaran, akses kredit, membentuk koperasi,
sampai membuka jaringan kemitraan.
Usaha-usaha ini pelan tapi pasti membuahkan hasil. Pada
tahun 2015, anggota Beringin Jaya memperoleh pinjaman dari Kredit Ketahanan
Pangan dan Energi (KKPE) Bank Rakyat Indonesia senilai Rp 1,74 miliar. Kredit
itu tersebar di 69 anggota Beringin Jaya. Pinjaman kredit ini digunakan sebagai
modal masyarakat untuk mengelola lahannya.
Dari sisi perekonomiannya, masyarakat juga mengalami
peningkatakan pendapatan yang signifikan. Penelitian KORUT tahun 2008
memperlihatkan bahwa pendapatan terendah petani adalah Rp 1,1 juta setahun. Sejak
tahun 2015, setelah ada HKm, pendapatan terendahnya menjadi Rp 4,1 juta tiap
musim panen. Naiknya pendapatan ini didorong oleh legalitas HKm sehingga
membuat petani serius dalam mengelola tanamannya.
Sedangkan pada pemberdayaan perempuan, ada Kelompok Wanita
Tani Hutan Himawari yang membuka peluang bisnis dengan menjual kopi premium.
Kopi-kopi yang mereka jual, seperti kopi codot, kopi mahoni, kopi lanang, kopi
cilik, kopi kemiri, kopi sonokeling dan kopi codot laku di pasaran dengan harga
jual yang tinggi.
Dari sisi pengelolaan kawasan, masyarakat membentuk patroli
pengamanan kawasan hutan (pamhut) secara swadaya. Hasil pamhut ini terlihat
pada tahun 2015 ketika kebakaran hutan terjadi di banyak tempat, justru kawasan
hutan di Tanggamus aman.
Capaian-capaian ini membuat mereka diganjar penghargaan oleh
KLHK sebagai HKm terbaik pada tahun 2016 dan 2017. HKm Sidodadi memenangi Wana
Lestari Kementerian Lingkungan dan Kehutanan pada tahun 2017 dan HKm Beringin
jaya pada tahun sebelumnya.
Hasil-hasil positif ini memang menggembirakan. Tetapi,
pekerjaan rumah yang lebih besar juga menanti, khususnya bagaimana menutup
lubang-lubang di tingkat kelompok tani dalam hal penguatan kapasitas
masyarakat, menyeragamkan pengetahuan tentang HKm, serta pengembangan usaha
tingkat regional dan nasional.
Selain itu, yang tak kalah penting adalah keseimbangan
antara pemberdayaan masyarakat dan pemanfaatan ekonomi dengan perlindungan
ekosistemnya. Tanpa itu semua, mustahil tercapai kelestarian dan pemanfaatan
sumberdaya hutan yang berkelanjutan. (Yudha
Arif Nugroho)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar