seorang petani sedang mendekap pohon yang tumbuh di areal HKm-nya. Foto oleh Agus Prijono.
|
Dari gubug di tepi ladang itu, mata Makpul (58) menatap ke
depan, menerawang. Sejurus lalu, dia mulai bertutur tentang kenangan yang tak
mungkin lekang dari ingatannya dan para anggota gabungan kelompok tani (gapoktan)
Hutan Kemasyarakatan (HKm) Pala Makmur, Kabupaten Tanggamus, Lampung, lainnya.
“Segalanya tak mudah untuk memulai HKm ini. Mulai dari
kucing-kucingan dengan aparat, pengusiran, pungutan liar hasil hutan, sampai
dengan ditipu lewat iming-iming HKm. Proses sulit itu tak mungkin kami lupakan,”
tutur Makpul.
Tapi, hal tersebut tinggal kisah lalu. Kini, petani Pala
Makmur telah mengunduh hasil perjuangan mereka bertahun-tahun melalui skema HKm.
Mereka dapat mengelola lahan hutan secara produkif dan lestari melalui produk
pertanian, sekaligus menjaga kelestarian hutan.
Sebelum HKm diimplementasikan oleh sejumlah gapoktan di
Kabupaten Tanggamus, perambahan liar terhadap hutan lindung di dekat kawasan
tersebut umum terjadi.
Menurut Makpul, dia merupakan generasi kedua yang mengelola
lahan di kawasan hutan negara. Orang tuanya termasuk yang generasi pertama
membuka hutan. Pembukaan hutan lindung di sekitar Tanggamus dimulai sekitar
tahun 1960-an atau ada yang mengatakan jauh sebelum itu.
Bukannya tanpa solusi, pemerintah berusaha memindahkan masyarakat
melalui transmigrasi pada tahun 1980-an dan setelahnya. Namun sulitnya ekonomi
di tempat transmigrasi membuat sebagian orang kembali ke Tanggamus.