Sabtu, 16 September 2017

Solo Traveler : Mencari Jejak Si Mawas di Bukit Lawang

anak mawas sedang bergelantungan pada ranting-ranting

“Serius Mas mau ke Bukit Lawang sendirian?” tanya seorang teman sore itu. “Yoi, serius dong” timpal saya.

Saya santai saja karena ini memang bukan kali pertama saya melakukan perjalanan sendirian. Melancong seorang diri sudah saya mulai sejak zaman kuliah. Tapi perjalanan sendirian yang paling saya kenang selama ini adalah perjalanan mengambil data skripsi sendirian di Kemiren, Banyuwangi. Salah satu perjalanan paling epik yang pernah saya alami. Semoga nanti saya bisa menuliskannya.

Salah satu sisi baik melancong sendirian adalah pergi tanpa rencana yang runut dan bisa mengubah tujuan wisata seenaknya dan kapan saja. Seperti perjalanan ke Bukit Lawang kali ini.

Saya baru kepikiran jalan ke Bukit Lawang pada Sabtu pagi dan kemudian sorenya saya langsung berangkat.

Setelah memutuskan pergi ke Bukit Lawang, siang hari itu saya bergegas menyelesaikan semua urusan kerjaan dan kemudian mengemas barang-barang. Tak lupa saya menanyakan informasi umum tentang lokasi wisata yang akan didatangi kepada teman-teman saya, seperti : bagaimana cara menuju ke Bukit Lawang, tempat mana saja yang mesti dikunjungi, dan larangan atau budaya tertentu apa yang harus dihindari serta fasilitas dan sarana prasarana apa yang ramah dompet.

Setelah semua informasi saya kira cukup, saya berpamitan ke teman-teman dan memesan gojek dari hotel Santika Medan ke Simpang Kampung Lalang. Oh ya, beberapa kota besar di Sumatera seperti Medan, Aceh, Pekanbaru, Lampung, Palembang, Padang, dan Jambi sudah ada transportasi online tersebut. Ini cukup membantu para pelancong seperti saya.

Panas menyengat dan taburan debu setia menjadi teman di jalan. Untungnya, si Pengendara gojek yang saya tumpangi baik hati. Ketika saya mengutarakan maksud untuk ke Bukit Lawang, dia mencarikan dan mengantarkan saya sampai ke depan bus yang saya maksud.



satu-satunya bus yang menuju ke Bukit Lawang

para penumpang Pembangunan Semesta

Dari Simpang Kampung Lalang dan mini bus merah inilah perjalanan saya ke Bukit Lawang dimulai. Menumpang “Pembangunan Semesta”, saya menempuh waktu 3 jam perjalanan dari Medan ke Bahorok, Langkat. 

Kesan pertama memasuki kendaraan bercat merah ini adalah sumpek dan panas. Kebetulan saya mendapatkan kendaraan yang sudah tua. Joknya berlubang dimana-mana. Tapi tak jadi soal, ini setimpal kok dengan harganya. Untuk perjalanan 3 jam hanya ditarik ongkos Rp 20.000,- saja. Murah sekali bukan?

Belum jauh mobil melaju, kami mesti menepi sebentar. Bagasi belakang mobil tiba-tiba terbuka, entah karena lupa mengunci atau memang kuncinya telah rusak. Beberapa barang penumpang dicek oleh asisten sopir, untungnya tidak ada barang yang jatuh.

Perjalanan pun dilanjutkan. Dengan angin yang masuk dari jendela samping mobil saya melihat pemandangan sekitar Medan-Bahorok. Dari kota yang ramai pelan tapi pasti suasana berubah menjadi sepi.

Satu jam kemudian, mobil berhenti di daerah Binjai. Si kernet mengangkut beberapa anak sekolah dan material bangunan seperti besi serta semen di atas mobil.  Tak lama menaikan barang-barang tersebut, mesin tua ini mengerang jalan lagi.

Kira-kira setelah mobil berjalan sekitar setengah jam, kami memasuki daerah Kecamatan Kuala. Kondisi jalan mulai jelek. Hampir seperempat perjalanan harus ditempuh di atas jalan berlubang seperti ini. Kami mesti melenturkan badan sebab selalu tergoncang cukup sering.

Beberapa penumpang mulai turun dan menyisakan sedikit penumpang lagi. Pada penumpang di sebelah, saya menanyakan lokasi terminal Bukit Lawang dan tarif perjalanan Medan-Bukit Lawang. Ini salah satu tips biar tidak nyasar dan tak kena mark-up ongkos oleh kernet. Maklum waktu itu sinyal sudah mulai hilang timbul dan google tak lagi bisa membantu memberikan petunjuk.

Matahari sudah mulai surut di barat dan saya baru saja sampai di terminal Bukit Lawang. Sampai di pemberhentian terakhir ini hanya tinggal saya satu-satunya penumpang. Terminal ini sepi. Alasnya masih berupa tanah serta tak banyak toko disana.

Ketika kaki kiri saya melangkah turun dari mobil, para ojek motor sudah mencegat. Acak saja saya pilih orang untuk mengantarkan ke tempat tujuan. Sebenarnya jarak tempuh dari terminal ke lokasi tak begitu jauh. Sekitar 10 menit jika ditempuh dengan becak. Tetapi kalau jalan sih tetap akan menguras waktu.

Biasanya oleh tukang becak motor, kita akan ditanya "mau turun di bawah atau di atas". Ini maksudnya adalah lokasi penginapan yang akan dituju, apakah berada bagian bawah desa atau di atasnya. Beberapa tempat menginap yang terkenal seperti Ecolodge, Wisma Sebayak, dan Rindu Alam Hotel serta pusat informasi Wisata Bukit Lawang ada di bagian bawah. Sedangkan penginapan seperti Jungle In/Edi ada di atas. Jika tidak tahu, sebutkan saja nama hotelnya, mereka pasti tahu.

Saya sendiri memilih tempat di bawah. Saya putuskan memilih menginap di Wisma Sebayak. Saya ingat beberapa teman saya menyarankan tidur disana.

Wisma Sebayak

Tetapi mungkin, saya bisa mendapatkan kamar yang lebih bagus dan murah di tempat lain. Hanya saja karena waktu itu sudah malam, saya tak sempat lagi mencari yang lain. 

Jika anda hendak datang ke Bukit Lawang, saya menyarakan beberapa hal :
  •        Sebelum berangkat, cari info penginapan. Ada beberapa penginapan terkenal dan nyaman seperti Ecolodge, Wisma Sebayak, Rindu Alam Hotel, dan Jungle In/Edi.
  •        Anda bisa menggunakan fasilitas booking online seperti booking.com , tripadvisor.co.id , atau traveloka.com
  •        Jika tidak sempat booking online, bisa langsung datang ke lokasinya. Tapi biasanya akan ada banyak preman yang menawarkan penginapan mereka di sana. Tolak saja dengan halus dan datangi penginapan satu per satu serta tawar sampai dirasa murah
  •        Usahakan datang pada siang hari, anda punya banyak waktu memilih penginapan

Saya turun dari bentor dan memberikan uang lembaran Rp 10.000,-. Kemudian menyebrangi sungai dengan jembatan gantung ke tempat penginapan. Saya masuk ke Wisma Sebayak dan menanyakan kamar kosong. Untungnya ada beberapa kamar kosong dengan harga 200 – 250 ribu. Sebelum saya memutuskan mengambil kamar yang mana, saya cek kondisi kamar masing-masing.

Saya memutuskan memilih kamar seharga 250 ribu. Kamarnya lebih bersih dan nyaman dari yang lain. Saya berusaha menawarnya dan ternyata bisa turun menjadi 200 ribu (saya yakin sebenarnya masih bisa turun lagi).

Pemilik wisma menyetujui harga tersebut dan memberikan kunci kamar.  Saya langsung menuju lantai 2 tempat kamar saya berada. Sampai di ruang tidur tersebut, saya buka jendela. Saya amati lingkungan baru tempat saya berada ini. Waktu itu pukul 8 malam dan kondisinya sepi. Hanya riak air sungai yang terdengar.

kamar tempat menginap

Saya bongkar isi tas lalu merebahkan diri sejenak.   

Pukul 9 malam saya keluar untuk mencari makan sekaligus menjalankan misi untuk mendapatkan kelompok trekking di Leuser. Saya hanya mencari makan di restoran hotel saja. Beberapa makanan ala bule atau ala Indonesia tersedia. Karena saya orang Indonesia tulen, pastilah idola saya INDOMIE untuk santap malam itu.
indomie selalu juara

Anehnya, justru semakin malam desa pinggir Leuser ini semakin ramai. Live music mulai berdendang dimana-mana. Banyak bule-bule keluar dari sarangnya. 

Selesai makan malam, saya coba dekati beberapa warga lokal. Menanyakan tentang agenda trekking di Leuser dan aktivitas wisata lain yang ada di sini. Mereka menjelaskan bahwa perjalanan mencari orangutan di Bukit Lawang biasanya dilakukan berkelompok dengan jarak trekking pendek dan panjang. Treking pendek adalah berjalan 3-4 jam mencari orangutan. Sedangkan trekking panjang jalannya seharian dan berkemah di dalam hutan. Dalam trekking panjang kita bisa melihat beberapa kali spot orangutan, melihat air terjun, gua kelelawar, bermalam di dalam hutan dan turunnya dengan tubing. Sedangkan jarak pendek turun dari dalam hutan bisa dengan jalan kaki atau tubing.

Saya juga sempat menanyakan agenda bule-bule di Bukit Lawang ini. Dari beberapa bule yang saya tanya, semuanya akan melakukan trekking panjang. Dan tentu saya tidak bisa bergabung sebab waktu saya di sini cuma sampai dengan Minggu sore.

Beberapa orang lokal terutama pihak hotel menawarkan diri untuk mengantar saya hiking. Tapi harga yang ditawarkan tak masuk diakal di kantong. Untuk jalan 3-4 jam mereka menawarkan diri 400 ribu rupiah. Menurut saya ini cukup mahal. Ditambah saya sendirian. Duh harus memikul beban hotel sendiri dan mbayar pemandu wisata sendiri itu sesuatu je.

Saya tolak dengan halus beberapa tawaran mereka. Ya sambil berharap masih ada teman backpacker yang kurang orang untuk treking. Tak kehabisan akal saya coba jalan-jalan malam di sekitar kawasan perkampungan ini.

Apesnya batre hp dan kamera saya mati semua. Musti jalan sambil meraba-raba dan kehilangan moment foto-foto. Saya lihat warung-warung dipenuhi oleh para bule. Saya ragu untuk bergabung, semuanya membawa botol bir sendiri-sendiri. 

Pukul 12 malam akhirnya saya kembali ke kamar. Tidur dan merencanakan kegiatan besuk pagi. Saya masih belum menemukan teman jalan atau pemandu ke Leuser.

Paginya saya bangun, sekedar sholat subuh. Dan tidur lagi. Setelahnya saya bangun kesiangan. Jam setengah 9! Saya bergegas cuci muka dan ambil kamera serta hp.

Suasana agak mendung. Dan Saya telah kehilangan "magic hour" buat foto-foto.

desa Bukit Lawang


Suasana masih sepi. Saya lanjut jalan. Duduk di pinggir sungai. Berharap ada orang lewat menyapa dan menawarkan jalan bareng ke dalam hutan Leuser.

Saya melihat beberapa bule sudah jalan dengan tas gendong besar dan pemandu lokalnya. 

Tak lama saya duduk, ada seorang lelaki mengampiri saya. Dia mengajak ngobrol. Lewat obrolan singkat, saya tahu namanya Aan, orang suku melayu dan lama bermukim di Bukit Lawang. Lelaki sawo matang ini mengaku sering menjadi porter.

Sampai akhirnya dia menawarkan diri untuk mengantarkan saya hiking di Leuser. Dia memberikan harga murah untuk saya. Beliau meminta upah 150 ribu rupiah. Lebih murah dari yang lain.

Tips : 
  • Jika datang seorang diri, usahakan datang pada siang atau sore hari. Anda lebih leluasa untuk mencari teman perjalanan untuk trecking
  • Trecking pendek waktu tempuhnya adalah 3-4 jam dengan perjumpaan orangutan 1-2 kali. Turunnya bisa dengan jalan kaki atau tubing.
  • Biaya trecking pendek per kelompok adalah 400 ribu. Tiap kelompok terdiri dari 3-4 orang.
  • Trecking panjang ditempuh dengan waktu sehari semalam. Perjumpaan orangutannya bisa 9 kali lebih, bonus melihat satwa dan tumbuhan khas daerah tropis, air terjun, gua kelelawar, tidur di dalam kawasan hutan, dan turun dengant tubing.
  •  Jika punya waktu lebih lama, silahkan mencoba pengalaman trecking panjang. Biaya per kepala untuk trecking panjang sekitar 600 ribu – 1 juta
  • Selain trecking wahana lain yang bisa dinikmati di Bukit Lawang adalah tubing

Saya coba menimbang-nimbang. Mengingat waktu saya tak banyak dan belum menemukan kelompok untuk bergabung akhirnya saya mengiyakan.

Pak Aan kemudian pamit untuk menyiapkan perbekalannya. Sedangkan saya mencari sarapan dahulu. Menyebarang jembatan dan mencari makan.

warung makan, toko kelontong dan oleh-oleh

Warung makan banyak tersedia di sini. Tak perlu pusing mencari sarapan. Makanan di sini juga beraneka rupa. Ada makanan melayu, padang, dan jawa.

Sekedar catatan, Bukit Lawang dihuni oleh 3 suku (Karo, Melayu dan Jawa). Suku aslinya adalah Karo. Suku Jawa dan Melayu datang karena transmigrasi. Selain 3 suku tersebut, ada juga pendatang yang berupa warga negara asing. Biasanya mereka dipersunting atau mempersunting penduduk lokal. Mereka yang menikah dengan WNA biasanya akan mendirikan usaha penginapan baru.

Selesai sarapan, saya menemui Pak Aan. Tampaknya dia sudah siap dengan sepatu lapangan dan tasnya. Kami pun berangkat.

Setengah jam pertama mendaki, kami melewati penginapan dan kebun karet milik masyarakat. Sebagian warga masih memiliki kebun karet meski hasilnya tidak bisa diandalkan. Sekedar penghasilan tambahan. Dari Pak Aan, saya tahu kalau sebagian besar mata pencaharian masyarakat adalah wirausaha. Ada yang  punya penginapan, menjadi pemandu wisata, membuka warung makan, toko kelontong dan oleh-oleh serta persewaan transportasi. Sebagian kecil lagi, ada yang masih berkebun karet.  

Setelah kebun karet, kami melewati pos jaga milik Taman Nasional Gunung Leuser (TNGL). Di sana sudah berjaga 2 orang polisi kehutanan (polhut). Kami pun melakukan pendaftaran.

gerbang TNGL

Lalu kami masuk dalam hutan Leuser. Bukit Lawang sendiri letaknya di bagian selatan TNGL. Taman nasional ini masuk dalam situs warisan dunia Hutan Hujan Tropi Sumatera oleh International Union for Conservation on Nature (IUCN). Leuser juga menjadi kawasan konservasi yang menjadi habitat 4 spesies kunci Sumatera yaitu orangutan, badak Sumatera, gajah, dan harimau Sumatera. Satu-satunya kawasan konservasi di Sumatera yang dihuni 4 spesies langka tersebut. 

pohon damar berumur lebih dari 300 tahun

Bukit Lawang sendiri dahulunya merupakan pusat rehabilitasi orangutan. Awalnya, pusat rehabilitasi ini hanya dikunjungi oleh para peneliti maupun konservasionis. Kemudian berkembang menjadi pusat pengamatan orangutan Sumatera (viewing centre). Dalam kurun waktu 1972-2001 ada 229 Orangutan bekas peliharaan masyarakat yang disita dari perdagangan satwa dan direhabilitasi di sini. Bukit Lawang kini menjadi salah satu pintu gerbang untuk menikmati keindahan TNGL.

pemandu saya, Pak Aan

Jalan untuk trecking pendek tidak begitu berat. Elevasinya tidak terlalu curam. Ditambah suasana di dalam hutan yang sejuk dan adem. Berjalan 3-4 jam tidak akan terasa. Kita bisa melihat tumbuhan khas hutan tropis seperti : meranti, keruing, damar laut, anggrek hutan, cendawan harimau, dan lain-lain.  Kita juga bisa melihat kawanan Thomas (Presbytis thomasi ) yang berlalu lalang di atas pohon. Primata endemis di Sumatera Utara yang sudah diklasifikasikan rentan punah.

Para turis sedang berfoto-foto
senyum mbak-mbak yang mau foto mawas


Tiga 3 jam kami berjalan, kami menemukan kerumunan orang-orang sedang menghadap ke tepi sisi timur hutan. Dengan antusias dan kamera di tangan, mereka mengamati sekor mawas kecil. Tanpa banyak bicara, kami sibuk mengambil foto si anak orangutan.

Tak lama datang lagi 1 ekor orangutan. Kali ini agak lebih besar. Dia adalah ibu dari si anak mawas. Orang lokal menamainya “Mengantung”. Perawakan ibu orangutan ini agak kecil.

Syukurlah, semua hanya melihat-lihat saja. Tak ada yang mendekat dan memberi makan. Termasuk guide-nya. Saya juga sudah mewanti-wanti pemandu saya, jangan sampai memberikan makan kepada orangutan atau binatang liar lainnya.

Tips :
  • Jangan terlalu dekat dengan orangutan
  •  Jangan memberikan makan orangutan atau satwa lain di dalam hutan sebab bisa mengakibatkan orangutan agresif
  • Jangan sentuh atau melakukan kontak fisik dengan orangutan, karena dapat menularkan penyakit bagi si orangutan
  •  Areal feeding orangutan di dalam TNGL sudah ditutup untuk umum. Hal ini lebih baik karena biasanya para turis akan ikut memberi makan orangutan.
  •  Hindari orangutan yang agresif

Mengantung sedang bergelantung di atas pohon

anak Mengantung mencari makan

Puas mengambil foto Si Mawas, saya pun mengajak Pak Aan turun. Dia menawarkan untuk turun dengan tubing. Saya menolak karena musti bergegas kembali ke Medan.

Ada rasa puas bisa melihat orangutan langsung di alam liarnya. Sepanjang yang saya amati, ada dampak positif dari nilai ekowisata ini. Ekowisata tersebut secara tak langsung mampu menjadi benteng pertahanan ekosistem Leuser (sebelah selatan) dan orangutannya sendiri. Aktivitas masyarakat yang cukup sering akan membuat perambah dan pemburu satwa sungkan untuk masuk. Kedua, melalui ekowisata kesejahteraan masyarakat sekitar meningkat. Sehingga kesadaran mereka akan perlindungan hutan menjadi tinggi. Bagaimana tidak, denyut ekonomi mereka bergantung pada hutan seiisinya. Dari mulai wisata air sampai trekking mencari Mawas semuanya bersumber dari dalam hutan.

Tetapi yang mestinya menjadi catatan adalah jangan sampai adanya aktivitas wisatawan mengganggu kehidupan Mawas dan makhluk hidup lainnya. Jumlah turis yang masuk tentunya harus dibatasi. Harus diukur dengan carrying capacity dari Bukit Lawang. Selain itu, aturan tegas untuk tidak berinteraksi dengan satwa liar juga harus terus disosialisasikan entah itu kepada para pemandu wisata dan atau wisatawannya sendiri. 





Jembatan penghubung desa
Wisma Sebayak dari kejauhan



Pak Aan dengan temannya si Thomas

Manggantung mencari makan



kondisi jalan di dalam Leuser

anak-anak mandi di sungai

mau tubing?

naik bentor

bentor di kota Medan


Tidak ada komentar:

Posting Komentar