anak mawas sedang bergelantungan pada ranting-ranting |
“Serius Mas mau ke Bukit Lawang sendirian?” tanya seorang teman sore itu. “Yoi, serius dong” timpal saya.
Saya santai saja karena ini memang bukan kali pertama saya
melakukan perjalanan sendirian. Melancong seorang diri sudah saya mulai sejak
zaman kuliah. Tapi perjalanan sendirian yang paling saya kenang selama ini
adalah perjalanan mengambil data skripsi sendirian di Kemiren, Banyuwangi.
Salah satu perjalanan paling epik yang pernah saya alami. Semoga nanti saya
bisa menuliskannya.
Salah satu sisi baik melancong sendirian adalah pergi tanpa rencana yang runut dan bisa mengubah tujuan wisata seenaknya dan kapan saja. Seperti perjalanan ke Bukit Lawang kali
ini.
Saya baru kepikiran jalan ke Bukit Lawang pada Sabtu pagi dan
kemudian sorenya saya langsung berangkat.
Setelah memutuskan pergi ke Bukit Lawang, siang hari itu
saya bergegas menyelesaikan semua urusan kerjaan dan kemudian mengemas barang-barang.
Tak lupa saya menanyakan informasi umum tentang lokasi wisata yang akan didatangi
kepada teman-teman saya, seperti : bagaimana cara menuju ke Bukit Lawang,
tempat mana saja yang mesti dikunjungi, dan larangan atau budaya tertentu apa yang
harus dihindari serta fasilitas dan sarana prasarana apa yang ramah dompet.
Setelah semua informasi saya kira cukup, saya berpamitan ke
teman-teman dan memesan gojek dari hotel Santika Medan ke Simpang Kampung
Lalang. Oh ya, beberapa kota besar di Sumatera seperti Medan, Aceh, Pekanbaru,
Lampung, Palembang, Padang, dan Jambi sudah ada transportasi online tersebut. Ini cukup membantu
para pelancong seperti saya.
Panas menyengat dan
taburan debu setia menjadi teman di jalan. Untungnya, si Pengendara gojek
yang saya tumpangi baik hati. Ketika saya mengutarakan maksud untuk ke Bukit
Lawang, dia mencarikan dan mengantarkan
saya sampai ke depan bus yang saya maksud.
Dari Simpang Kampung Lalang dan mini bus merah inilah
perjalanan saya ke Bukit Lawang dimulai. Menumpang “Pembangunan Semesta”, saya menempuh waktu 3
jam perjalanan dari Medan ke Bahorok, Langkat.
Kesan pertama memasuki kendaraan
bercat merah ini adalah sumpek dan panas. Kebetulan saya mendapatkan kendaraan
yang sudah tua. Joknya berlubang dimana-mana. Tapi tak jadi soal, ini setimpal
kok dengan harganya. Untuk perjalanan 3 jam hanya ditarik ongkos Rp 20.000,-
saja. Murah sekali bukan?
Belum jauh mobil melaju, kami mesti menepi sebentar. Bagasi
belakang mobil tiba-tiba terbuka, entah karena lupa mengunci atau memang
kuncinya telah rusak. Beberapa barang penumpang dicek oleh asisten sopir, untungnya
tidak ada barang yang jatuh.
Perjalanan pun dilanjutkan. Dengan angin yang masuk dari
jendela samping mobil saya melihat pemandangan sekitar Medan-Bahorok. Dari kota
yang ramai pelan tapi pasti suasana berubah menjadi sepi.
Satu jam kemudian, mobil berhenti di daerah Binjai. Si
kernet mengangkut beberapa anak sekolah dan material bangunan seperti besi serta semen di atas mobil. Tak lama menaikan barang-barang tersebut, mesin tua ini mengerang jalan lagi.
Kira-kira setelah mobil berjalan sekitar setengah jam, kami memasuki
daerah Kecamatan Kuala. Kondisi jalan mulai jelek. Hampir seperempat perjalanan harus ditempuh
di atas jalan berlubang seperti ini. Kami mesti melenturkan badan sebab selalu tergoncang
cukup sering.
Beberapa penumpang mulai turun dan menyisakan sedikit penumpang lagi. Pada penumpang di sebelah, saya menanyakan lokasi terminal Bukit Lawang
dan tarif perjalanan Medan-Bukit Lawang. Ini salah satu tips biar
tidak nyasar dan tak kena mark-up ongkos oleh kernet. Maklum waktu itu sinyal sudah
mulai hilang timbul dan google tak lagi bisa membantu memberikan petunjuk.
Matahari sudah mulai surut di barat dan saya baru saja sampai di
terminal Bukit Lawang. Sampai di pemberhentian terakhir ini hanya tinggal saya satu-satunya penumpang. Terminal ini sepi. Alasnya masih berupa tanah serta tak banyak
toko disana.
Ketika kaki kiri saya melangkah turun dari mobil, para ojek motor sudah mencegat. Acak saja saya pilih orang untuk mengantarkan ke tempat tujuan. Sebenarnya
jarak tempuh dari terminal ke lokasi tak begitu jauh. Sekitar 10 menit jika ditempuh
dengan becak. Tetapi kalau jalan sih tetap akan menguras waktu.
Biasanya oleh tukang becak motor, kita akan ditanya "mau turun di bawah atau di atas". Ini maksudnya adalah lokasi penginapan yang akan dituju, apakah berada bagian bawah desa atau di
atasnya. Beberapa tempat menginap yang terkenal seperti Ecolodge, Wisma
Sebayak, dan Rindu Alam Hotel serta pusat informasi Wisata Bukit Lawang ada di bagian bawah.
Sedangkan penginapan seperti Jungle In/Edi ada di atas. Jika tidak tahu, sebutkan
saja nama hotelnya, mereka pasti tahu.
Saya sendiri memilih tempat di bawah. Saya putuskan memilih
menginap di Wisma Sebayak. Saya ingat beberapa teman saya menyarankan tidur
disana.
Tetapi mungkin, saya bisa mendapatkan kamar yang lebih bagus dan
murah di tempat lain. Hanya saja karena waktu itu sudah malam, saya tak sempat lagi
mencari yang lain.
Jika anda hendak datang ke Bukit Lawang, saya menyarakan beberapa hal :
- Sebelum berangkat, cari info penginapan. Ada beberapa penginapan terkenal dan nyaman seperti Ecolodge, Wisma Sebayak, Rindu Alam Hotel, dan Jungle In/Edi.
- Anda bisa menggunakan fasilitas booking online seperti booking.com , tripadvisor.co.id , atau traveloka.com
- Jika tidak sempat booking online, bisa langsung datang ke lokasinya. Tapi biasanya akan ada banyak preman yang menawarkan penginapan mereka di sana. Tolak saja dengan halus dan datangi penginapan satu per satu serta tawar sampai dirasa murah
- Usahakan datang pada siang hari, anda punya banyak waktu memilih penginapan
Saya turun dari bentor dan memberikan uang lembaran Rp 10.000,-. Kemudian menyebrangi sungai dengan jembatan
gantung ke tempat penginapan. Saya masuk ke Wisma Sebayak dan menanyakan kamar
kosong. Untungnya ada beberapa kamar kosong dengan harga 200 – 250 ribu. Sebelum saya memutuskan mengambil kamar yang mana, saya cek kondisi kamar masing-masing.
Saya memutuskan memilih kamar seharga 250 ribu. Kamarnya lebih bersih dan nyaman dari yang lain. Saya berusaha menawarnya dan ternyata bisa turun menjadi 200 ribu (saya yakin sebenarnya masih bisa turun lagi).
Saya memutuskan memilih kamar seharga 250 ribu. Kamarnya lebih bersih dan nyaman dari yang lain. Saya berusaha menawarnya dan ternyata bisa turun menjadi 200 ribu (saya yakin sebenarnya masih bisa turun lagi).
Pemilik wisma menyetujui harga tersebut dan memberikan kunci kamar. Saya langsung menuju lantai 2 tempat kamar saya berada. Sampai di ruang tidur tersebut, saya buka jendela. Saya amati lingkungan baru tempat saya berada ini. Waktu itu pukul 8 malam dan kondisinya sepi. Hanya
riak air sungai yang terdengar.
Saya bongkar isi tas lalu merebahkan diri sejenak.
kamar tempat menginap |
Saya bongkar isi tas lalu merebahkan diri sejenak.
Pukul 9 malam saya keluar untuk mencari makan sekaligus menjalankan misi untuk mendapatkan kelompok trekking di Leuser. Saya hanya mencari makan di
restoran hotel saja. Beberapa makanan ala bule atau ala
Indonesia tersedia. Karena saya orang Indonesia tulen, pastilah idola saya INDOMIE
untuk santap malam itu.
Anehnya, justru semakin malam desa pinggir Leuser ini semakin ramai. Live music mulai berdendang dimana-mana. Banyak bule-bule keluar dari sarangnya.
Selesai makan malam, saya coba dekati beberapa warga lokal. Menanyakan
tentang agenda trekking di Leuser dan aktivitas wisata lain yang ada di sini.
Mereka menjelaskan bahwa perjalanan mencari orangutan di Bukit Lawang biasanya
dilakukan berkelompok dengan jarak trekking pendek dan panjang. Treking pendek
adalah berjalan 3-4 jam mencari orangutan. Sedangkan trekking panjang jalannya
seharian dan berkemah di dalam hutan. Dalam trekking panjang kita bisa melihat
beberapa kali spot orangutan, melihat air terjun, gua kelelawar, bermalam di
dalam hutan dan turunnya dengan tubing. Sedangkan jarak pendek turun dari dalam
hutan bisa dengan jalan kaki atau tubing.
Saya juga sempat menanyakan agenda bule-bule di Bukit Lawang ini. Dari beberapa bule yang saya tanya, semuanya akan melakukan
trekking panjang. Dan tentu saya tidak bisa bergabung sebab waktu saya di sini
cuma sampai dengan Minggu sore.
Beberapa orang lokal terutama pihak hotel menawarkan diri
untuk mengantar saya hiking. Tapi harga yang ditawarkan tak masuk diakal di kantong. Untuk jalan 3-4 jam mereka menawarkan diri 400 ribu
rupiah. Menurut saya ini cukup mahal. Ditambah saya sendirian. Duh harus
memikul beban hotel sendiri dan mbayar pemandu wisata sendiri itu sesuatu je.
Saya tolak dengan halus beberapa tawaran mereka. Ya sambil berharap masih ada teman backpacker yang kurang orang untuk treking. Tak
kehabisan akal saya coba jalan-jalan malam di sekitar kawasan perkampungan ini.
Apesnya
batre hp dan kamera saya mati semua. Musti jalan sambil meraba-raba dan
kehilangan moment foto-foto. Saya lihat warung-warung dipenuhi oleh para bule.
Saya ragu untuk bergabung, semuanya membawa botol bir sendiri-sendiri.
Pukul 12 malam akhirnya saya kembali ke kamar. Tidur dan merencanakan kegiatan besuk pagi. Saya masih belum menemukan teman jalan atau pemandu ke Leuser.
Paginya saya bangun, sekedar sholat subuh. Dan tidur
lagi. Setelahnya saya bangun kesiangan. Jam setengah 9! Saya bergegas cuci
muka dan ambil kamera serta hp.
Suasana masih sepi. Saya lanjut jalan. Duduk
di pinggir sungai. Berharap ada orang lewat menyapa dan menawarkan jalan bareng
ke dalam hutan Leuser.
Saya melihat beberapa bule sudah jalan dengan tas gendong besar dan pemandu lokalnya.
Tak lama saya duduk, ada seorang lelaki mengampiri saya. Dia mengajak ngobrol. Lewat obrolan singkat, saya tahu namanya Aan, orang suku melayu dan lama bermukim di Bukit Lawang.
Lelaki sawo matang ini mengaku sering menjadi porter.
Sampai akhirnya dia menawarkan diri
untuk mengantarkan saya hiking di Leuser. Dia memberikan harga murah untuk
saya. Beliau meminta upah 150 ribu rupiah. Lebih murah dari yang lain.
Tips :
- Jika datang seorang diri, usahakan datang pada siang atau sore hari. Anda lebih leluasa untuk mencari teman perjalanan untuk trecking
- Trecking pendek waktu tempuhnya adalah 3-4 jam dengan perjumpaan orangutan 1-2 kali. Turunnya bisa dengan jalan kaki atau tubing.
- Biaya trecking pendek per kelompok adalah 400 ribu. Tiap kelompok terdiri dari 3-4 orang.
- Trecking panjang ditempuh dengan waktu sehari semalam. Perjumpaan orangutannya bisa 9 kali lebih, bonus melihat satwa dan tumbuhan khas daerah tropis, air terjun, gua kelelawar, tidur di dalam kawasan hutan, dan turun dengant tubing.
- Jika punya waktu lebih lama, silahkan mencoba pengalaman trecking panjang. Biaya per kepala untuk trecking panjang sekitar 600 ribu – 1 juta
- Selain trecking wahana lain yang bisa dinikmati di Bukit Lawang adalah tubing
Saya coba menimbang-nimbang. Mengingat waktu saya tak banyak
dan belum menemukan kelompok untuk bergabung akhirnya saya mengiyakan.
Pak Aan kemudian pamit untuk menyiapkan perbekalannya. Sedangkan saya mencari sarapan dahulu. Menyebarang jembatan dan mencari makan.
Warung makan banyak tersedia di sini. Tak
perlu pusing mencari sarapan. Makanan di sini juga beraneka rupa. Ada makanan melayu, padang, dan jawa.
Sekedar catatan, Bukit Lawang dihuni oleh 3 suku (Karo, Melayu dan Jawa). Suku aslinya adalah Karo. Suku Jawa dan Melayu datang karena transmigrasi. Selain 3 suku tersebut, ada juga pendatang yang berupa warga negara asing. Biasanya mereka dipersunting atau mempersunting penduduk lokal. Mereka yang menikah dengan WNA biasanya akan mendirikan usaha penginapan baru.
Sekedar catatan, Bukit Lawang dihuni oleh 3 suku (Karo, Melayu dan Jawa). Suku aslinya adalah Karo. Suku Jawa dan Melayu datang karena transmigrasi. Selain 3 suku tersebut, ada juga pendatang yang berupa warga negara asing. Biasanya mereka dipersunting atau mempersunting penduduk lokal. Mereka yang menikah dengan WNA biasanya akan mendirikan usaha penginapan baru.
Selesai sarapan, saya menemui Pak Aan. Tampaknya dia sudah
siap dengan sepatu lapangan dan tasnya. Kami pun berangkat.
Setengah jam pertama mendaki, kami melewati penginapan dan
kebun karet milik masyarakat. Sebagian warga masih memiliki kebun karet meski
hasilnya tidak bisa diandalkan. Sekedar penghasilan tambahan. Dari Pak Aan,
saya tahu kalau sebagian besar mata pencaharian masyarakat adalah wirausaha. Ada yang punya penginapan, menjadi pemandu wisata, membuka
warung makan, toko kelontong dan oleh-oleh serta persewaan transportasi. Sebagian kecil lagi, ada yang masih berkebun karet.
Setelah kebun karet, kami melewati pos jaga milik Taman Nasional Gunung Leuser (TNGL). Di
sana sudah berjaga 2 orang polisi kehutanan (polhut). Kami pun melakukan
pendaftaran.
Lalu kami masuk dalam hutan Leuser. Bukit Lawang sendiri
letaknya di bagian selatan TNGL. Taman nasional ini masuk dalam situs warisan dunia Hutan Hujan Tropi Sumatera oleh International Union for Conservation on Nature (IUCN). Leuser juga menjadi kawasan konservasi yang menjadi habitat 4 spesies kunci Sumatera yaitu orangutan, badak Sumatera, gajah, dan harimau Sumatera. Satu-satunya kawasan konservasi di Sumatera yang dihuni 4 spesies langka tersebut.
Bukit Lawang sendiri dahulunya merupakan pusat rehabilitasi
orangutan. Awalnya, pusat rehabilitasi ini hanya dikunjungi oleh para peneliti
maupun konservasionis. Kemudian berkembang menjadi pusat pengamatan
orangutan Sumatera (viewing centre). Dalam kurun waktu 1972-2001 ada 229
Orangutan bekas peliharaan masyarakat yang disita dari perdagangan satwa dan
direhabilitasi di sini. Bukit Lawang kini menjadi salah satu pintu gerbang untuk
menikmati keindahan TNGL.
Jalan untuk trecking pendek tidak begitu berat. Elevasinya
tidak terlalu curam. Ditambah suasana di dalam hutan yang sejuk dan adem.
Berjalan 3-4 jam tidak akan terasa. Kita bisa melihat tumbuhan khas hutan tropis
seperti : meranti, keruing, damar laut, anggrek hutan, cendawan harimau, dan
lain-lain. Kita juga bisa melihat kawanan Thomas (Presbytis thomasi ) yang berlalu
lalang di atas pohon. Primata endemis di Sumatera Utara yang sudah diklasifikasikan rentan punah.
Tiga 3 jam kami berjalan, kami menemukan kerumunan
orang-orang sedang menghadap ke tepi sisi timur hutan. Dengan antusias dan
kamera di tangan, mereka mengamati sekor mawas kecil. Tanpa banyak bicara,
kami sibuk mengambil foto si anak orangutan.
Tak lama datang lagi 1 ekor orangutan. Kali ini agak lebih besar. Dia adalah ibu dari si anak mawas. Orang lokal menamainya “Mengantung”. Perawakan ibu orangutan ini agak kecil.
Tak lama datang lagi 1 ekor orangutan. Kali ini agak lebih besar. Dia adalah ibu dari si anak mawas. Orang lokal menamainya “Mengantung”. Perawakan ibu orangutan ini agak kecil.
Syukurlah, semua hanya melihat-lihat saja. Tak ada yang
mendekat dan memberi makan. Termasuk guide-nya. Saya juga sudah mewanti-wanti pemandu saya, jangan sampai memberikan makan kepada orangutan atau binatang
liar lainnya.
Tips :
- Jangan terlalu dekat dengan orangutan
- Jangan memberikan makan orangutan atau satwa lain di dalam hutan sebab bisa mengakibatkan orangutan agresif
- Jangan sentuh atau melakukan kontak fisik dengan orangutan, karena dapat menularkan penyakit bagi si orangutan
- Areal feeding orangutan di dalam TNGL sudah ditutup untuk umum. Hal ini lebih baik karena biasanya para turis akan ikut memberi makan orangutan.
- Hindari orangutan yang agresif
Puas mengambil foto Si Mawas, saya pun mengajak Pak Aan turun. Dia menawarkan untuk turun dengan tubing. Saya menolak karena musti bergegas kembali ke Medan.
Ada rasa puas bisa melihat orangutan langsung di alam
liarnya. Sepanjang yang saya amati, ada dampak positif dari nilai ekowisata ini.
Ekowisata tersebut secara tak langsung mampu menjadi benteng pertahanan ekosistem
Leuser (sebelah selatan) dan orangutannya sendiri. Aktivitas masyarakat yang cukup sering akan membuat perambah dan pemburu satwa sungkan untuk masuk. Kedua,
melalui ekowisata kesejahteraan masyarakat sekitar meningkat. Sehingga
kesadaran mereka akan perlindungan hutan menjadi tinggi. Bagaimana tidak,
denyut ekonomi mereka bergantung pada hutan seiisinya. Dari mulai wisata air
sampai trekking mencari Mawas semuanya bersumber dari dalam hutan.
Tetapi yang mestinya menjadi catatan adalah jangan sampai adanya aktivitas wisatawan mengganggu kehidupan Mawas dan makhluk hidup lainnya. Jumlah turis yang masuk tentunya harus dibatasi. Harus diukur dengan carrying capacity dari Bukit Lawang. Selain itu, aturan tegas untuk tidak berinteraksi dengan satwa liar juga harus terus disosialisasikan entah itu kepada para pemandu wisata dan atau wisatawannya sendiri.
Tetapi yang mestinya menjadi catatan adalah jangan sampai adanya aktivitas wisatawan mengganggu kehidupan Mawas dan makhluk hidup lainnya. Jumlah turis yang masuk tentunya harus dibatasi. Harus diukur dengan carrying capacity dari Bukit Lawang. Selain itu, aturan tegas untuk tidak berinteraksi dengan satwa liar juga harus terus disosialisasikan entah itu kepada para pemandu wisata dan atau wisatawannya sendiri.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar