Sabtu, 13 Mei 2017

Gerabah Klipoh : Perempuan dan Peninggalan Budaya Leluhur

warga sedang membuat tungku dari gerabah



Seorang Bule Belanda yang akrab disapa Cornelius itu tampak mengusap keringat di keningnya, maklum waktu itu surya tepat di atas kepalanya. Matanya awas mengawasi 200 orang yang bekerja di atas bukit. Terlihat dari mereka sedang menebang pohon dan membakar semak. Sebagian lagi menyingkirkan puing-puing batuan berukir. Hampir 2 bulan dia membabat alas untuk mencari peninggalan mahakarya abad ke-8. Dia tak ingin mengecewakan tuannya. Usahanya pun tak sia-sia ketika mereka mulai menemukan kepala patung budha menyembul diantara semak-semak. Babat alas ini dimulai ketika tuannya yang bernama Thomas S. Raffles mendengar kasak-kusuk tentang sebuah candi besar yang tertimbun tanah dan hutan di daerah Magelang.


Candi Borobudur menyembul diantara rimbunnya pepohonan

Dalam proses penggalian waktu itu ternyata ditemukan sisa-sisa alat rumah tanga yang terbuat dari gerabah. Sejumlah ahli arkeologi pun menemukan beberapa relief di sisi timur Candi Borobudur yang menggambarkan kegiatan pembuatan gerabah. Jenis gerabah terdapat pada relief Karmawibhangga seperti : periuk, pasu nampan/baki, pinggan, tungku, kenci, wajan, cawan, piring dan beberapa alat dapur yang lain. Relief Karmawibhangga ini berisi tentang pelajaran hukum karma dengan menggunakan seting budaya masyarakat pada zaman tersebut. Relief ini terdapat pada teras Kamadhatu yang sekarang sebagian besar ditutup oleh batur kaki candi.

Ini penanda jika dahulu saat pembangunan tempat peribadatan umat Budha tersebut para pekerjanya pernah menggunakan alat rumah tangga dari gerabah. Alat-alat ini kemungkinan disuplai oleh dusun sekitarnya yang bernama Klipoh. 

Jarak dusun dengan bangunan yang dibuat pada masa dinasti Syailendra tersebut sekitar 3 km. Sejak dulu, dusun ini memang telah terkenal dengan kerajinan gerabahnya. Cikal bakal gerabah Klipoh sendiri berasal dari dua orang perempuan yaitu Nyai Kalipah dan Nyai Kundi. Atas jasanya, warga dusun membuatkan patung dua wanita tersebut yang diletakan pada tugu masuk dusun.


gerabah dikeringkan

Menengok Nasib Gerabah Klipoh Kini

Nur sedang memermak gerabahnya










Pagi itu setelah menuntaskan tugas dapurnya, seperti membersihkan rumah dan mencuci baju, Nur tampak bersiap di atas dingkliknya. Perempuan berusia 40 tahun itu mulai mengambil segenggam tanah liat di sampingnya. Kemudian meletakkannya di atas meja putar sederhana dan mulai memilin ‘siti’. Dua menit kemudian segenggam tanah tadi mulai terlihat rupanya. Ternyata Nur membuat cobek. Dia mengulanginya sampe beberapa kali.

Nur bersama puluhan perempuan di dusun Klipoh (atau ada yang menyebutnya Nglipoh) setiap hari membuat kerajinan dari tanah lihat seperti cobek, blengker, dan sentir. Dahulu anak-anak gadis di dusun ini diwajibkan bisa membuat gerbah sejak menginjak bangku Sekolah Dasar. Membuat gerabah, merupakan ketrampilan wajib bagi perempuan-perempuan Klipoh.

Sambil tangannya terampil memainkan tanah liat, dia menjelaskan tentang proses pembuatan kerajinan hingga layak jual. Untuk menyelesaikan satu kerajinan gerabah diperlukan beberapa kali proses. Setelah pembentukan pertama, gerabah kemudian diangin-anginkan. Lalu dipermak dan sedikit dihaluskan luarannya. Kemudian dikeringkan lagi di luar rumah. Setelah gerabah berubah warna dari hijau atau abu-abu menjadi abu-abu keputihan barulah dibakar.

hasil pembakaran pertama kurang sempurna, akan dilakukan pembakaran kedua

Tugas pembakaran biasanya dilakukan oleh laki-laki. Bahan pembakarnya dari merang dan damen (batang padi yang telah mengering). Proses pembakaran selesai setelah gerabah berubah menjadi merah.

Penjualan gerabah sendiri pada zaman dahulu dilakukan oleh para suami. Mereka berjalan jauh untuk menjajakan gerabah di sekitar Magelang bahkan sampai di luar kota. Namun saat ini gerabah dijual kepada pengepul. Pengepul akan datang menjemput gerabah-gerabah warga dan akan menjualnya ke pasar.  Kebanyakan dari mereka berasal dari Magelang, Semarang, dan Secang.

Memang pembagian tugas di dusun Klipoh sendiri cukup unik. Para perempuan yang bertugas membuat gerabah sedangkan para lelaki bertugas untuk membakar atau menjualnya. Sehingga di daerah ini jarang ditemui pria yang membuat gerabah.

Pembagian tugas menjadi nilai penting untuk kemandirian perempuan dusun Klipoh. Kemandirian yang telah terbangun sejak lama ini merupakan pembelajaran bagi kita semua. Perempuan dan laki-laki memiliki kesetaraan dalam hal pemenuhan ekonomi keluarga. Sisi baiknya, perempuan memiliki posisi tawar dan didengar dalam penyampaian pendapat.

Namun saat ini pembuatan kerajinan gerabah Klipoh sendiri bukan tanpa tantangan. Kini muda-mudi di dusun tersebut lebih senang memilih pekerjaan berjualan makanan atau cinderamata lainnya di sekitar areal Candi Borobudur. Supoyo, Ketua Pengrajin Gerabah Bina Karya di dusun Klipoh mengatakan bahwa jumlah pengrajin saat ini sekitar 70 persen dari 257 keluarga. Itu pun kebanyakan dilakukan oleh orang tua. Jika hal ini terus dibiarkan bukan tak mungkin lagi jika suatu saat nanti gerabah warisan leluhur tersebut akan musnah.

Pemerintah daerah pun bukan tanpa usaha untuk melestarikan gerabah Klipoh. Mereka mengeluarkan kebijakan untuk menjadikan kerajinan gerabah sebagai muatan lokal dan dusun Klipoh sebagai pusat wisata gerabah.


Aktivitas wisata ini seperti mengajak para pelancong dari Borobudur jalan-jalan sekitar dusun dan memburu foto kegiatan masyarakat serta oleh-oleh gerabah Klipoh. Atau lazim dilakukan adalah belajar membuat gerabah di tempat dan merasakan pengalaman membuat kerajinan tanah liat sendiri. Ya siapa tahu terinspirasi adegan film "The Ghost" saat Sam Wheat dan Molly membuat gerabah bareng-bareng kan?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar