Darlismi Patih, Ketua Adat Pungut Mudik |
Berlatar sebuah hamparan hutan dan sawah, Darlismi Patih lelaki
yang menjabat sebagai Ketua Adat itu menjelaskan tentang kondisi desa mereka
beberapa tahun yang lalu. Bahwa banjir besar pernah melanda desa mereka. Pungut
Mudik, nama desanya. Wilayah ini terletak di cekungan bentang alam Kerinci
Seblat. Letaknya berbatasan dengan kawasan konservasi, Taman Nasional Kerinci
Seblat (TNKS).
“Dari tahun 1999 masyarakat memang yang meminta kalau hutan
adat ini perlu dicadangkan. Setelah melalui proses panjang baru pada tahun
2013, hutan Adat Tigo Luhah Permenti Yang Berenam disahkan oleh bupati (menjadi
hutan adat)” jelas Darlismi Patih. Hutan
yang menjadi harapan masyarakat untuk sumber air bersih dan minum, untuk
irigasi, menjaga dari bencana (longsor, erosi, dan banjir) dan sumber
obat-obatan tradisional. Masyarakat paham ikhwal kawasan
konservasi dengan versi mereka.
Alas yang disebutkan oleh Darlismi memang terlihat mencolok
dibanding kawasan hutan sekitarnya. Dari luar rimbanya masih bagus
kerapatannya. Areal ini menurut Pemimpin Adat Pungut Mudik menjadi tempat
tinggal bagi satwa seperti kijang, rusa, beruang, dan harimau sumatera. Luasnya
mencapai 276 ha dan kebanyakan tumbuhannya didominasi oleh meranti, kemenyan,
medang hijau, dan medang kuning. Serta Pinus Merkusii Strain Kerinci atau
masyarakat mengenalnya dengan kayu sigi. Pohon ini merupakan endemis di Kerinci
Seblat dan tidak bisa tumbuh di daerah lain.
Aturan adat melarang jika hutan dikonversi menjadi kebun atau areal perladangan dan tidak boleh diambil
pohonnya. Norma berlaku menyebutkan, “barang siapa yang kedapatan mencuri
kayu akan didenda 1,5 juta rupiah”. Boleh menebang pohon asalkan digunakan
untuk kebutuhan masyarakat umum, misalnya untuk pembuatan balai desa. Itu pun
harus mengganti 1 pohon yang ditebang dengan menanam 10 bibit kayu yang sama.
Meski sudah ditetapkan sebagai hutan adat, areal tersebut
tetap diincar oleh perambah. Tetapi ancamannya berkurang dibandingkan dahulu
sebelum ditetapkan. Sebagian besar perambah berasal dari luar desa. Untuk
menjaga Jenggala dari serbuan pencuri, masyarakat Pungut Mudik selalu melakukan
patrol minimal 3 bulan sekali. Satu tim patroli terdiri dari 15 orang. Selain
patroli, mereka juga berjaga-jaga ketika ada kabar perambah masuk ke dalam
hutan. Biasanya warga akan memberikan informasi jika ada perambah yang muncul.
Mereka saling bekerjasama untuk menjaga hutan.
Hutan Adat sebagai sumber air dan siklus hara |
Menetapkan Tiga Lurah
Permenti Yang Berenam Menjadi Hutan Adat
Lembaga Tumbuh Alami (LTA) dengan bantuan pendanaan dari
Tropical Forest Conservation Action – Sumatera (TFCA-Sumatera) mendampingi
masyarakat untuk melakukan beberapa proses penetapan hutan adat. Diantaranya,
mereka melakukan verifikasi lapangan, survei flora fauna, survei tata batas,
pemetaan hutan, dan membentuk kelembagaan adat. Kemudian mengajukan draft SK
Bupati disertai aturan-aturan adat yang mengikat pengelola hutan.
“Kami yakin bahwa hutan adat ini menjadi penting karena ini
adalah benteng taman nasional. Ketika hutan dikelola masyarakat adat itu lebih
baik dan terjaga” tutur Ema Fatma, Direktur LTA. Senyatanya masyarakat memang
lebih taat dengan aturan adat. Kedudukan hukum dan aturan adat di tengah-tengah
masyarakat “lebih tinggi” daripada hukum yang lain.
Ema kemudian menjelaskan, selain mendampingi penetapan,
pihaknya juga melakukan upaya peningkatan ekonomi masyarakat. “Pendampingan
saja tentu belum jadi muara keberhasilan. Tantangan ke depan adalah menjaga
hutan adat dan aturan adat agar tetap lestari. Saat ini, hutan adat Tigo Luhah
Permenti Yang Berenam telah diupayakan dalam skema karbon. Penelitian dari Akar
Network menunjukan yakni di hutan ini ada 86 ton karbon yang tersimpan. Kami
juga mengajukan standar sertifikasi Plan Vivo dan sudah dibuat Project Inditification Note (PIN). Sudah
di revisi oleh plan vivo dan akan dilanjutkan ke Project Design Document (PDD)” ungkapnya.
Rencana kedepan, masyarakat Pungut Mudik juga akan didorong
untuk budidaya kopi Arabika di daerah peladangannya (Pemetik Kecil, Renah
Pemetik). Lembaga yang masuk dalam konsorsium Akar Network ini ingin meneruskan
sukses mereka dengan masyarakat Kemantan yang telah mendorong sukses masyarakat
budidaya kopi (simak tulisan saya tentang kisah sukses kopi arabika di Renah
Pemetik di sini).
Kado Manis Masyarakat
Penjaga Hutan
Penantian panjang masyarakat Pungut Mudik akhirnya tidak
sia-sia. Sebelumnya, hutan mereka cuma diakui dengan hak “kelola” dengan surat
keputusan Bupati Kerinci nomor SK 522.21/Kep.373/2013. Namun akhir tahun 2016
mereka diganjar kado akhir tahun yang manis. Atas kesetian mereka menjaga
hutan, bersama tujuh kawasan adat lain mendapatkan pengakuan dari pemerintah
(hutan adat). Bagi LTA dan TFCA-Sumatera, selain Hutan Adat Tigo Luhah
Permenti, ada Hutan Adat Tigo Luhah Kemantan yang masuk dalam penetapan hutan
adat pertama ini.
Sebuah terobosan besar dari pemerintah untuk mengakui
keberadaan wilayah masyarakat adat patut diapresiasi. Mengutip dari Majalah
Tempo edisi 6-12 Februari 2017 bahwa Presiden Jokowi berjanji akan memproses
pengakuan hutan adat lainnya (diluar 8 hutan adat yang sudah ditetapkan). “Kami
ingin luasannya mencapai ratusan ribu hektar. Tapi semua tergantung verifikasi
di lapangan” ucapnya. Senada dengan Presiden, Menteri Lingkungan Hidup dan
Kehutanan, Siti Nurbaya mengatakan bahwa tahun ini akan ada beberapa hutan adat
yang akan ditetapkan lagi. “Kami ingin luasannya mencapai ratusan ribu hektar”.
Penetapan ini merupakan klimaks dari putusan Mahkamah
Konstitusi Nomor 35 Tahun 2012 atau dikenal dengan MK35. MK 35 ini sebagai
koreksi terhadap UU Nomor 41 tahun 1999 tentang Kehutanan (UU 41/1999). Revisi
dilakukan dalam rangka menanggapi permohonan pengujian konstitusionalitas
sejumlah ketentuan UU 41/1999 yang menyangkut status dan penetapan hutan adat
serta bentuk dan tata cara pengakuan kesatuan masyarakat hukum adat (MHA).
Putusan tersebut menghapus “negara” di dalam hutan adat. Bisa dibilang putusan
ini mengembalikan hak hutan adat kepada masyarakat.
Sebelumnya dalam UU 41/1999 hutan hak didefinisikan sebagai
hutan yang berada pada tanah yang dibebani hak atas tanah. Dengan putusan MK 35
maka hutan hak tidak lagi hanya mencakup hutan yang berada di atas tanah
perseorangan/badan hukum tetapi juga yang berada pada wilayah masyarakat hukum
adat. Dengan ini, wana adat tidak lagi bagian dari hutan negera, tetapi
merupakan bagian dari hutan hak. Artinya MHA diberikan kewenangan untuk
mengelola hutan yang ada di dalam wilayah adatnya sendiri.
Paska keluarnya Putusan MK 35, pada tanggal 7 Juli 2015,
Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan mengubah syarat bentuk peraturan
pengukuhan keberadaan masyarakat hukum adat. Bersamaan dengan pemberlakuan
Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor P.32/Menlhk Setjen/2015,
pengakuan keberadaan dapat dilakukan dari semua bentuk peraturan yang masuk ke
dalam kategori produk hukum daerah seperti peraturan daerah, peraturan kepala
daerah, dan keputusan kepala daerah.
Pada pembuatan produk hukum daerah sendiri diperlukan
peraturan daerah tentang hutan adat. Kemudian masyarakat atau kelompok adat
bisa mengajukan hutan adatnya melalui mekanisme peraturan tersebut dengan
menyertakan syarat Kelembagaan Adat mereka beserta dokumen pendukung seperti tata
batas yang jelas, peta hutan adat yang diajukan, sejarah adat dan lain-lain.
Kemudian secara ringkas, alur mekanisme pelepasan hutan adat
dari kawasan hutan negara dapat dilakukan sebagai berikut :
1. Pembuatan
Produk Hukum Daerah
2. Pembentukan
TIM IP4T (Inventarisasi Penguasan, Pemilikan, Penggunaan dan Pemanfaatan Tanah)
3. Verifikasi,
Pendataan dan Analisas Data oleh Tim IP4T
4. Kajian
atas laporan analisis tim IP4T oleh LHK cq. Dirjen Planologi
5. Tata
Batas dan Keputusan Perubahan Kawasan Hutan oleh KLHK
6. Integrasi
Perubahan Kawasan ke dalam Tata Ruang
Setalah MHA diberikan hak adatnya, maka mereka diberi hak
kelola hutan sesuai dengan aturan mereka. Masyarakat juga bisa tetap
memanfaatkan hutan adat dengan skema Perhutanan Sosial seperti pada peraturan
Peraturan Menteri LHK No P.83/MenLHK/Setjen/ Kum.1/102016 (p83).
Meski mereka memiliki hak dalam mengelola
alasnya, masyarakat juga berkewajiban untuk mempertahankan fungsi hutan hak,
menjalankan prinsip-prinsip pengelolaan hutan lestari, memulihkan dan
meningkatkan fungsi hutan, melakukan pengamanan dan perlindungan terhadap hutan
dari kebakaran. Hutan adat juga tidak dapat dipindahtangankan atau dijual
kepada pihak lain. Jika ada yang terbukti melanggar, akan ditindak secara
hukum. Kewajiban ini yang “membebankan” MHA agar terus melestarikan hutan
mereka. Jadi, tak ada keraguan lagi untuk percaya bahwa masyarakat hukum adat
bisa menjaga hutan secara lestari dan berkelanjutan.
***
wah bermanfaat sekali infonya
BalasHapus