Kamis, 23 Februari 2017

Kado Manis Sang Penjaga Mandat Adat



Darlismi Patih, Ketua Adat Pungut Mudik




Berlatar sebuah hamparan hutan dan sawah, Darlismi Patih lelaki yang menjabat sebagai Ketua Adat itu menjelaskan tentang kondisi desa mereka beberapa tahun yang lalu. Bahwa banjir besar pernah melanda desa mereka. Pungut Mudik, nama desanya. Wilayah ini terletak di cekungan bentang alam Kerinci Seblat. Letaknya berbatasan dengan kawasan konservasi, Taman Nasional Kerinci Seblat (TNKS). 


“Dari tahun 1999 masyarakat memang yang meminta kalau hutan adat ini perlu dicadangkan. Setelah melalui proses panjang baru pada tahun 2013, hutan Adat Tigo Luhah Permenti Yang Berenam disahkan oleh bupati (menjadi hutan adat)” jelas Darlismi Patih.  Hutan yang menjadi harapan masyarakat untuk sumber air bersih dan minum, untuk irigasi, menjaga dari bencana (longsor, erosi, dan banjir) dan sumber obat-obatan tradisional. Masyarakat paham ikhwal kawasan konservasi dengan versi mereka.

Alas yang disebutkan oleh Darlismi memang terlihat mencolok dibanding kawasan hutan sekitarnya. Dari luar rimbanya masih bagus kerapatannya. Areal ini menurut Pemimpin Adat Pungut Mudik menjadi tempat tinggal bagi satwa seperti kijang, rusa, beruang, dan harimau sumatera. Luasnya mencapai 276 ha dan kebanyakan tumbuhannya didominasi oleh meranti, kemenyan, medang hijau, dan medang kuning. Serta Pinus Merkusii Strain Kerinci atau masyarakat mengenalnya dengan kayu sigi. Pohon ini merupakan endemis di Kerinci Seblat dan tidak bisa tumbuh di daerah lain.

Aturan adat melarang jika hutan dikonversi menjadi kebun atau areal perladangan dan tidak boleh diambil pohonnya. Norma berlaku menyebutkan, “barang siapa yang kedapatan mencuri kayu akan didenda 1,5 juta rupiah”. Boleh menebang pohon asalkan digunakan untuk kebutuhan masyarakat umum, misalnya untuk pembuatan balai desa. Itu pun harus mengganti 1 pohon yang ditebang dengan menanam 10 bibit kayu yang sama.

Meski sudah ditetapkan sebagai hutan adat, areal tersebut tetap diincar oleh perambah. Tetapi ancamannya berkurang dibandingkan dahulu sebelum ditetapkan. Sebagian besar perambah berasal dari luar desa. Untuk menjaga Jenggala dari serbuan pencuri, masyarakat Pungut Mudik selalu melakukan patrol minimal 3 bulan sekali. Satu tim patroli terdiri dari 15 orang. Selain patroli, mereka juga berjaga-jaga ketika ada kabar perambah masuk ke dalam hutan. Biasanya warga akan memberikan informasi jika ada perambah yang muncul. Mereka saling bekerjasama untuk menjaga hutan.
Hutan Adat sebagai sumber air dan siklus hara

Menetapkan Tiga Lurah Permenti Yang Berenam Menjadi Hutan Adat
Lembaga Tumbuh Alami (LTA) dengan bantuan pendanaan dari Tropical Forest Conservation Action – Sumatera (TFCA-Sumatera) mendampingi masyarakat untuk melakukan beberapa proses penetapan hutan adat. Diantaranya, mereka melakukan verifikasi lapangan, survei flora fauna, survei tata batas, pemetaan hutan, dan membentuk kelembagaan adat. Kemudian mengajukan draft SK Bupati disertai aturan-aturan adat yang mengikat pengelola hutan.

“Kami yakin bahwa hutan adat ini menjadi penting karena ini adalah benteng taman nasional. Ketika hutan dikelola masyarakat adat itu lebih baik dan terjaga” tutur Ema Fatma, Direktur LTA. Senyatanya masyarakat memang lebih taat dengan aturan adat. Kedudukan hukum dan aturan adat di tengah-tengah masyarakat “lebih tinggi” daripada hukum yang lain.

Ema kemudian menjelaskan, selain mendampingi penetapan, pihaknya juga melakukan upaya peningkatan ekonomi masyarakat. “Pendampingan saja tentu belum jadi muara keberhasilan. Tantangan ke depan adalah menjaga hutan adat dan aturan adat agar tetap lestari. Saat ini, hutan adat Tigo Luhah Permenti Yang Berenam telah diupayakan dalam skema karbon. Penelitian dari Akar Network menunjukan yakni di hutan ini ada 86 ton karbon yang tersimpan. Kami juga mengajukan standar sertifikasi Plan Vivo dan sudah dibuat Project Inditification Note (PIN). Sudah di revisi oleh plan vivo dan akan dilanjutkan ke Project Design Document (PDD)” ungkapnya.

Rencana kedepan, masyarakat Pungut Mudik juga akan didorong untuk budidaya kopi Arabika di daerah peladangannya (Pemetik Kecil, Renah Pemetik). Lembaga yang masuk dalam konsorsium Akar Network ini ingin meneruskan sukses mereka dengan masyarakat Kemantan yang telah mendorong sukses masyarakat budidaya kopi (simak tulisan saya tentang kisah sukses kopi arabika di Renah Pemetik di sini).
 
Masyarakat Pungut Mudik bercocok tanam

Kado Manis Masyarakat Penjaga Hutan
Penantian panjang masyarakat Pungut Mudik akhirnya tidak sia-sia. Sebelumnya, hutan mereka cuma diakui dengan hak “kelola” dengan surat keputusan Bupati Kerinci nomor SK 522.21/Kep.373/2013. Namun akhir tahun 2016 mereka diganjar kado akhir tahun yang manis. Atas kesetian mereka menjaga hutan, bersama tujuh kawasan adat lain mendapatkan pengakuan dari pemerintah (hutan adat). Bagi LTA dan TFCA-Sumatera, selain Hutan Adat Tigo Luhah Permenti, ada Hutan Adat Tigo Luhah Kemantan yang masuk dalam penetapan hutan adat pertama ini.

Sebuah terobosan besar dari pemerintah untuk mengakui keberadaan wilayah masyarakat adat patut diapresiasi. Mengutip dari Majalah Tempo edisi 6-12 Februari 2017 bahwa Presiden Jokowi berjanji akan memproses pengakuan hutan adat lainnya (diluar 8 hutan adat yang sudah ditetapkan). “Kami ingin luasannya mencapai ratusan ribu hektar. Tapi semua tergantung verifikasi di lapangan” ucapnya. Senada dengan Presiden, Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Siti Nurbaya mengatakan bahwa tahun ini akan ada beberapa hutan adat yang akan ditetapkan lagi. “Kami ingin luasannya mencapai ratusan ribu hektar”.

Penetapan ini merupakan klimaks dari putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 35 Tahun 2012 atau dikenal dengan MK35. MK 35 ini sebagai koreksi terhadap UU Nomor 41 tahun 1999 tentang Kehutanan (UU 41/1999). Revisi dilakukan dalam rangka menanggapi permohonan pengujian konstitusionalitas sejumlah ketentuan UU 41/1999 yang menyangkut status dan penetapan hutan adat serta bentuk dan tata cara pengakuan kesatuan masyarakat hukum adat (MHA). Putusan tersebut menghapus “negara” di dalam hutan adat. Bisa dibilang putusan ini mengembalikan hak hutan adat kepada masyarakat.

Sebelumnya dalam UU 41/1999 hutan hak didefinisikan sebagai hutan yang berada pada tanah yang dibebani hak atas tanah. Dengan putusan MK 35 maka hutan hak tidak lagi hanya mencakup hutan yang berada di atas tanah perseorangan/badan hukum tetapi juga yang berada pada wilayah masyarakat hukum adat. Dengan ini, wana adat tidak lagi bagian dari hutan negera, tetapi merupakan bagian dari hutan hak. Artinya MHA diberikan kewenangan untuk mengelola hutan yang ada di dalam wilayah adatnya sendiri.

Paska keluarnya Putusan MK 35, pada tanggal 7 Juli 2015, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan mengubah syarat bentuk peraturan pengukuhan keberadaan masyarakat hukum adat. Bersamaan dengan pemberlakuan Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor P.32/Menlhk Setjen/2015, pengakuan keberadaan dapat dilakukan dari semua bentuk peraturan yang masuk ke dalam kategori produk hukum daerah seperti peraturan daerah, peraturan kepala daerah, dan keputusan kepala daerah.

Pada pembuatan produk hukum daerah sendiri diperlukan peraturan daerah tentang hutan adat. Kemudian masyarakat atau kelompok adat bisa mengajukan hutan adatnya melalui mekanisme peraturan tersebut dengan menyertakan syarat Kelembagaan Adat mereka beserta dokumen pendukung seperti tata batas yang jelas, peta hutan adat yang diajukan, sejarah adat dan lain-lain.

Kemudian secara ringkas, alur mekanisme pelepasan hutan adat dari kawasan hutan negara dapat dilakukan sebagai berikut :
1. Pembuatan Produk Hukum Daerah
2. Pembentukan TIM IP4T (Inventarisasi Penguasan, Pemilikan, Penggunaan dan Pemanfaatan Tanah)
3. Verifikasi, Pendataan dan Analisas Data oleh Tim IP4T
4. Kajian atas laporan analisis tim IP4T oleh LHK cq. Dirjen Planologi
5. Tata Batas dan Keputusan Perubahan Kawasan Hutan oleh KLHK
6. Integrasi Perubahan Kawasan ke dalam Tata Ruang

Setalah MHA diberikan hak adatnya, maka mereka diberi hak kelola hutan sesuai dengan aturan mereka. Masyarakat juga bisa tetap memanfaatkan hutan adat dengan skema Perhutanan Sosial seperti pada peraturan Peraturan Menteri LHK No P.83/MenLHK/Setjen/ Kum.1/102016 (p83).   
Meski mereka memiliki hak dalam mengelola alasnya, masyarakat juga berkewajiban untuk mempertahankan fungsi hutan hak, menjalankan prinsip-prinsip pengelolaan hutan lestari, memulihkan dan meningkatkan fungsi hutan, melakukan pengamanan dan perlindungan terhadap hutan dari kebakaran. Hutan adat juga tidak dapat dipindahtangankan atau dijual kepada pihak lain. Jika ada yang terbukti melanggar, akan ditindak secara hukum. Kewajiban ini yang “membebankan” MHA agar terus melestarikan hutan mereka. Jadi, tak ada keraguan lagi untuk percaya bahwa masyarakat hukum adat bisa menjaga hutan secara lestari dan berkelanjutan.
***


NB : saya tulis dari pengalaman perjalanan dinas dari kantor saya




1 komentar: