Jumat, 13 Januari 2017

Duh, Tiga Kali Gagal Sunrise Punthuk Setumbu

Borobudur dan Sunrise yang malu-malu

Desau udara berbalut dingin dini hari itu membuat saya dan rombongan terbuai. Ingin rasanya merelakan kesempatan melihat matahari terbit dan kembali merebahkan diri di kasur empuk. Tapi rasa penasaran saya melihat sunrise di Punthuk Setumbu melampui godaan sekedar tidur. Penasaran karena sudah dua kali gagal sunrise. Berangkatlah saya dan teman-teman dari sebuah hotel di sekitar Malioboro menuju Magelang.
Berdesak-desakan kami tumpah ruah di dalam mobil. Perjalanan 20 menit pertama tersaji atmosfer Yogyakarta dini hari. Meski tidak ramai, Jogja kala subuh terbilang tidak pernah sepi. Ada para pelancong yang masih bangun sekedar untuk berburu lezatnya gudeg. Atau muda-mudi yang baru pulang dari tempat ngobrolnya. Saya tahu itu karena saya pernah merasakan ‘kehidupan malam kota pelajar’. Kehidupan malam yang saya maksud bukan soal budaya hedonisme saja. Misalnya ngobrol/diskusi dengan kawan sampai larut pagi atau mengerjakan tugas kuliah atau bahkan sepulang dari kegiatan organisasi di kampus. Ada juga yang hendak berangkat naik gunung, turun ke pantai, atau seperti kami pergi ke Punthuk Setumbu dan lokasi lain untuk mencari matahari terbit.
Setelah melaju lewat sepertiga jam, suasana mulai sepi. Intensitas hilir mudik kendaraan mulai berkurang. Kami melewati gerbang perbatasan Jogja dan Magelang. Mobil kami terus berjalan sampai di pertigaan Pabelan atau masyarakat lokal menyebutnya ‘Palbapang’. Mobil berbelok kiri. Kemudian terhampar pemandangan sawah di kanan kiri jalan dengan selingan rumah-rumah.

Sepuluh menit berlalu, kami melihat sebuah candi kecil yang dikenal dengan candi Mendut. Mobil masih berjalan terus ke arah Borobudur. Bergerak mengikuti petunjuk bertuliskan “Punthuk Setumbu”. Sebelum kami sampai ke tempat tujuan, mobil kami dihentikan oleh adzan subuh. Kami berhenti sebentar untuk menunaikan ibadah.
Tak beberapa lama, kami melanjutkan perjalanan. Hanya berjarak 10 menit, kami telah sampai ke parkiran bukit berketinggan 400 mdpl itu. Total waktu yang kami butuhkan untuk sampai di pelataran parkir Punthuk Setumbu lebih kurang 1 jam.

Setahu saya, dahulu Punthuk Setumbu adalah ladang milik masyarakat. Kemudian mulai terkenal ketika beberapa orang mengabadikan momen matahari terbit lewat fotografi. Tahun 2014, terakhir saya kesini, jalan masih berupa tanah. Pavling belum sampai ke atas. Baru separuh.

Kami bukan satu-satunya rombongan di sana. Masih banyak lagi rombongan yang berkunjung. Punthuk Setumbu pagi itu ramai lancar. Kami masuk berbekal tiket Rp 15.000,- tiap orang. Treking pun di mulai. Tak usah kwatir, jalan menuju lokasi melihat sunrise sudah bagus. Jalannya sudah berpavling sehingga tak perlu takut becek. Kondisi treking pun tidak terjal. Dibutuhkan waktu 10 menit bila berjalan lancar atau 15-20 menit jika anda berjalan banyak mengambil nafas. Fasilitas seperti penerangan juga sudah ada. Ini membuat 2 buah senter yang kami siapkan tak begitu berarti. Tak perlu risau juga dengan ‘ritual pagi’ anda. Di atas ada toilet lengkap dengan airnya. Atau kalau tiba-tiba kelaparan sudah ada banyak penjual pop-mie.
Mendung senja hari

Sampai di atas, orang-orang sudah ramai dan besiap dengan kamera masing-masing. Saya yakin mereka sudah mempersiapkan batre penuh untuk kamera handphone, act.cam, miroles, dan DSLR. Pengunjung tak ingin ketinggalan moment terbaik saat melihat matahari terbit di atas Candi Borobudur dan diantara 2 gunung (Merapi dan Merbabu). Lalu setelah agak terang, mereka akan melihat hijaunya Magelang dengan kabut tumpah seperti air di sungai.

Sayang, itu semua hanya harapan. Cuaca pagi itu mendung. Angin berhembus kencang. Dan tak beberapa lama hujan pun turun. Membuyarkan angan-angan kami. Bagi saya, entah sial atau secamnya  ini yang ketiga kali saya gagal sunrise di Punthuk Setumbu! Namun tak apa, meski matahari ditutup awan tetapi kami masih punya wahana foto-foto yang menarik. Sudah dibuatkan tempat foto yang berlatar belakang pemandangan sawah dan bukit. Hampir mirip dengan bukit Mongkrong (terletak di atas Punthuk Setumbu). Saya sendiri juga baru tahu, karena perjumpaan terakhir saya di sini belum ada tempat foto seperti ini.
Borobudur dari Punthuk Setumbu
Pengunjung berfoto ramai-ramai

Ya setidaknya menjadi obat penawar angan sunrise kami. Soal gagal sunrise lagi, tak perlu menyesal berlebihan. Perubahan cuaca siapa yang tahu. Sebab selama beberapa hari saya tinggal di Magelang, matahari kadang bisa tambil garang atau tetiba disapu awan. Hanya Tuhan YME yang tahu dan itu hak prerogatifnya. Perlu diingat juga bahwa arti perjalanan bukanlah soal obyek saja, tetapi proses dan nilainya juga penting. Ada nilai lain yang bisa kita ambil seperti pengalaman perjalanan pagi hari yang tentu menyehatkan. Juga biar bisa bercerita dan memberikan tips (seperti yang saya tulis di bawah), biar orang lain mempersiapkan perjalanannya.
Berikut Tipsnya :




Gambar Lain :


Kondisi jalan menuju Punthuk Setumbu

Pengunjung bergaya di spot foto






Tidak ada komentar:

Posting Komentar