Sibuk memermak Palembang |
Garuda telah lepas landas di bandar udara Sultan Mahmud
Baddarudin II. Garbarata mengantarkan saya sampai di mulut terminal pesawat.
Saya keluar dari bandara kebanggaan Wong Kito Galo itu. Saya lalu mencari taksi
resmi bandara. Agak malas mencari taksi di luar yang kadang selalu menetapkan
harga seenaknya sendiri.
Dengan taksi saya melaju menuju hotel di pusat kota
Palembang. Ada yang nampak berbeda di kota empek-empek ini. Ya, Palembang
sedang memermak diri untuk perhelatan akbar se-Asia tahun 2018 nanti. Saya
pikir Sumatera Selatan akan memusatkan semua pembangunan di Palembang. Ketika
anda bepergian ke ujung-ujung daerah bekas negeri Sriwijaya ini, anda akan tahu
perbedaan pembangunan yang saya maksud.
Laju taksi agak tersendat karena macet akibat pengecoran
beton-beton. Saya lalu memalingkan wajah ke kiri jalan. Berharap ada
pemandangan yang dapat saya tangkap. Mata saya tertuju pada sekelompok pekerja
yang menarik pipa dari dalam tanah. Ada yang memakai helm dan rompi proyek
warna orange. Ada juga yang tanpa atribut. Masih belepotan dengan tanah.
Maka, pikiran saya melayang. Melamun ke antah berantah.
Membayangkan mereka dan keluarga mereka.
Mencoba melihat Palembang waktu itu dari atas. Menumpahkan
semua penglihatan saya di seluruh bumi Indonesia. Menumpahkan semua gambaran
sehari-hari yang pernah saya lihat di bumi pertiwi ini.
Saya melihat anak kecil meminta-minta di bawah kolong
jembatan. Berbekal baju lusuh dan tangan menengadah. Lalu lewat pemuda 20-an
tahun memberi sekeping uang logam. Si anak cemberut. Si pemuda berlalu begitu
saja. Nampaknya dia terburu-buru. Mungkin dengan pakaian rapinya, dia mengejar
jam rapat di kantornya.
Tak jauh dari situ, ada ibu penjual kopi dengan senyum
melayani para pelanggan. Melayani polisi yang meminta segelas kopi hitam. Si
polisi ingin santai sejenak setelah tadi seharian mengawasi jalannya unjuk rasa
tak jauh dari situ. Sambil menengguk kopi si Polisi membersihkan gigi karena
sililit daging makan siang tadi.
Unjuk rasa memang tadi terjadi. Sekelompok mahasiswa dengan
bendera identitas mereka menyuarakan pendapatnya. Mereka bilang pemerintah ini
terlalu korup dan membiarkan para koruptor bebas berkeliaran. “Si Maling” hanya
senyum-senyum melihat aksi dari siaran televisi. Biarkan saja, katanya.
Agak jauh dari situ, ada Kopaja yang sedang narik. Gegara
demo, si sopir mengeluh. Akibat kena macet, bensin tambah. Dan penumpang tidak
mau ngasih tips karena sebab macet. Di belakang sopir, ada seorang bapak
berpeci. Bapak berpeci itu mengantar istrinya yang hendak cek ke dokter karena kepalanya
terasa pusing. Sedang si dokter juga sudah menunggu para pasiennya di rumah
dinasnya.
Tepat di belakang pasangan suami istri tadi, ada ibu 50
tahunan membawa keranjang sayuran. Ibu ini penjual nasi sayur yang mungkin hasil
masakannya telah disantap si Polisi siang tadi.
Jauh dari hiruk pikuk metropolitan. Berjarak 500 km dari
pusat kota itu di sebuah desa yang aman tentram -kecuali jika ada tanah longsor-.
Seorang petani sedang memandang tanaman sayuranya sambil menghisap rokok di
tangan kanannya. Bisa jadi tanaman sayurnya itu yang tadi dibeli si ibu penjual
nasi sayur.
Rokoknya dibeli di warung ujung desa. Tempat para warga
membeli rinso, pepsodent, minyak wangi dan lain-lain. Pemilik warung, sore itu
menggerutu karena banyak petani yang hutang dan belum dibayar. Ditambah anaknya
yang laki-laki ngambek tak mau mengaji. Ritual sore di desa itu adalah mengaji.
Pengajarnya kyai yang disegani seantero desa. Dulu sang kyai juga pernah
merantau ke kota tetapi pulang karena harus meneruskan tugas mulia orang tuanya
untuk mengajar ngaji.
Di warung itu juga, para muda mudi sedang berkumpul.
Anak-anak lelaki yang masih muda sedang menunggu tontonan bola. Mengobati
dahaga mereka karena baru saja liga digulirkan setelah vakum karena carut marut
manajemen. Yang mudi, sudah berdandan menunggu pacar mengajak nonton dangdut
nanti malam.
Sedang mereka yang di desa bersenang-senang. Para pemimpin
negeri dan politisi lain sedang pusing. Ada yang pusing bagaimana
menyejahterakan mereka. Ada yang pusing bagaimana memproyekkan mereka.
Ah lalu saya males ketika imajinasi saya sampai di persoalan
politik. Saya tergugah. Saya pikir sudah akan sampai di hotel. Tetapi masih
jauh. Ternyata macet sedari tadi. Sekelompok orang yang sedang bekerja tadi
sudah tak terlihat dari kaca spion mobil.
Saya melanjutkan mengobrol dengan supir taksi. Biar gak
ngantuk dan memupuk jiwa sok ingin tahu saya. Saya cuma mancing pertanyaan
sedikit. Lalu bapaknya, bercerita ngalor ngidul. Oh bukan ngalor ngidul.
Bapaknya fokus pada cerita si anak lanangnya. Anak lanangnya ini baru SMP
(Sekolah Menengah Pertama). Masuk ke SMP favorit di Palembang. Bapaknya
mengeluh karena anaknya hanya mau dikasih uang saku 20 ribu tiap hari. Gak mau
dibekalin makanan dan minuman dari rumah. Cerita dari bapaknya, si anak ini
jarang mau bergahul. Dia lebih memilih belajar. Anaknya rajin belajar dan
merengek untuk ikut les. Tapi bapaknya sangat bangga dengan anaknya. Sebab
anaknya sangat pintar dan sering juara kelas. Bapaknya sampai mengizinkan
anaknya les sehari 2 kali. Les di tempat sekolah dan les private. Meski nanti
sampai rumah sudah menjelang isyak. Kemudian anaknya akan tidur dan bangun pagi.
Seperti itu terus aktivitasnya. Bahkan rela minggunya ditukar dengan les.
Bapaknya tetap bangga.
Sampai bapaknya selesai cerita. Saya turun dekat hotel dan
makan nasi padang di sebelah hotel. Nasi padang yang waktu itu sambelnya habis.
Sampai di kamar hotel. Saya membuka tirai. Melihat Palembang
dari lantai 7 hotel itu. Saya bisa melihat bangunan tinggi, rumah bagus, rumah
kumuh, macet, bangunan tinggi setengah jadi, pasar, mall, mobil bagus, sepeda
motor, orang jalan kaki.
Diversitas manusia begitu tinggi. Tiap insan berbeda satu
dengan yang lain. Bahkan anak kembar sekalipun. Mereka membawa nilai
masing-masing dalam hidup mereka. Ada orang yang dicap jahat dan baik.
Tegantung ukuran. Tergantung siapa yang menilai.
Tiap orang yang dikatakan jahat pasti akan berpengaruh
terhadap orang yang dikatakan baik. Bagitu sebaliknya.
Saya meyakini, teori diversitas dalam ilmu ekologi juga sama
dengan diversitas manusia. Dimana dalam ekosistem, semuanya saling bergantung
satu sama lain. Apa yang terjadi pada satu populasi akan berdampak pada
populasi yang lain. Keseimbangan akan terus dijaga. Terus dan terus hingga
menjadi satu siklus. Misalnya, punahnya ular akan menyebabkan tikus berkembang
pesat, padi menjadi gagal panen, petani tidak bisa panen, dan seterusnya. Sama
halnya dengan diversitas manusia. Kejahatan satu orang bisa menyebabkan
kerugian pada manusia lain.
Pernah berpikir, kasus kejahatan yang dilakukan seorang
dengan meracuni orang lain dengan kopi? Menimbulkan kegegeran banyak orang.
Disiarkan banyak media. Jenis kopi yang dipesan menjadi terkenal. Tetapi juga
ada berita lain bahwa ada orang yang terinspirasi membunuh dengan cara yang
sama. Pemberitaan yang tiap hari hingga mengalihkan isu suatu hal. Anda lihat
dampaknya?
Ada lagi tayangan youtube dengan lirik lagu mencaci dan
mengajarkan pada keburukkan. Berapa anak yang semakin pede berbuat buruk
setelah adanya lagu itu? Berapa banyak anak yang sifat nakalnya meresa didukung
oleh banyak orang setelah adanya lagu itu? Berapa banyak air mata ibu yang
menangis karena anaknya berubah menjadi nakal?
Walaupun saya juga meyakini, bahwa setiap orang akan
menemukan jalan dan kedewasaannya. Setiap orang yang dikatakan jahat sekalipun
terbuka pintunya untuk menjadi baik. Atau sebaliknya. Tetapi, akan berapa jauh
jalan yang dilalui untuk menjadi baik? Berapa kerugian orang lain yang akan
disebabkan hanya untuk proses menjadi baik? Berapa tetes air mata ibumu untuk
menantimu?
Satu sisi, ada banyak cerita inspiratif lain. Membuat orang
tergugah untuk bergerak, menyumbang dan mengkloning kegiatannya. Banyak
kelompok orang yang menerima manfaatnya, Masyarakat sejahtera dan bahagia.
Maka nilai seperti apa yang telah kamu bawa dalam
kehidupanmu? Pernah berpikir mau dibawa kemana hidupmu? Pernah bertanya pada
dirimu sendiri bahwa kamu menjalani rutinitas harimu untuk apa, untuk siapa dan
mengapa?
Lalu, kamu mau memilih menjadi manusia seperti apa? Mau
mengambil peranan apa di masyarakat?
***
Tulisan yang saya tulis untuk diri saya sendiri.
November 2016.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar