Minggu, 04 Desember 2016

Mau Ambil Peran Apa?

Sibuk memermak Palembang



Garuda telah lepas landas di bandar udara Sultan Mahmud Baddarudin II. Garbarata mengantarkan saya sampai di mulut terminal pesawat. Saya keluar dari bandara kebanggaan Wong Kito Galo itu. Saya lalu mencari taksi resmi bandara. Agak malas mencari taksi di luar yang kadang selalu menetapkan harga seenaknya sendiri.

Dengan taksi saya melaju menuju hotel di pusat kota Palembang. Ada yang nampak berbeda di kota empek-empek ini. Ya, Palembang sedang memermak diri untuk perhelatan akbar se-Asia tahun 2018 nanti. Saya pikir Sumatera Selatan akan memusatkan semua pembangunan di Palembang. Ketika anda bepergian ke ujung-ujung daerah bekas negeri Sriwijaya ini, anda akan tahu perbedaan pembangunan yang saya maksud.


Laju taksi agak tersendat karena macet akibat pengecoran beton-beton. Saya lalu memalingkan wajah ke kiri jalan. Berharap ada pemandangan yang dapat saya tangkap. Mata saya tertuju pada sekelompok pekerja yang menarik pipa dari dalam tanah. Ada yang memakai helm dan rompi proyek warna orange. Ada juga yang tanpa atribut. Masih belepotan dengan tanah.
Maka, pikiran saya melayang. Melamun ke antah berantah. Membayangkan mereka dan keluarga mereka.

Mencoba melihat Palembang waktu itu dari atas. Menumpahkan semua penglihatan saya di seluruh bumi Indonesia. Menumpahkan semua gambaran sehari-hari yang pernah saya lihat di bumi pertiwi ini.

Saya melihat anak kecil meminta-minta di bawah kolong jembatan. Berbekal baju lusuh dan tangan menengadah. Lalu lewat pemuda 20-an tahun memberi sekeping uang logam. Si anak cemberut. Si pemuda berlalu begitu saja. Nampaknya dia terburu-buru. Mungkin dengan pakaian rapinya, dia mengejar jam rapat di kantornya.

Tak jauh dari situ, ada ibu penjual kopi dengan senyum melayani para pelanggan. Melayani polisi yang meminta segelas kopi hitam. Si polisi ingin santai sejenak setelah tadi seharian mengawasi jalannya unjuk rasa tak jauh dari situ. Sambil menengguk kopi si Polisi membersihkan gigi karena sililit daging makan siang tadi.

Unjuk rasa memang tadi terjadi. Sekelompok mahasiswa dengan bendera identitas mereka menyuarakan pendapatnya. Mereka bilang pemerintah ini terlalu korup dan membiarkan para koruptor bebas berkeliaran. “Si Maling” hanya senyum-senyum melihat aksi dari siaran televisi. Biarkan saja, katanya.

Agak jauh dari situ, ada Kopaja yang sedang narik. Gegara demo, si sopir mengeluh. Akibat kena macet, bensin tambah. Dan penumpang tidak mau ngasih tips karena sebab macet. Di belakang sopir, ada seorang bapak berpeci. Bapak berpeci itu mengantar istrinya yang hendak cek ke dokter karena kepalanya terasa pusing. Sedang si dokter juga sudah menunggu para pasiennya di rumah dinasnya.
Tepat di belakang pasangan suami istri tadi, ada ibu 50 tahunan membawa keranjang sayuran. Ibu ini penjual nasi sayur yang mungkin hasil masakannya telah disantap si Polisi siang tadi.

Jauh dari hiruk pikuk metropolitan. Berjarak 500 km dari pusat kota itu di sebuah desa yang aman tentram -kecuali jika ada tanah longsor-. Seorang petani sedang memandang tanaman sayuranya sambil menghisap rokok di tangan kanannya. Bisa jadi tanaman sayurnya itu yang tadi dibeli si ibu penjual nasi sayur.

Rokoknya dibeli di warung ujung desa. Tempat para warga membeli rinso, pepsodent, minyak wangi dan lain-lain. Pemilik warung, sore itu menggerutu karena banyak petani yang hutang dan belum dibayar. Ditambah anaknya yang laki-laki ngambek tak mau mengaji. Ritual sore di desa itu adalah mengaji. Pengajarnya kyai yang disegani seantero desa. Dulu sang kyai juga pernah merantau ke kota tetapi pulang karena harus meneruskan tugas mulia orang tuanya untuk mengajar ngaji.

Di warung itu juga, para muda mudi sedang berkumpul. Anak-anak lelaki yang masih muda sedang menunggu tontonan bola. Mengobati dahaga mereka karena baru saja liga digulirkan setelah vakum karena carut marut manajemen. Yang mudi, sudah berdandan menunggu pacar mengajak nonton dangdut nanti malam.

Sedang mereka yang di desa bersenang-senang. Para pemimpin negeri dan politisi lain sedang pusing. Ada yang pusing bagaimana menyejahterakan mereka. Ada yang pusing bagaimana memproyekkan mereka.

Ah lalu saya males ketika imajinasi saya sampai di persoalan politik. Saya tergugah. Saya pikir sudah akan sampai di hotel. Tetapi masih jauh. Ternyata macet sedari tadi. Sekelompok orang yang sedang bekerja tadi sudah tak terlihat dari kaca spion mobil.

Saya melanjutkan mengobrol dengan supir taksi. Biar gak ngantuk dan memupuk jiwa sok ingin tahu saya. Saya cuma mancing pertanyaan sedikit. Lalu bapaknya, bercerita ngalor ngidul. Oh bukan ngalor ngidul. Bapaknya fokus pada cerita si anak lanangnya. Anak lanangnya ini baru SMP (Sekolah Menengah Pertama). Masuk ke SMP favorit di Palembang. Bapaknya mengeluh karena anaknya hanya mau dikasih uang saku 20 ribu tiap hari. Gak mau dibekalin makanan dan minuman dari rumah. Cerita dari bapaknya, si anak ini jarang mau bergahul. Dia lebih memilih belajar. Anaknya rajin belajar dan merengek untuk ikut les. Tapi bapaknya sangat bangga dengan anaknya. Sebab anaknya sangat pintar dan sering juara kelas. Bapaknya sampai mengizinkan anaknya les sehari 2 kali. Les di tempat sekolah dan les private. Meski nanti sampai rumah sudah menjelang isyak. Kemudian anaknya akan tidur dan bangun pagi. Seperti itu terus aktivitasnya. Bahkan rela minggunya ditukar dengan les. Bapaknya tetap bangga.

Sampai bapaknya selesai cerita. Saya turun dekat hotel dan makan nasi padang di sebelah hotel. Nasi padang yang waktu itu sambelnya habis.

Sampai di kamar hotel. Saya membuka tirai. Melihat Palembang dari lantai 7 hotel itu. Saya bisa melihat bangunan tinggi, rumah bagus, rumah kumuh, macet, bangunan tinggi setengah jadi, pasar, mall, mobil bagus, sepeda motor, orang jalan kaki.

Diversitas manusia begitu tinggi. Tiap insan berbeda satu dengan yang lain. Bahkan anak kembar sekalipun. Mereka membawa nilai masing-masing dalam hidup mereka. Ada orang yang dicap jahat dan baik. Tegantung ukuran. Tergantung siapa yang menilai.

Tiap orang yang dikatakan jahat pasti akan berpengaruh terhadap orang yang dikatakan baik. Bagitu sebaliknya.

Saya meyakini, teori diversitas dalam ilmu ekologi juga sama dengan diversitas manusia. Dimana dalam ekosistem, semuanya saling bergantung satu sama lain. Apa yang terjadi pada satu populasi akan berdampak pada populasi yang lain. Keseimbangan akan terus dijaga. Terus dan terus hingga menjadi satu siklus. Misalnya, punahnya ular akan menyebabkan tikus berkembang pesat, padi menjadi gagal panen, petani tidak bisa panen, dan seterusnya. Sama halnya dengan diversitas manusia. Kejahatan satu orang bisa menyebabkan kerugian pada manusia lain.

Pernah berpikir, kasus kejahatan yang dilakukan seorang dengan meracuni orang lain dengan kopi? Menimbulkan kegegeran banyak orang. Disiarkan banyak media. Jenis kopi yang dipesan menjadi terkenal. Tetapi juga ada berita lain bahwa ada orang yang terinspirasi membunuh dengan cara yang sama. Pemberitaan yang tiap hari hingga mengalihkan isu suatu hal. Anda lihat dampaknya?
Ada lagi tayangan youtube dengan lirik lagu mencaci dan mengajarkan pada keburukkan. Berapa anak yang semakin pede berbuat buruk setelah adanya lagu itu? Berapa banyak anak yang sifat nakalnya meresa didukung oleh banyak orang setelah adanya lagu itu? Berapa banyak air mata ibu yang menangis karena anaknya berubah menjadi nakal?

Walaupun saya juga meyakini, bahwa setiap orang akan menemukan jalan dan kedewasaannya. Setiap orang yang dikatakan jahat sekalipun terbuka pintunya untuk menjadi baik. Atau sebaliknya. Tetapi, akan berapa jauh jalan yang dilalui untuk menjadi baik? Berapa kerugian orang lain yang akan disebabkan hanya untuk proses menjadi baik? Berapa tetes air mata ibumu untuk menantimu?
Satu sisi, ada banyak cerita inspiratif lain. Membuat orang tergugah untuk bergerak, menyumbang dan mengkloning kegiatannya. Banyak kelompok orang yang menerima manfaatnya, Masyarakat sejahtera dan bahagia.

Maka nilai seperti apa yang telah kamu bawa dalam kehidupanmu? Pernah berpikir mau dibawa kemana hidupmu? Pernah bertanya pada dirimu sendiri bahwa kamu menjalani rutinitas harimu untuk apa, untuk siapa dan mengapa? 

Lalu, kamu mau memilih menjadi manusia seperti apa? Mau mengambil peranan apa di masyarakat? 
***
Tulisan yang saya tulis untuk diri saya sendiri. 
November 2016.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar