Sabtu, 03 Desember 2016

Dimana Sampahmu di Situ Empatimu



Jakarta pagi itu terasa hangat. Seperti biasa mobil dan motor telah menyemut. Mengantar si empunya untuk mencari sesuap nasi.

Di tengah kerumunan besi bermesin itu ada satu mobil berwarna putih melewati motor saya. Kendaraan beroda empat di depan saya itu yang sedari tadi mengandap-endap pelan tiba-tiba menurunkan kacanya. Ayal. Dari dalam keluar tangan. Melemparkan bekas wadah minuman dan makanannya. Plak! Saya yang di belakangnya hampir kena sampahnya.

Saya menghindar. Hampir oleng. Menggeleng melihat kelakuan penumpang mobil itu.
Tak hanya sekali, saya sering mengalami itu. Dari belakang melihat tangan-tangan merasa tak berdosa melempar kotoran dari kendaraan mereka. Begitu mudah dan entengnya membuang sampah sembarangan.

Hal demikian tidak hanya terjadi di Ibukota, tetapi jamak saya lihat di beberapa daerah yang pernah saya kunjungi.

Apa mereka pikir jalanan adalah tempat pembuangan sampah?

Tak usah jauh-jauh mengkritik bagaimana pola masyarakat pinggir kali yang sering dikatakan membuang sampah sembarangan. Lihat saja mereka. Dandanan boleh perlente. Mobil boleh mewah. Motor boleh 250 cc. Tetapi sikap?

Menurut saya, perilaku yang seperti ini bukan dipengaruhi oleh tingginya pendidikan "saja". Pendidikan tinggi memang berpengaruh pada cara pandang manusia. Setelah itu soal perilaku serahkan pada yang namanya empati.

Kalau anda ingin melihat tingkatan empati seseorang coba lihat bagaimana dia memperlakukan lingkungan sekitarnya. Ketika anda melihatnya mudah sekali nyampah tidak pada tempatnya. Saya yakin empatinya rendah.

Bagaimana anda bisa mengharapkan tanggung jawab dan peranannya? Jika saja pada tanggung jawabnya yang paling kecil -baca: membuang sampah pada tempatnya- saja dia abai dan acuh.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar