Senin, 12 Desember 2016

Menyecap Kelezatan Gulai Kepala Ikan Pak Malin



Hidangan Rumah Makan Pak Malin

Subuh itu, seorang lelaki berumur 60 tahun terlihat sedang memilah-milah ikan di Pasar Raya Padang. Dia hendak membeli ikan untuk dimasak. Lelaki yang gemar memakai peci ini ingin memastikan ikan-ikan yang hendak dibeli berkualitas bagus dan masih segar. “Kami memilih ikan segar untuk menghasilkan masakan yang lezat. Ikannya pun berasal dari Mentawai“ terangnya.

Sepulangnya dari pasar dibersihkannya ikan-ikan itu. Kemudian dicemplungkan ke dalam kuah gulai yang telah dimasak sebelum berangkat ke pasar. Lalu diaduk sampe 30 menit dan siap dihidangkan. Sebagai tandem dari gulai ikan itu ada rebusan daun singkong, sambel cabai hijau, sambal cabai merah, dan sambal terong.

Minggu, 04 Desember 2016

Mau Ambil Peran Apa?

Sibuk memermak Palembang



Garuda telah lepas landas di bandar udara Sultan Mahmud Baddarudin II. Garbarata mengantarkan saya sampai di mulut terminal pesawat. Saya keluar dari bandara kebanggaan Wong Kito Galo itu. Saya lalu mencari taksi resmi bandara. Agak malas mencari taksi di luar yang kadang selalu menetapkan harga seenaknya sendiri.

Dengan taksi saya melaju menuju hotel di pusat kota Palembang. Ada yang nampak berbeda di kota empek-empek ini. Ya, Palembang sedang memermak diri untuk perhelatan akbar se-Asia tahun 2018 nanti. Saya pikir Sumatera Selatan akan memusatkan semua pembangunan di Palembang. Ketika anda bepergian ke ujung-ujung daerah bekas negeri Sriwijaya ini, anda akan tahu perbedaan pembangunan yang saya maksud.

Sabtu, 03 Desember 2016

Dimana Sampahmu di Situ Empatimu



Jakarta pagi itu terasa hangat. Seperti biasa mobil dan motor telah menyemut. Mengantar si empunya untuk mencari sesuap nasi.

Di tengah kerumunan besi bermesin itu ada satu mobil berwarna putih melewati motor saya. Kendaraan beroda empat di depan saya itu yang sedari tadi mengandap-endap pelan tiba-tiba menurunkan kacanya. Ayal. Dari dalam keluar tangan. Melemparkan bekas wadah minuman dan makanannya. Plak! Saya yang di belakangnya hampir kena sampahnya.

Saya menghindar. Hampir oleng. Menggeleng melihat kelakuan penumpang mobil itu.
Tak hanya sekali, saya sering mengalami itu. Dari belakang melihat tangan-tangan merasa tak berdosa melempar kotoran dari kendaraan mereka. Begitu mudah dan entengnya membuang sampah sembarangan.

Hal demikian tidak hanya terjadi di Ibukota, tetapi jamak saya lihat di beberapa daerah yang pernah saya kunjungi.

Apa mereka pikir jalanan adalah tempat pembuangan sampah?

Tak usah jauh-jauh mengkritik bagaimana pola masyarakat pinggir kali yang sering dikatakan membuang sampah sembarangan. Lihat saja mereka. Dandanan boleh perlente. Mobil boleh mewah. Motor boleh 250 cc. Tetapi sikap?

Menurut saya, perilaku yang seperti ini bukan dipengaruhi oleh tingginya pendidikan "saja". Pendidikan tinggi memang berpengaruh pada cara pandang manusia. Setelah itu soal perilaku serahkan pada yang namanya empati.

Kalau anda ingin melihat tingkatan empati seseorang coba lihat bagaimana dia memperlakukan lingkungan sekitarnya. Ketika anda melihatnya mudah sekali nyampah tidak pada tempatnya. Saya yakin empatinya rendah.

Bagaimana anda bisa mengharapkan tanggung jawab dan peranannya? Jika saja pada tanggung jawabnya yang paling kecil -baca: membuang sampah pada tempatnya- saja dia abai dan acuh.