“Cerita kopi tidak saja soal minuman.
Karena setiap kopi yang kita minum selalu punya jalan ceritanya sendiri.
Seperti halnya kopi di Renah Pemetik, Jambi. Kopi disana telah menjadi benteng Taman
Nasional Kerinci Seblat dari serbuan perambah.”
Mobil double gardan hitam pagi itu telah berhasil mengocok
perut saya dan beberapa teman wartawan. Kami dipaksa berolahraga di dalam
mobil. Melewati jalanan dengan elevasi tinggi. Ditambah bonus lintasan
berlumpur dan berbatu.
Kondisi jalan masih bagus di awal perjalanan |
Mobil kami parkir di depan rumah |
Selesai beberes dan bebersih, kami menuju teras rumah. Telah menunggu di sana beberapa warga yang menyambut kedatangan kami.
Makan siang telah tersaji. Ayam goreng, gulai ikan, lalapan serta sambel merayu-rayu perut kami.
Ditemani gerimis tipis dan segelas minuman berkafein ini, babakan kopi kemudian mengalir dalam diskusi siang itu.
Sore itu setelah hujan reda, kami berjalan menuju salah satu
kebun kopi milik warga. Paidirman namanya. Waktu kami datang, pria beranak 2
ini sedang melepas lelah setelah seharian mencambuti rumput.
Warga Desa Kemantan ini memulai bertani kopi khususnya arabika sejak 2014. Dia dan warga lain terinspirasi dari 4 warga yang merintis kopi arabika di Renah Pemetik. Paidirman sendiri sudah 5 bulan merasakan hasil panen kopi arabikanya.
Pria berumur 40 tahun ini mengaku bahwa dulunya dia adalah seorang “petani” kopi robusta di dalam kawasan TNKS. Namun 2 tahun belakangan setelah disibukan dengan tanaman kopi arabikanya, dia sudah meninggalkan lahan kopi robustanya.
Warga Desa Kemantan ini memulai bertani kopi khususnya arabika sejak 2014. Dia dan warga lain terinspirasi dari 4 warga yang merintis kopi arabika di Renah Pemetik. Paidirman sendiri sudah 5 bulan merasakan hasil panen kopi arabikanya.
Pria berumur 40 tahun ini mengaku bahwa dulunya dia adalah seorang “petani” kopi robusta di dalam kawasan TNKS. Namun 2 tahun belakangan setelah disibukan dengan tanaman kopi arabikanya, dia sudah meninggalkan lahan kopi robustanya.
“Kopi arabika ini telah menyita waktu saya untuk ikut membuka lahan di dalam kawasan taman nasional. Saya sudah tidak lagi mengurusi kopi saya di dalam kawasan. Saya dulu hanya ikut-ikutan membuka lahan di dalam kawasan. Kami membuka lahan baru karena di sini (Renah Pemetik) sudah tidak subur lagi untuk ditanami” tegas lelaki yang kerap disapa Dirman ini.
Beranjak dari tempat Dirman, kami melanjutkan perjalanan ke
kebun kopi milik Zukiar. Dia merupakan salah satu petani yang merintis
pertanian kopi arabika di Renah Pemetik. Saat kami temui, pria 61 tahun ini
sedang memangkas ranting tanaman kopinya.
Zukiar sedang melakukan perawatan kopinya |
Zukiar memulai menanam kopi pada akhir tahun 2012. Dia
menerima bantuan bibit kopi arabika dari Konsorsium Akar Network (LSM lokal di
sekitar TNKS) dalam program “Penyelamatan Ekosistem Bentang Alam Taman Nasional
Kerinci Seblat Berbasis Masyarakat“ yang didanai oleh TFCA (Tropical Forest
Conservation Action) – Sumatera –sebuah program pendanaan konservasi hutan
Sumatera dari skema pengalihan utang pemerintah Indonesia dengan Amerika-. Dia melihat
sendiri hasil kopi di Kayu Aro (wilayah yang sudah lebih dahulu ikut dalam
program budidaya kopi arabika) yang cukup besar sehingga memutuskan untuk
bertani kopi arabika.
Saat ini kebun kopinya bisa menghasilkan 3,5 juta rupiah per bulan. Lahannya hanya seluas 1,5 ha dan ditanami 2.300 batang. Penghasilan tersebut baru 60% dari kopi yang ditanaminya. Zukiar bisa memanen biji kopi (sudah berbentuk gabah) minimal 75 kg setiap 2 minggu. Dia jual ke Akar Network 22 ribu rupiah per kilogramnya. Itu untuk rata-rata tiap bulannya. Sedangkan pada panen puncak lain lagi. Panen puncak biasanya terjadi pada bulan April-Juni bahkan kadang sampai Juli. Pada panen puncak kebun kopinya bisa menghasilkan 150 kg gabah kopi setiap 2 minggu. Jadi pendapatannya 2 kali lipat dari bulan biasanya.
Saat ini kebun kopinya bisa menghasilkan 3,5 juta rupiah per bulan. Lahannya hanya seluas 1,5 ha dan ditanami 2.300 batang. Penghasilan tersebut baru 60% dari kopi yang ditanaminya. Zukiar bisa memanen biji kopi (sudah berbentuk gabah) minimal 75 kg setiap 2 minggu. Dia jual ke Akar Network 22 ribu rupiah per kilogramnya. Itu untuk rata-rata tiap bulannya. Sedangkan pada panen puncak lain lagi. Panen puncak biasanya terjadi pada bulan April-Juni bahkan kadang sampai Juli. Pada panen puncak kebun kopinya bisa menghasilkan 150 kg gabah kopi setiap 2 minggu. Jadi pendapatannya 2 kali lipat dari bulan biasanya.
Senyum Zukiar |
“Kalau dilihat sepintas memang tidak ada hasilnya. Tetapi kalau arabika dijamin ada hasilnya setiap 2 minggu sekali. Pokoknya tidak mengecewakan deh. Saya juga sudah memulai menanam secara tumpang sari. Biar tanahnya subur dan berkelanjutan.” tandasnya.
Kebun kopi yang sudah di tumpang sarikan |
Emma Fatma. Sosok perempuan hebat
yang berada di belakang suksesnya pertanian kopi di Renah Pemetik. Berawal dari
iba melihat konflik antara masyarakat dengan aparat (dalam hal ini TNKS). Dia
memang melihat banyak masyarakat yang masuk ke dalam garis batas taman nasional
terbesar di Sumatera itu. Seperti yang tercatat dalam Organisasi Pendidikan
Ilmu Pengetahuan dan Kebudayaan PBB (UNESCO) bahwa tren perambahan hutan di
wilayah TNKS mulai meningkat secara signifikan sejak 1985 hingga sekarang. Data
UNESCO menyebutkan, awal dekade 1990 terdapat 62 ribu ha lahan di dalam kawasan
TNKS yang dibuka secara ilegal. Angka ini terus melonjak tajam hingga tahun
2010, yang tercatat nyaris 90 ribu ha lahan TNKS yang dirambah. Pada 2015,
sedikitnya 130 ribu ha lahan yang sudah dibuka oleh masyarakat.
Berangkat dari hal itu, Ema kemudian mengajak masyarakat di
Renah Pemetik untuk beralih menjadi petani kopi arabika. Tanaman asli Brasil
ini dipilih bukan tanpa pertimbangan. Wilayahnya yang berada diatas 1200 mdpl
dan tanahnya sedikit tandus mendukung tumbuh kembang tanaman itu. Ditambah harga jual dan permintaaan pasar yang
tinggi.
Melalui lembaga yang dipimpinnya, Lembaga Tumbuh Alami (LTA)
–konsorsium dari Akar Network- memulai program tahun 2011 yang kemudian pada
tahun 2012 programnya didanai oleh TFCA-Sumatera.
Bukan hal mudah untuk meyakinkan masyarakat agar berganti menanam kopi arabika dan keluar dari dalam kawasan konservasi. Mereka sudah cukup nyaman. Belum lagi adanya stereotip bahwa lahan warisan mereka sudah tidak lagi subur.
Bukan hal mudah untuk meyakinkan masyarakat agar berganti menanam kopi arabika dan keluar dari dalam kawasan konservasi. Mereka sudah cukup nyaman. Belum lagi adanya stereotip bahwa lahan warisan mereka sudah tidak lagi subur.
Seorang warga menjual gabah kopi |
Hampir satu tahun Emma melakukan pendekatan kepada masyarakat. Tiap hari dia keliling kampung. Mengetuk pintu dari rumah ke rumah. Mendatangi dapur satu ke dapur yang lain. Hingga suatu ketika timbul pertanyaan masyarakat “Sebenarnya Bu Emma kesini mau ngapain? Kita sudah enak nanam kopi robusta. Jangan ganggu kami lagi.”
“Saya ini ingin membantu bapak-ibu yang tak dapat bersuara untuk menyuarakan hak bapak-ibu. Termasuk hak mereka (satwa) yang tidak dapat bersuara” jawabnya.
Penolakan terus berlangsung. Bahkan dia pernah diancam untuk
dibakar. Tetapi ancaman ternyata tak membuatnya ciut nyali. Setiap malam minggu
dia selalu mengumpulkan warga. Dia lakukan tanya jawab dengan warga. Lalu
muncul 4 orang warga menjadi pionir.
Mereka diberi bibit unggul dan pendampingan cara bertani
kopi arabika yang benar. Konsultan kopi dari Jember turut didatangkan untuk
mendampingi petani. Hasilnya, seperti yang bisa dilihat pada kebun kopi Zukiar.
Biji yang dihasilkan bagus dan dihargai tinggi. Sekilo biji merah dihargai Rp
7500,- dan untuk gabah dihargai Rp
21.000 – Rp 22.000,-. LTA pun memberikan bonus kepada petani yang menanam
kopinya secara organik. Bonus diberikan kepada istri petani. Hal ini dilakukan
untuk melatih kejujuran petani terhadap istrinya. Berapa kilo kopi yang telah
dijual dan berapa uang yang diterima, istri dapat tahu hanya dari bonusnya.
Lokasi pembibitan kopi di Renah Pemetik |
Melihat sukses Zukiar barulah warga mulai berbondong-bondong
untuk menawarkan diri menanam kopi. Bibit kopi sejumlah 60.000 bibit pada
termin pertama dan 50.000 bibit pada termin kedua dari TFCA-Sumatera ludes. LTA
pun juga tidak sembarangan dalam menyalurkan bibit dan membeli biji kopi
petani.
Pertama, lahan kopi yang akan ditanami disurvei dulu. Jika lahannya masuk ke dalam kawasan taman nasional, maka bibit kopi tidak diberikan. Mereka juga hanya mau membeli kopi arabika yang ditanam diluar kawasan taman nasional. Kedua, mereka juga harus membuat lubang tanam terlebih dahulu. Menurut Emma, bibit kopi ada masa tanamnya. Jika bibit sudah diberikan tetapi lubang tanam belum siap maka akan mempengaruhi pertumbuhanya. Kadang petani juga malas untuk menanam setelah bibit diberikan dan lubang tanam belum dibuat. Ketiga, karena permintaan bibit kopi semakin meningkat maka setiap petani hanya dapat mengambil 500 bibit saja.
Awalnya bibit memang diberikan secara cuma-cuma. Tetapi sekarang masyarakat harus membeli bibit tersebut. Satu bibit dijual seharga Rp 3000,-. Hasil penjualan bibit digunakan untuk melakukan pembibitan lagi. Menurut Emma, masyarakat lebih menghargai bibit yang mereka beli ketimbang diberikan gratis. Meski demikian, bagi warga yang memang tidak mampu pembelian bibit tetap bisa dicicil bahkan digratiskan.
Pertama, lahan kopi yang akan ditanami disurvei dulu. Jika lahannya masuk ke dalam kawasan taman nasional, maka bibit kopi tidak diberikan. Mereka juga hanya mau membeli kopi arabika yang ditanam diluar kawasan taman nasional. Kedua, mereka juga harus membuat lubang tanam terlebih dahulu. Menurut Emma, bibit kopi ada masa tanamnya. Jika bibit sudah diberikan tetapi lubang tanam belum siap maka akan mempengaruhi pertumbuhanya. Kadang petani juga malas untuk menanam setelah bibit diberikan dan lubang tanam belum dibuat. Ketiga, karena permintaan bibit kopi semakin meningkat maka setiap petani hanya dapat mengambil 500 bibit saja.
Awalnya bibit memang diberikan secara cuma-cuma. Tetapi sekarang masyarakat harus membeli bibit tersebut. Satu bibit dijual seharga Rp 3000,-. Hasil penjualan bibit digunakan untuk melakukan pembibitan lagi. Menurut Emma, masyarakat lebih menghargai bibit yang mereka beli ketimbang diberikan gratis. Meski demikian, bagi warga yang memang tidak mampu pembelian bibit tetap bisa dicicil bahkan digratiskan.
Setelah bibit mulai ditanam, Jauhari sang konsultan akan
berkeliling ke kebun kopi penduduk untuk mengecek bagaimana perawatan kopinya.
Jauhari menuturkan bahwa selama ini banyak salah kaprah dalam perawatan kopi.
Semestinya tanaman kopi perlu di pangkas bentuk, pemotongan bunga, dan ranting
agar tumbuh searah. Pangkas bentuk untuk memotong dahan dan ranting agar
tanaman mendapat sinar matahari yang cukup. Kemudian pemotongan bunga agar
tumbuh ranting banyak. Lalu memangkas ranting-ranting yang tidak searah. Hal
ini guna menghasilkan biji kopi yang lebih banyak. Tidak lupa juga membersihkan
rumput disekitar serta membuat rorak. Rorak untuk aerasi dan tempat memupuk
tanah. Bahan pupuknya dari ranting dan seresah kopi. Jadi dibiarkan alami.
Setelah panen, petani bisa memilih menjual biji merah atau
gabah. Proses selanjutnya diserahkan ke perusahaan. Kopi-kopi ini sudah
diekspor ke Hamburg, Swiss, Korea, dan Amerika.
Kopi Kerinci siap digiling |
Melalui kopi ini, LTA mengklaim ada 77 Kepala Keluarga (dana TFCA-Sumatera) dan 600 KK (total pemberdayaan masyarakat oleh LTA) yang telah beralih dari pembuka lahan di taman nasional menjadi petani kopi arabika. Kopi arabika memang telah menyita perhatian dan energi masyarakat. Masyarakat sudah tidak lagi sempat untuk membuka lahan dalam kawasan TNKS.
***
- Renah Pemetik merupakan ajun arah, lahan warisan dari garis
Ninik Mamak yang dikhususkan sebagai tempat berladang. Ajun arah ada jauh
sebelum Taman Nasional Kerinci Seblat dibentuk. Salah satu desa yang memiliki
ajun arah di Renah Pemetik adalah desa Kemantan. Hutan-hutan mereka didekat
desa sudah dijadikan sebagai hutan adat. Sehingga pemanfaatan untuk kegiatan
ekonomi sangat terbatas dan hanya bergantung pada Renah Pemetik -
Tidak ada komentar:
Posting Komentar