“Cerita kopi tidak saja soal minuman.
Karena setiap kopi yang kita minum selalu punya jalan ceritanya sendiri.
Seperti halnya kopi di Renah Pemetik, Jambi. Kopi disana telah menjadi benteng Taman
Nasional Kerinci Seblat dari serbuan perambah.”
|
biji kopi merah |
Mobil double gardan hitam pagi itu telah berhasil mengocok
perut saya dan beberapa teman wartawan. Kami dipaksa berolahraga di dalam
mobil. Melewati jalanan dengan elevasi tinggi. Ditambah bonus lintasan
berlumpur dan berbatu.
|
Kondisi jalan masih bagus di awal perjalanan |
Satu jam pertama berangkat dari Sungai Penuh Jambi,
kami masih bisa melihat perkampungan penduduk meski tidak padat. Setelahnya,
kami hanya menemukan jurang, hutan, bukit, dan sungai. Perkampungan penduduk
semakin jarang. Desa terakhir sebelum kami sampai ke tujuan jaraknya sakitar 1
jam perjalanan ditempuh dengan mobil.
|
Mobil kami parkir di depan rumah |
Melintasi perjalanan 3,5 jam dari Kota Sungai Penuh akhirnya
mobil kami berhenti pada sebuah rumah panggung di ujung desa. Rumah yang
terbuat dari kayu dan letaknya di bibir sawah. Bagian belakangnya memhampar
persawahan dan bentang alam Taman Nasional Kerinci Seblat (TNKS). Udara segar
merasuk ke dalam tubuh. Suara burung bersahut-sahutan. Serta gemercik air di
samping rumah menambah hikmat kesan pertama di rumah itu. Mungkin ini sebuah
pemandangan mahal bagi kami yang keseringan hidup di kota.
Kami turun. Memindahkan barang-barang dan bekal hidup selama
2 hari.
Selesai
beberes dan
bebersih, kami menuju teras rumah. Telah menunggu di sana beberapa warga yang
menyambut kedatangan kami.
Makan siang telah tersaji. Ayam goreng, gulai ikan, lalapan serta sambel merayu-rayu perut kami.
Ditemani gerimis tipis dan segelas minuman berkafein ini, babakan kopi kemudian mengalir dalam
diskusi siang itu.