Minggu, 23 Oktober 2016

Konservasi Milik Siapa?


"Pak, bagaimana konservasi orang utan di alam bebas dikatakan lebih berperi-kehewanan? Bukankah kalau dia (orang utan) kita rawat sendiri, kita kasih makan, dan kita periksakan kalau sakit itu lebih berperikehewanan. Mereka tidak perlu repot-repot untuk nyari makan di hutan. Mereka tidak perlu tidur di tajuk pohon. Mereka tidak perlu kehujanan. Kalau mereka sakit bisa kita periksakan. Bukankah lebih kejam membiarkan mereka hidup di alam liar?" Anonim.

Saya sedang jalan menyusuri tumpukan buku di International Indonesian Book Festival (IIBF) 2016 dan mendengar pertanyaan itu. Seketika langsung berhenti sebentar. Sebuah pertanyaan yang ditujukan kepada salah seorang narasumber pegiat LSM (Lembaga Swadaya Masyarakat) Lingkungan. Acara pameran buku tersebut memang menyediakan ruang diskusi dan dialog terkait tema-tema khusus. Sore itu ketika kebetulan saya datang sedang berlangsung dialog lingkungan.

Tak sampai selesai si narasumber menjawab pertanyaan itu, saya langsung bergegas untuk melanjutkan langkah. Pertama, saya sudah tahu jawaban macam apa yang akan diucapkan oleh narasumber. Kedua, saya masih ada rapat di kantor. Sewaktu dalam perjalanan menuju kantor, di kepala saya terngiang pertanyaan yang dilontarkan anonim tadi.

Foto Orang utan oleh TFCA-Sumatera
Saya sudah sering mendengarkan pertanyaan demikian dilontarkan oleh sebagian orang. Bukan salah si penanya jika berpikir demikian. Kita tidak tahu apa latar belakangnya. Mereka bukan kalangan konservasionis, peneliti, akademisi atau pegiat lingkungan yang setiap hembusan nafas selalu berkutat dengan konservasi. Dari soal remah-remah sampai hal ‘njlimet’ soal lingkungan.

Lalu? Ya, lalu ini menjadi autokritik bagi diri saya pribadi yang hampir 7 tahun lamanya (sampai sekarang tentunya) ngurusin ikhwal hutan dan konservasi. Sangat mengelitik bagi saya. Tiap hari saya berkutat soal konservasi, data-datanya dan bagaimana mengadvokasinya. Pertama, bukan malah menyederhanakan pikir, orang seperti saya ini malah akan lebih akrab dengan bahasa langit soal konservasi. Semakin asyik ke dalam, semakin asyik dengan dunia kami. Kedua, saya baru sadar bahwa "masyarakat" yang selama ini kami tangani adalah "masyarakat" melek ilmu konservasi. Misalnya akademisi, lembaga peniliti, donor, dan para pegiat konservasi. Bukan semakin meng-awamkan bahasa tetapi malah semakin terbiasa dengan bahasa langit.


Baiklah mari kita kembali ke pertanyaan tadi. “Kenapa gak boleh memelihara orang utan atau satwa langka lain?”
Sebelum itu, lebih afdol kalau kita sedikit menyinggung ikhwal konservasi. Sedikit banyak harus tahu dulu hakikat konservasi. Karena nanti pasti akan bersinggungan dengan pertanyaan anonim tadi.

Apa Hakikat Konservasi? Ngapain negara ngurus hutan ‘lawong’ saat ini masih banyak orang miskin yang kelaparan? Kenapa duitnya gak dikasih saja ke orang miskin daripada ngurusin hutan?

Begini, sebenarnya inti dari konservasi adalah penggunaan sumberdaya alam secara bijak tidak saja untuk kita hari ini tetapi untuk masa depan anak cucu. Konservasi tidak melulu soal perlindungan dan pengawetan suatu ekosistem seisinya, tapi juga soal pemanfaatannya yang dijamin dengan kelestarian. Mengamini kata Gifford Pinchot bahwa konservasi sumberdaya alam adalah penggunaan sumber tersebut untuk kebaikan secara optimal, dalam jumlah yang terbanyak dan untuk jangka waktu yang paling lama.

Masih belum jelas? Ya mari kita lanjutkan…

“Senja datang diiringi gerimis yang sedari tadi sudah berjaga. Lumpur-lumpur kembali becek menutup aspal. Berkubik-kubik kayu gelondongan berserakan di mana-mana. Sisa-sisa kekuatan yang telah menghajar dan meluluh lantahkan rumah dan bangunan, bersama air bah” Kompas, Maret 2012 (http://health.kompas.com/read/2012/03/01/11242326/banjir.tangse.harga.sebuah.kelalaian). 

Banjir menjadi salah satu bukti kenapa konservasi penting. Kaidah konservasi tak diindahkan. Pohon di bagian hulu ditebangi. Kawasan peruntukan daerah serapan air (hutan lindung) diubah fungsinya. Dampaknya ketika hujan turun, tak ada pohon yang menahan laju air. Kemudian di bagian hilirnya, sistem drainase (penyerapan air) tak ada karena semua tanah telah disulap menjadi beton.

Itu baru ikhwal banjir, belum lagi soal kebakaran hutan, serangan hama penyakit, dan lain-lain. Begitu banyak dampaknya. Kita dibuat seoalah tak berdaya. Menjadi bukti kecil bahwa selama ini kita tidak bijak merawat lingkungan. Kalau sudah begitu, siapa juga yang mendapat petakanya? Ya, masyarakat lagi. Tak peduli masyarakat miskin atau kaya.

Lihat kan bagaimana pemanfaatan sumberdaya alam secara bijak itu penting? Secara ilmiah unsur-unsur sumberdaya alam hayati dan ekosistemnya saling bergantung. Juga saling mempengaruhi antara satu dengan yang lainnya, sehingga kerusakan dan kepunahan salah satu unsur akan berakibat terganggunya ekosistem.

Kok ribet ya, apa-apa kok gak boleh kalau sama konservasi?

Boleh menggunakan sumber daya alam sedemikian rupa ASAL struktur dasar dari sistem alamiah tak berubah. Boleh memanfaatkan sumberdaya alam ASAL kita bisa mengukur konsekuensi ekologis dari sekian banyak beban yang diberikan manusia pada sistem alam.

Inilah pentingnya kita bijak dalam mengolah lingkungan. Memanfatkannya tentu boleh, asal dilakukan secara bijaksana dan menjamin kesinambungan persediaannya dengan tetap memelihara dan meningkatkan kualitas keanekaragaman dan nilainya.

Lalu apa pengaruh melindungi Orang utan dan satwal lainnya dengan melindungi hutan?

Secara ilmiah, semua organisme dalam hutan saling bergantung satu sama lain. Seperti siklus. Jika terjadi satu kepunahan maka akan berdampak pada organisme yang lain. Orang utan pun sama, dia juga memiliki nilai penting dalam ekosistem.

Kera merah ini ternyata mengambil peran penting dalam membantu penyerbukan dan persebaran biji tumbuhan. Menurut Noos dan kawan-kawannya (2002), orang utan dapat menciptakan kestabilan ekosistem berupa permudaan tumbuhan hutan melalui penyebaran biji. Tambahnya, kegiatan membuat sarang oleh mamalia besar ini juga akan membantu pembukaan kanopi sehingga sinar matahari dapat masuk. Ini membantu regenerasi pohon intoleran (butuh cahaya untuk tumbuh). Kabarnya, jenis primata ini membantu penyebaran jenis tumbuhan dengan nilai ekonomi tinggi bagi manusia seperti jenis meranti (kayu berdiameter besar khas hutan Sumatera dan Kalimantan).

Mawas (nama lain orang utan) juga memiliki daya jelajah yang luas, dimana betinya bisa mencapai 850 ha sedangkan jantan 2500 ha (Singleton dan Van Schaik 2001). Dia hidup di atas pohon (sekitar 16-22 meter di atas tanah). Bukan di tanah seperti orang utan yang hidup di kebun binatang. Oleh sebab daya jelah yang luas, maka mamalia besar asli Sumatera dan Kalimantan ini didapuk sebagai spesies bendera atau spesies kunci. Jika kita bisa melindunginya pada habitat asli, maka secara langsung turut melindungi ekosistemnya. Daya jelajahnya yang tinggi membuat kita perlu mencadangkan kawasan konservasi yang cukup luas sebagai habitatnya.

Jadi sudah tahu kan kenapa perlu melindungi orang utan dan teman-temannya? Ya, melindungi orang utan dan satwa yang lain ternyata menjadi integral dari konservasi seluruh ekosistem. Tentu melindungi dengan tetap menjaga keaslian atau keliarannya. Dengan tetap menjaga sifat liarnya, maka regenerasi hutan juga terjaga. Fungsi ekosistem tetap terjaga dan kehidupan umat manusia terjamin.

Kamu pasti juga berpikir, bagaimana dengan hewan di kebun binatang? Kan dianya juga di kandang tuh? Ya, tapi itu merupakan fungsi yang lain. Biar apa? Biar kita semua bisa belajar tentang satwa. Fungsinya adalah untuk pendidikan.
*****

Refleksi apa yang kemudian bisa diambil dari pertanyaan anonim di atas? Masyarakat hari ini belum banyak tahu tentang arti penting konservasi. Banyak salah kaprah ikhwal perlindungan hutan seisinya di tengah masyarakat. Adalah tugas konservasionis dan pegiat lingkungan untuk terus menyadarkan dan membudayakan konservasi.

Apa yang harus dilakukan konservasionis?

Konservasi tidak akan pernah berhasil selama itu hanya menjadi konsumsi pribadi konservasionis. Ketika konservasi belum menjadi budaya masyarakat gagasan setinggi apapun tidak akan pernah terwujud. Sebab konservasi tidak bisa dilakukan sendiri. Konservasi di negara seluas Indonesia ini tentu perlu "cawe-cawe" masyarakat luas. Kita tidak pernah bisa memantau perburuan liar di pedalaman sana kecuali ada orang lokal  yang tahu.

Seberapa jauh daya jelajah kita? Pasti tidak akan sampai sejauh masyarakat lokal. Contohnya desa Rantau Kermas. Semua masyarakat di sana sepakat bahwa hutan perlu dijaga dan dilesatarikan. Mereka menjaga hutan dari tangan-tangan penjarah. Hukum adat diterapkan bila ada yang melakukan kejahatan hutan. Patroli rutin diterapkan dan norma sosial berlaku ketika ada yang melanggar aturan. Ketahuan menjarah hutan berarti aib.

Atau di daerah Riau. Masyarakat berbondong-bondong ikut andil menjadi tim patroli hutan. Mereka patroli rutin untuk mengamankan hutan dan menolong satwa seperti gajah bila dibutuhkan. Hasilnya? Menurut, Yuliantony Direktur Yayasan Taman Nasional Tesso Nilo, adanya patroli hutan ikut menurunkan kebakaran hutan di Tesso Nilo.

Dengan konservasi menjadi budaya dan norma yang berkembang di masyarakat, konservasionis tidak perlu kwatir menangani tindak kejahatan hutan. Kita tidak sendiri, masyarakat akan ikut ‘cawe-cawe' membantu kita. Masyarakat akan menjadi benteng pertama perlindungan hutan.

Bagaimana melakukan itu? Secara perlahan-lahan mari kita ubah mindset bahwa masyarakat adalah obyek, melainkan  masyarakat merupakan subyek dari segala kegiatan konservasi. Masyarakat perlu disadarkan secara perlahan. Dengan bahasa bumi tentunya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar