Sabtu, 29 Oktober 2016

W A K T U

foto oleh yudha


Ini adalah soal waktu.

Ketika orang bertanya “Kalau kamu bisa ke masa lalu, kamu mau ngapaian?” Sudah pasti saya akan menjawab : Tidak. Saya tidak mau ke masa lalu bagian mana pun dari hidup saya. Untuk apa pergi ke masa lalu?

Teori Relativitas Umum dan Khusus milik Einsten memang mengatakan seseorang bisa ke masa lalu. Melalui suatu kecepatan yang melebihi kecepatan cahaya dan travelsable worm hole. Tapi untuk apa? Ketika kita sampai ada di masa lalu, apakah kita bisa mengubah kejadian saat itu? Tidak, tidak akan pernah mungkin mengubah kejadian di masa lalu.

Misalnya pun ketika saya berhasil mengubah bagian peristiwa di masa lalu, maka saya yang sekarang tentu tidak akan pernah ada (Paradoks Kakek, Stephen Hawking). Saya akan berada di dimensi mana? Dalam universe yang mana? Saya akan nyasar dalam ruang waktu yang mana? Saya tidak tahu.

Misalnya, saya berhasil ke masa lalu dan berhasil mencegah saya dari perbuatan suatu dosa? Apakah kemudian Tuhan akan mengampuni dosa yang sebelumnya telah di tulis Nya? Apa karena saya mengubah masa lalu dan mencegah dosa masa lalu saya, maka Tuhan akan serta merta mengampuni dosa saya? Apakah Tuhan akan membiarkan makhluknya seenak jidat mengubah ketetapan Nya?

Ah sudahlah, pokoknya saya tidak mau ke masa lalu. Boro-boro untuk mengubahnya. Saya cukup belajar dari masa lalu. Untuk mendatangi masa depan yang saya inginkan. Karena peristiwa di masa lalu tidak akan pernah bisa kita ubah. 

Toh Tuhan Maha Pengampun.

Senin, 24 Oktober 2016

HUJAN DIHARI MINGGU

Kau datang menyapaku sejak subuh tadi. Risalah apa yang kau bawakan untuku?
Kau awet sampai sore. Adakah kau jelmaan dari rindu?
Kau bahkan tetap setia meski senja datang.
Seharian itu kau menjelma menjadi dingin. Juga menjadi udara untukku.
Menggelayut dalam relung paru.
Aku jadi tahu, kau ingin terus bersamaku. Menemani minggu ku.
Adakah esuk kau datang lagi?

Minggu, 23 Oktober 2016

Konservasi Milik Siapa?


"Pak, bagaimana konservasi orang utan di alam bebas dikatakan lebih berperi-kehewanan? Bukankah kalau dia (orang utan) kita rawat sendiri, kita kasih makan, dan kita periksakan kalau sakit itu lebih berperikehewanan. Mereka tidak perlu repot-repot untuk nyari makan di hutan. Mereka tidak perlu tidur di tajuk pohon. Mereka tidak perlu kehujanan. Kalau mereka sakit bisa kita periksakan. Bukankah lebih kejam membiarkan mereka hidup di alam liar?" Anonim.

Saya sedang jalan menyusuri tumpukan buku di International Indonesian Book Festival (IIBF) 2016 dan mendengar pertanyaan itu. Seketika langsung berhenti sebentar. Sebuah pertanyaan yang ditujukan kepada salah seorang narasumber pegiat LSM (Lembaga Swadaya Masyarakat) Lingkungan. Acara pameran buku tersebut memang menyediakan ruang diskusi dan dialog terkait tema-tema khusus. Sore itu ketika kebetulan saya datang sedang berlangsung dialog lingkungan.

Tak sampai selesai si narasumber menjawab pertanyaan itu, saya langsung bergegas untuk melanjutkan langkah. Pertama, saya sudah tahu jawaban macam apa yang akan diucapkan oleh narasumber. Kedua, saya masih ada rapat di kantor. Sewaktu dalam perjalanan menuju kantor, di kepala saya terngiang pertanyaan yang dilontarkan anonim tadi.

Foto Orang utan oleh TFCA-Sumatera
Saya sudah sering mendengarkan pertanyaan demikian dilontarkan oleh sebagian orang. Bukan salah si penanya jika berpikir demikian. Kita tidak tahu apa latar belakangnya. Mereka bukan kalangan konservasionis, peneliti, akademisi atau pegiat lingkungan yang setiap hembusan nafas selalu berkutat dengan konservasi. Dari soal remah-remah sampai hal ‘njlimet’ soal lingkungan.

Lalu? Ya, lalu ini menjadi autokritik bagi diri saya pribadi yang hampir 7 tahun lamanya (sampai sekarang tentunya) ngurusin ikhwal hutan dan konservasi. Sangat mengelitik bagi saya. Tiap hari saya berkutat soal konservasi, data-datanya dan bagaimana mengadvokasinya. Pertama, bukan malah menyederhanakan pikir, orang seperti saya ini malah akan lebih akrab dengan bahasa langit soal konservasi. Semakin asyik ke dalam, semakin asyik dengan dunia kami. Kedua, saya baru sadar bahwa "masyarakat" yang selama ini kami tangani adalah "masyarakat" melek ilmu konservasi. Misalnya akademisi, lembaga peniliti, donor, dan para pegiat konservasi. Bukan semakin meng-awamkan bahasa tetapi malah semakin terbiasa dengan bahasa langit.