Jakarta pagi itu terasa hangat. Seperti biasa mobil dan motor
telah menyemut. Mengantar si empunya untuk mencari sesuap nasi.
Di tengah kerumunan besi bermesin itu ada satu mobil
berwarna putih melewati motor saya. Kendaraan beroda empat di depan saya itu yang
sedari tadi mengandap-endap pelan tiba-tiba menurunkan kacanya. Ayal. Dari
dalam keluar tangan. Melemparkan bekas wadah minuman dan makanannya. Plak! Saya
yang di belakangnya hampir kena sampahnya.
Saya menghindar. Hampir oleng. Menggeleng melihat kelakuan
penumpang mobil itu.
Tak hanya sekali, saya sering mengalami itu. Dari belakang
melihat tangan-tangan merasa tak berdosa melempar kotoran dari kendaraan
mereka. Begitu mudah dan entengnya membuang sampah sembarangan.
Hal demikian tidak hanya terjadi di Ibukota, tetapi jamak
saya lihat di beberapa daerah yang pernah saya kunjungi.
Apa mereka pikir jalanan adalah tempat pembuangan sampah?
Tak usah jauh-jauh mengkritik bagaimana pola masyarakat
pinggir kali yang sering dikatakan membuang sampah sembarangan. Lihat saja
mereka. Dandanan boleh perlente. Mobil boleh mewah. Motor boleh 250 cc. Tetapi
sikap?
Menurut saya, perilaku yang seperti ini bukan dipengaruhi
oleh tingginya pendidikan "saja". Pendidikan tinggi memang berpengaruh
pada cara pandang manusia. Setelah itu soal perilaku serahkan pada yang namanya
empati.
Kalau anda ingin melihat tingkatan empati seseorang coba
lihat bagaimana dia memperlakukan lingkungan sekitarnya. Ketika anda melihatnya
mudah sekali nyampah tidak pada tempatnya. Saya yakin empatinya rendah.
Bagaimana anda bisa mengharapkan tanggung jawab dan
peranannya? Jika saja pada tanggung jawabnya yang paling kecil -baca: membuang
sampah pada tempatnya- saja dia abai dan acuh.