Jumat, 04 September 2015

Mereka Sang Penjaga Hutan


Ilustrasi oleh Yudha
Pesawat putih bermesin jet menderu – deru tiba di Bandara Muaro Bungo, bandara yang baru beroperasi pada akhir tahun 2012. Terminal pesawat ini masih sepi, ya karena di sini baru ada 2 maskapai penerbangan. Penerbangannya juga tidak setiap hari, hanya pada hari tertentu saja.

Setiba di terminal pesawat, kami dijemput oleh satu mobil double-gardan dan sebuah minibus. Perjalanan dari Muara Bungo menuju desa pertama, Rantau Kermas ditempuh dengan waktu 5 jam.  Beruntung karena jalan dari kabupaten sampai dengan desa – desa pinggir hutan relatif bagus. Agaknya pemerintah daerah tahu apa yang harus dilakukannya pada model pembangunan ekonomi masyarakat di daerah yang luas dan tersekat – sekat oleh hutan.

Waktu itu karena sudah gelap, pemandangan di kanan kiri jalan tidak terlihat dengan jelas. Hanya sekilas tampak rimbun dan hijau. Lima jam perjalanan kami lewati dengan jalan berkelok sembari menahan muntah  terbayar sudah. Kami sampai di Desa Rantau Kermas.

Sambutan udara dingin dan kesunyian desa tak membuat kehangatan tuan rumah surut untuk menyambut kami. Waktu itu semua aktivitas warga sudah selesai, masyarakat menikmati malam dari dalam bilik rumah panggung mereka. Hanya ada satu suara mesin penggiling kopi yang masih hidup. Agaknya ada beberapa warga yang lembur bekerja.

Masyarakat Adat Rantau Kermas Penjaga Perbatasan Utara dan Selatan Taman Nasional Kerinci Seblat

Desa Rantau Kermas
Hutan Adat Rantau Kermas berada di perbatasan Utara dan Selatan ujung Taman Nasional Kerinci Seblat, Jambi. Hutan ini telah lama menjadi penyangga kawasan taman nasional. Dengan adanya hutan adat ini, secara langsung berhasil menahan ancaman perambah warga pendatang dari Selatan -Palembang, Bengkulu, dan sekitar-.

Masyarakat sekitar Desa Rantau Kermas agaknya sungkan melakukan pembukaan lahan di hutan adat. Hutan adat selalu di jaga oleh ‘pemiliknya’. Sebulan dua kali masyarakat bersama pengurus adat melakukan patroli di dalam hutan. Atau jika diperlukan setiap minggu sekali.

Dalam patroli tersebut, beberapa kali masyarakat menangkap basah pelaku perambahan. Hukuman bagi perambah yang tertangkap adalah diadili dengan hukum adat dan harus membayar denda berupa 1 ekor ayam, beras 1 gantang serta uang 500 ribu rupiah. Terhadap para perambah, masyarakat desa Rantau Kermas tidak bisa toleran lagi. Mereka gemas. Sampai mereka membuat aturan baru bahwa semua masyarakat Adat Rantau Kermas tidak boleh menikah dengan pendatang terutama pendatang dari ‘Selatan’. Jika ada yang melanggar maka orang tersebut dipersilahkan untuk keluar dari  desa. Hal ini untuk membetengi agar para perambah tidak bertambah banyak dan semakin ‘jaya’.

Dalam menerima warga baru, mereka juga sangat selektif terutama mereka yang dari luar sukunya. Masyarakat dari luar suku mereka tidak diperbolehkan bermukim di dalam desa. Jika pun bermukim sementara, misalnya untuk urusan pekerjaan, maka harus ada penanggung jawab -mereka menyebut induk semang- untuk menjamin pendatang tersebut. Tetapi tetap saja mereka tidak boleh mendirikan bangunan di sana.

Masyarakat adat Rantau Kermas memang protektif dengan hutannya. Karena selama ini hutan telah menyediakan sumber air yang tak pernah habis pada masyarakat. Mereka sadar bahwa kerusakan hutan akan menyebabkan hilangnya sumber air mereka.

Atas kesadaran tersebut, masyarakat merasa perlu ‘menyadangkan’ hutan mereka untuk keseimbangan ekosistem. Caranya adalah dengan membagi lahan desa menjadi tiga bagian. Pertama, lahan untuk areal pemukiman. Kedua, untuk ajun arah. Ajun arah adalah lahan yang digunakan bercocok tanam atau lahan komunal masyarakat. Menariknya, pembukaan ajun arah harus disetujui melalui kenduri adat dan sebelumnya dikaji peruntukannya apakah dirasa perlu membuka ajun arah atau tidak. Yang ketiga, lahan digunakan untuk hutan adat. Hutan adat tidak boleh di ganggu gugat peruntukannya. Aktivitas yang diperbolehkan di hutan adat hanya mengambil hasil hutan non kayu seperti rotan.

Warga sedang memasang Plakat Pohon Asuh
Di dalam hutan adat, masyarakat didampingi LSM (Lembaga Swadaya Masyarakat) Warsi juga mengelola pohon asuh (web : http://pohonasuh.org/).Mekanisme pengelolaan pohon asuh adalah dengan menawarkan pohon untuk diadopsi oleh pengasuh -pihak kedua-. Uangnya akan dikelola oleh desa melalui Kelompok Pengelola Hutan Adat dan digunakan untuk biaya operasional serta peningkatan ekonomi masyarakat. Dengan demikian masyarakat tetap bisa memperoleh hasil tanpa mengambil sumberdaya hutan.


Masyarakat Adat Guguk, Hidup Selaras dengan Hutannya

Papan penunjuk jalan ke Desa Guguk
Tidak berbeda dengan masyarakat adat Rantau Kermas. Masyarakat di Desa Guguk memperlakukan hutan adatnya dengan baik. Isi sumberdaya alamnya dibiarkan begitu saja –terutama kayu- untuk tujuan mencadangkannya pada anak cucu kelak. Aktivitas di hutan adat yang hanya diperbolehkan adalah ekowisata seperti hiking.

Lahan agroforestry milik warga
Sedangkan kebutuhan masyarakat akan kayu selama ini dipasok dari lahan milik sendiri. Masyarakat umumnya memiliki lahan yang digarap secara agroforestry. Menanam kayu tahunan dan buah-buahan. Jika kayu dipanen untuk memenuhi kebutuhan sendiri, maka buah – buahan lebih sering dijual.

Untuk aturan adat yang berlaku di Guguk, menyebutkan bahwa pohon-pohon yang ada di dalam hutan adat tidak boleh diambil untuk kepentingan individu dan komersial. Akan tetapi boleh diambil jika kayu digunakan untuk kepentingan umum seperti untuk membuat pos jaga/istirahat, masjid atau balai desa. Namun ini harus dilakukan atas kesepakatan bersama dan melalui diskusi adat.

Jika ada yang melanggar aturan tersebut, ada denda yang harus dibayarkan. Denda berupa kerbau dan upacara adat untuk meruatnya. Pernah ada yang melanggar aturan tersebut dan benar saja masyarakat meminta kerbau sebagai ruatnya.

Jembatan penghubung Desa Guguk dengan hutan adat
Bagi masyarakat, hutan adalah sebuah rumah besar. Manusia sebagai salah satu penghuninya wajib menghargai penghuni lain. Contohnya, masyarakat sangat menghormati Datuk -sebutan harimau-. Dari matahari terbenam sampai matahari terbit mereka tidak berani masuk ke dalam hutan. Mereka tahu bahwa datuk mulai beraktifitas pada waktu-waktu tersebut, untuk itu mereka tidak berani mengganggu daerah jelajahnya. Masyarakat juga pantang menyebut-nyebut datuk saat berada di dalam hutan. Mereka takut datuk akan datang.

Masyarakat berusaha untuk tidak mengganggu hidup datuk. Mereka percaya, jika mereka tidak mengganggu datuk, datuk juga tidak akan mengganggu mereka. Sikap menghargai Datuk ini juga mengakibatkan hutan terjaga. Hutan yang dianggap sebagai rumah Datuk tidak ‘diutak-atik’ oleh masyarakat. Hal ini yang ternyata juga menjadi pendukung keterlindungan hutan disamping aturan adat di masyarakat.

Beda yang Ber-adat dan Tidak Ber-adat

Siang hari kami pulang dari Rantau Kermas hendak menuju ke Desa Guguk. Awalnya, kami disuguhi oleh hamparan tajuk hijau di kanan-kiri Lembah Masurai. Namun ketika sudah agak jauh dari Desa Rantau Kermas, semua berubah. Kami terhenyak. Ada pemandangan kontras disana.

Hutan Gundul di Lembah Masurai

Pada sisi kanan - kiri jalan di Lembah Masurai, kami melihat hamparan kayu gelondongan berserakan. Yang tadinya rimbun menjadi gersang, sejuk menjadi panas, dan hijau berubah menjadi cokelat. Tanah-tanah yang tadinya ditutup oleh pohon dan seresah berubah menjadi terbuka. Ada rasa sesak di dada.

Menurut salah seorang warga, penggundulan yang masiv tersebut dilakukan di atas tanah negara alias berada di wilayah Taman Nasional Kerinci Seblat (TNKS). Na’as memang, tanah gundul tersebut sudah jauh dari hutan adat dan berbatasan langsung dengan pemukiman pendatang. Dan selidik punya selidik, penggundulan tersebut dilakukan oleh masyarakat pendatang dari ‘Selatan’. Masyarakat Rantau Kermas sebenarnya sudah geram dengan mereka yang merambah. Sampai-sampai di Rantau Kermas dibuatlah adat baru yaitu dilarang menikah dan membuka hubungan dengan masyarakat pendatang dari ‘Selatan’. Tidak main-main hukuman bagi yang melanggar aturan tersebut, yaitu dipersilahkan untuk meninggalkan desa mereka. Adat tidak bisa diganggu gugat, kata mereka.

Berbeda dengan wilayah TNKS yang berada di ujung Utara-Selatan dengan pembatas langsung Hutan Adat Rantau Kermas, TNKS relatif aman. Wilayah tersebut beruntung dengan adanya hutan adat di sekelilingnya. Hutan adat berfungsi sebagai sabuk pengaman dari pembalak liar. Selama ini masyarakat pendatang memang tidak berani melakukan aktivitas pembalakan sampai ke wilayah TNKS yang berbatasan langsung dengan Desa Rantau Kermas karena di sana ada hutan adat dan mereka sungkan dengan aturan adat Desa Rantau Kermas.

Saya kemudian teringat pada tulisan oleh A. Sonny Keraf dalam buku Etika Lingkungan Hidup. Tulisnya, jika manusia sudah memandang alam sebagai nilai ekonomi tinggi dimana di dalamnya ada harta karun berlimpah dan harus di eksploitasi demi mengubah manusia maka tamat sudah riwayatnya. Alam hanya dilihat dari segi nilai ekonomisnya, sehingga dilepaskan dari seluruh nilai sosial, budaya, spiritual, dan moral yang terkait dengan kehidupan masyarakat adat di sekitarnya. Hidup selaras dengan alam dalam kesederhanaan dikutuk sebagai keterbelakangan yang harus ditinggalkan.

Ada kesalahan persepsi masyarakat modern yang menganggap masyarakat adat sebagai perusak lingkungan hidup dan harus disingkirkan atau direlokasi demi menyelamatkan lingkungan. Padahal, justru masyarakat adat adalah penjaga lingkungan hidup dari serbuan dan pengrusakan oleh masyarakat luar atau masyarakat pendatang.

Saya juga sepakat dengan Keraf bahwa untuk menyelamatkan pengetahuan tradisional dan kembali ke etika masyarakat adat, hak-hak masyarakat adat harus diakui, dan dijamin oleh semua masyarakat dunia. Harus ada komitmen politik di tingkat global dan nasional untuk melindungi hak-hak masyarakat adat beserta seluruh kearifan tradisionalnya. Melalui jalan ini, kita bukan saja menyelamatkan keberadaan masyarakat adat beserta seluruh kekayaan dan kearifan tradisionalnya, melainkan juga menyelamatkan hutan. []


Catatan: ini adalah sebuah catatan perjalanan saya dalam rangka pembuatan film dokumenter tentang Hutan Adat di Jambi oleh Kompas TV dan TFCA Sumatera.

















1 komentar:

  1. Yudha, ini salah satu lokasi forest programme II yg di jambi itu bukan?

    BalasHapus