Hutan dan masyarakat, bagi saya merupakan suatu hal yang menarik untuk terus digali. Keduanya meruapakan satu kesatuan ekosistem yang tidak dapat dipisahkan satu sama lain. Mereka sama-sama saling berpengaruh dan mempengaruhi. Hutan sebagai obyek dan manusia sebagai subyek atau sebaliknya. Hutan seisinya menyediakan apa yang manusia butuhkan (termasuk yang berupa barang dan atau jasa lingkungan), sedang manusia adalah subyek penting untuk memastikan kelestarian hutan seisinya. Ada hubungan timbal balik di dalamnya.
Hutan yang lestari, adalah suatu hasil dari cara manusianya mengelola. Dan cara manusia mengelola dipengaruhi oleh pola pikir dan ilmu pengetahuan mereka. Ada pola pikir dan ilmu pengetahuan yang diturunkan dari nenek moyang, dan sejak ilmu pengetahuan itu ada sampai sekarang tidak pernah berubah hukumnya. Biasanya yang seperti ini akan "anti" dan bertentangan dengan modernisasi. Perkembangannya relatif lambat. Dan ilmu menejemen inilah yang sering dijunjung oleh masyarakat adat.
Saya sendiri, selalu asyik dan takjub jika harus menuliskan ikwal cara masyarakat adat mengelola hutan mereka. Terakhir saya menulis tentang Hutan Adat Guguk, tulisan ini merupakan tulisan saya disebuah newslatter. Begini kurang lebih ceritanya.
---
Kata ‘Guguk’, agaknya akrab ditelinga orang Indonesia. ‘Guguk’ yang ini berasal dari
bahasa lokal Jambi yang berarti pondok atau rumah kecil. Guguk menjadi nama
sebuah desa kecil di Kecamatan Ranah Pembarab, Merangin, Jambi. Desa inilah
yang oleh Pemkab Merangin pada tahun 2003 ditasbihkan memperoleh haknya
mengelola Hutan Adat Guguk (Nomor 287 Tahun 2003).
Di Sumatera, Hutan Adat Guguk seperti menjadi oase di
tengah padang pasir. Bagaimana tidak, ditengah pembalakan dan pembukaan hutan
yang masif di Sumatera, hutan ini muncul sebagai hutan yang masih hijau dan
lestari. Sampai dengan saat ini, Hutan Adat Guguk selain berfungsi sebagai
sumber benih dan sumber plasma nutfah, juga memiliki fungsi ekologis yaitu
sebagai habitat regenerasi alami bagi jenis tumbuhan asli dan pelestarian jenis
terancam punah (menurut International
Union for Conservation of Nature (IUCN) red list (2011)), diantaranya Shorea
macroptera, Shorea parvolia, Shorea acuminate, Hope sangal, dan Shorea
balanoides. Hutan ini juga masih menyimpan potensi besar untuk satwa, seperti Harimau, Rangkong, dan Gajah
Guna terus melestarikan hutan adat mereka, masyarakat
membentuk Kelompok Pengelola Hutan Adat
(KPHA) yang dituangkan dalam Surat Keputusan Bersama No. 01.
KB/VIII/2003. Dari keputusan ini juga terbentuk aturan pengelolaan hutan adat
seperti :
- Hutan Adat Desa Guguk adalah hutan adat milik Desa Guguk dan menjadi kewajiban masyarakat Desa Guguk untuk menjaga kelestariannya.
- Di kawasan hutan adat masyarakat dilarang membuat ladang atau membuka humo. Ladang/humo dan sesap yang telah ada di dalam kawasan hutan adat tidak boleh diperluas dan pemiliknya tetap dapat memanfaatkan dengan menanam tanaman keras
- Masyarakat dilarang menangkap ikan di kawasan hutan adat Desa dengan menggunakan racun, tuba, listrik, bahan peledak, dan mesin kompresor.
Selain itu, pengurus membuat sebuah program kerja yang
berlaku sejak tahun 2003. Program kerja tersebut dijalankan dengan pendanaan
yang berasal dari swadaya anggota masyarakat, donatur dan atau lembaga donor.
Program kerja ini seperti : penyediaan peralatan operasional lapangan patroli,
melakasanakan patroli rutin dalam kawasan, pengadaan bibit kayu keras (Tembesu,
Meranti, dan Jelutung), monitoring flora dan fauna, peremajaan karet masyarakat
di sekitar kawasan hutan adat, peningkatan pendapatan masyarakat di sekitara
kawasan Hutan Adat Guguk, dan lain-lain. Hukuman juga tidak segan-segan
ditegakkan, bila ada masyarakat yang melanggar aturan misalnya menebang pohon
atau merambah pohon akan dikenai denda kerbau.
Mereka tidak pernah tergoda untuk menggadaikan hutan
kepada pemilik modal hanya demi perut. Rasanya tidak berlebihan jika mengatakan
bahwa masyarakat desa Guguk benar-benar memegang teguh hutan adat mereka. Hal
ini terbukti dengan masyarakat desa lainnya di sekitar desa Guguk yang cukup
segan dengan hutan mereka. Akibatnya kawasan Hutan Adat Guguk yang seluas 690
ha ini terlindungi dari ancaman illegal
logging dan perambahan.
Berkat kegigihan dan keseriusan masyarakat dalam
menjaga hutan ini, pada tahun 2006 Kementerian Kehutanan (sekarang bernama
Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan) menganugrahkan CBFM (Community Based Forest Management) Award
dan tahun 2014 mereka memperoleh penghargaan Kalpataru tingkat Nasional atas
keberhasilan warga Desa Guguk mempertahankan keutuhan hutannya.
Yang diharapkan dengan adanya pengakuan hak adat oleh
pemerintah adalah seperti demikian. Masyarakat yang diberi hak adat secara
bertanggung jawab dapat mengelola dan melindungi hutan mereka dengan kearifan
masing-masing. Namun, tidak hanya dengan mengakui hak adat mereka
saja, tapi perlu adanya upaya dan dukungan yang terus menerus kepada mereka agar senantiasa hutan terlindungi.
Lalu, dukungan yang seperti apa yang diperlukan oleh mereka? Tulisan saya selanjutnya akan membahas pada upaya dan dukungan terhadap masyarakat Hutan Guguk dalam pelestarian hutan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar