Senin, 10 Agustus 2015

Poligami dalam Imaji Saya?

Ilustrasi (LoveBird di Depan Kosan, foto oleh Yudha)

Beberapa hari yang lalu, ada pertanyaan kepada saya dari seorang Anonim di sebuah web social network sebut saja ask.fm. Pertanyaan ini agaknya beda dari pertanyaan umum lainnya. Dan membuat saya kepikiran tergelitik untuk menjawabnya. Begini saya nukilkan pertanyaan tersebut
Kak, kemarin saya nonton Surga Yang Tak Dirindukan. Bagus deh filmnya. Dan satu pertanyaan saya untuk Kakak. Kakak pernah kepikiran untuk Poligami? Dan jika Kakak diberi kesempatan Poligami akan bagaimana?
Duh, pertanyaan yang cukup susah untuk menjawabnya. Kenapa? Terus terang saya belum pernah berniat poligami. Jangankan niat, dipikirkan saja belum. Dan sejujurnya, setelah saya tahu ada pertanyaan seperti itu dalam otak malah mulai berlari-lari tentang Bab Poligami. Baik karena Bab Poligami sudah keluar menggelinding di otak saya, maka mari saya akan memikirkan itu.

Mengelola Hutan : Belajar Dari Masyarakat Adat Hutan Guguk

Hutan dan masyarakat, bagi saya merupakan suatu hal yang menarik untuk terus digali. Keduanya meruapakan satu kesatuan ekosistem yang tidak dapat dipisahkan satu sama lain. Mereka sama-sama saling berpengaruh dan mempengaruhi. Hutan sebagai obyek dan manusia sebagai subyek atau sebaliknya. Hutan seisinya menyediakan apa yang manusia butuhkan (termasuk yang berupa barang dan atau jasa lingkungan), sedang manusia adalah subyek penting untuk memastikan kelestarian hutan seisinya. Ada hubungan timbal balik di dalamnya. 
Hutan yang lestari, adalah suatu hasil dari cara manusianya mengelola. Dan cara manusia mengelola dipengaruhi oleh pola pikir dan ilmu pengetahuan mereka. Ada pola pikir dan ilmu pengetahuan yang diturunkan dari nenek moyang, dan sejak ilmu pengetahuan itu ada sampai sekarang tidak pernah berubah hukumnya. Biasanya yang seperti ini akan "anti" dan bertentangan dengan modernisasi. Perkembangannya relatif lambat. Dan ilmu menejemen inilah yang sering dijunjung oleh masyarakat adat.
Saya sendiri, selalu asyik dan takjub jika harus menuliskan ikwal cara masyarakat adat mengelola hutan mereka. Terakhir saya menulis tentang Hutan Adat Guguk, tulisan ini merupakan tulisan saya disebuah newslatter. Begini kurang lebih ceritanya.
--- 
Kata Guguk, agaknya akrab ditelinga orang Indonesia. Guguk yang ini berasal dari bahasa lokal Jambi yang berarti pondok atau rumah kecil. Guguk menjadi nama sebuah desa kecil di Kecamatan Ranah Pembarab, Merangin, Jambi. Desa inilah yang oleh Pemkab Merangin pada tahun 2003 ditasbihkan memperoleh haknya mengelola Hutan Adat Guguk (Nomor 287 Tahun 2003).