Jumat, 02 Januari 2015

Belajar Melestarikan Hutan dan Air : Kearifan Masyarakat Using Desa Kemiren, Banyuwangi

image
Masyarakat Using beraktifitas di mata air sambil bercengkrama

Hutan dan air memiliki hubungan yang sangat erat. Fungsi hutan sebagai tata kelola air mampu mengurangi atau meningkatkan laju aliran permukaan tanah. Kecepatan aliran permukaan tanah akan berkurang apabila penutupan vegetasi tinggi. Ketika hutan berubah menjadi pemukiman, maka lahan tidak mempunyai resistensi untuk menahan aliran, akibatnya akan terjadi banjir.
Vandana Shiva menegaskan bahwa kendati dua pertiga bumi terdiri atas air, kelangkaan air terus terjadi. Tak terkecuali Indonesia yang merupakan negara dengan cadangan air terkaya di dunia (15.500m³/kapita/tahun) jauh di atas rerata negara lain (8.000 m³/kapita/tahun) pun mengalami kelangkaan (Prihatin, 2013). Seperti diberitakan oleh situs berita dan informasi lingkungan mongabay.co.id (2012) krisis air pernah menghantui kawasan ekosistem Leuser. Disebutkan krisis air ini disebabkan oleh rusaknya ekosistem, hilangnya tutupan lahan, masuknya perusahaan pertambangan, dan eksodus perusahaan sawit.
Melihat kondisi demikian, diperlukan pengelolaan hutan dan seisinya dengan benar. Kelestarian hutan seisinya tidak bisa dikompromikan lagi dengan nilai ekonomi yang ada di dalamnya. Hutan seisinya haruslah terus lestari demi masa depan anak cucu. Masyarakat didukung pemerintah memiliki andil besar dalam pengelolaannya.

Belajar dari Kearifan Masyarakat Using di Desa Kemiren dalam Pengelolaan Hutan dan Air
Using dalam tulisan Heru Setya Puji Saputra merupakan penduduk asli Kerajaan Blambangan. Nama suku ini muncul setelah peristiwa perang Puputan Bayu (perang antara Kerajaan Blambangan dengan Belanda). Kekalahan perang Kerajaan Blambangan menyebabkan sebagian penduduk mengungsi dan sebagian penduduk lainnya tidak ikut mengungsi. Mereka yang tidak (sing) ikut mengungsi dikenal sebagai pewaris budaya dan tradisi Blambangan dan disebut masyarakat Using.
Desa Kemiren merupakan desa yang berada di Kecamatan Glagah, Kabupaten Banyuwangi dan menurut Bappeda Banyuwangi merupakan desa tempat tinggal masyarakat Using yang masih menjaga tradisi leluhur. Kearifan masyarakat Using di Desa Kemiren dalam pelestarian sumderdaya alam terlihat pada keseharian mereka. Kearifan masyarakat Using bisa dibagi dalam bentuk nilai, norma, kepercayaan, mitos yang berkembang, dan aktivitas sosial masyarakat.
Mereka memiliki filosofi apa yang dipunyai saat ini harus disisakan untuk anak cucu kelak. Termasuk dalam pemanfaatan sumberdaya hutan dan air. Nilai seperti menghargai keberadaan hutan dan air selalu menjadi landasan masyarakat. Menurut mereka hutan dan air adalah sumber kehidupan. Pandangan ini mampu memunculkan rasa hormat terhadap hutan dan air sehingga dapat membuat hutan dan air terlindungi.
Masyarakat juga memiliki norma atau aturan khusus yang tidak tertulis seperti tidak boleh menebang pohon sebelum menanamnya terlebih dahulu. Mereka berprinsip “ojo mandeg negoro nanduro sulo” (jangan menebang pohon sebelum menanam terlebih dahulu). Masyarakat diperbolehkan menebang pohon setelah pohon yang dahulu ditanam sudah cukup untuk mengantikan pohon yang akan ditebang. Selain itu ada larangan menebang pohon yang berada di sempadan sungai dan mata air, menurut mereka menebang pohon di daerah sempadan sungai dapat mengganggu siluman (makhluk halus). Jika mereka mengganggu kehidupan siluman, warga desa meyakini akan terkena bala’. Hal demikian merupakan wujud pengluhuran terhadap pohon. Menurut Keraf (2002), ini merupakan hukum moral kehidupan yang mampu menciptakan harmonisasi alam.
Tetua masyarakat Using juga melarang masyarakatnya untuk membangun sumur dan membatasi penggunaan air hanya 20 kubik setiap bulannya, lebih dari itu akan dikenai denda. Ini membuat pemakaian air lebih efisien. Menurut mereka sumur menyebabkan berkurangnya volume air pada sungai dan mata air. Dalam prinsip konservasi, pengambilan air tanah melalui sumur jika tidak dibatasi akan mengakibatkan lengkung penurunan muka air tanah (depression cone).
Selain mengenal tindakan teknis, masyarakat juga melakukan aktvitas non teknis seperti ritual adat (selametan) dalam pengelolaan hutan dan air. Selametan menurut Serad (tetua desa) adalah bentuk rasa syukur, terimakasih, dan permohonan agar Tuhan mengabulkan segala keinginan mereka. Misalnya dalam selametan sungai yang dilakukan petani sebelum menggarap sawah. Dalam selametan ini ada kegiatan membersihkan dan mengeruk lumpur sungai. Kegiatan ini mampu mencegah sedimentasi yang disebabkan erosi.
Ada juga selametan Rebo Wekasan yang diadakan pada hari Rabu terakhir pada bulan Sapar. Menurut para tetua desa, pada hari itu Nabi Idir datang menyucikan air dari bala’ dan sumber penyakit. Agar manusia tidak terkena bala’ dan penyakit, mereka tidak diperbolehkan mengambil air dari pagi hari sampai jam 1 siang dan memberikan sesaji di sekitar sumber air. Dalam Rebo Wekasan terdapat prinsip konservasi air yaitu kegiatan menyimpan dan menghemat air.
Selametan dinilai sebagai bagian dari bentuk rasa menjunjung tinggi alam dengan keyakinan bahwa alam merupakan bagian dari kehidupan mereka yang harus dijaga dan dirawat bersama. Mereka memiliki cara pandang bahwa manusia adalah intergal dari alam, sehingga menciptakan perilaku tanggung jawab, penuh sikap hormat, dan peduli terhadap kelangsungan semua kehidupan di alam semesta. Pandangan dan sikap hormat serta takjub kepada alam ini dapat menjadi benteng pertahanan terhadap kelestarian sumberdaya air.
Hasil Kearifan Masyarakat Using
Vegetasi di sekitar sumber air di Desa Kemiren terjaga dengan baik. Umur pohon mencapai ratusan tahun, bahkan ada yang sampai 300 tahun. Keadaan sumberdaya airnya secara kualitas dan kuantitas juga masih baik. Kualitas airnya bisa dilihat dalam pemanfaatan untuk air minum yang pemanfaatannya tanpa dimasak terlebih dahulu. Dilihat dari kuantitasnya, jumlah mata air di Desa Kemiren mencapai 38 mata air dan di desa ini tidak pernah terjadi banjir ketika musim penghujan dan tidak pernah kekeringan ketika musim kemarau. Debitnya juga tidak berbeda jauh ketika musim kemarau dan hujan.
Debit yang tidak berbeda jauh saat musim kemarau dan hujan menunjukan bahwa fungsi hidrologi di Kemiren masih bagus. Sesuai dengan pendapat Arsyad (2012), jika fungsi hidrologi tanah baik maka hanya sedikit air yang mengalir sebagai aliran permukaan sehingga fluktuasi debit sungai pada musim hujan dan kemarau tidak terlalu berbeda.
Mengambil Hikmah dari Masyarakat Using Desa Kemiren
Kelestarian dan kerusakan sumberdaya alam dipengaruhi oleh campur tangan manusia. Dengan campur tangan manusia yang tepat seperti masyarakat Using akan berdampak pada terjaganya sumberdaya alam dari kerusakan. Belajar dari masyarakat Using, bahwa dengan kearifan mereka mampu menjaga keseimbangan ekosistem dengan tetap memanfaatkan sumberdaya alam secara berkelanjutan.
Dukungan pemerintah juga dibutuhkan untuk mendukung model kearifan lokal masyarakat dalam mengelola sumberdaya alam dengan tetap memanfaatkannya secara berkelanjutan. Dukungan secara nyata bisa dilakukan dengan melindungi hak-hak adat masyarakat dan melibatkan mereka dalam setiap pembangunan hutan di Indonesia. Tanpa mereka tentunya akan sulit untuk mewujudkan pengelolaan sumberdaya alam yang lestari.
                                                                                Jakarta, Januari 2015
                                                                                                         

Tidak ada komentar:

Posting Komentar