Ibu', wanita yang paling saya sayangi |
I-b-u...
Kata yang keluar dari mulut saya, jauh sebelum saya mengenal dan paham kata lain. Saya tidak begitu ingat, tapi itulah yang diceritakan kedua orang tua saya.
Mungkin, mudah bagi saya waktu itu mendefinisi kata “ibu”. Ibu adalah kasih sayang, kehangatan, kelembutan,ketentraman, kenyamanan, dan perlindungan. Ya, semua ada padanya. Ibu, kepanjangan tangan dari Sang Khaliq di dunia.
Bagi saya, Ibu adalah superhero yang selalu datang menyelamatkan saya di detik-detik terkahir. Berapa kali saya diselamatkan dari mara-bahaya oleh sesorang perempuan hebat itu. Pernah suatu ketika, saya diselamatkan dari ancaman ganasnya tegangan listrik. Ya, waktu itu saya kelas 2 (dua) Sekolah Menengah Pertama (SMP), saya yang sedang gemar mengutak atik dan merakit radio, tiap hari harus berhubungan dengan listrik. Namun, akibat kecerobohan saya pada waktu itu, hampir saya tidak bisa menulis cerita ini. Bayangkan saja, ketika itu saya mencolokan kabel dari radio (kabelnya belum diberi jack listrik) ke arus listrik. Karena radio belum juga “nyala”, dengan bodoh saya tarik satu kabel dari arus listrik dengan satu kabel yang masih menamcap dengan listrik. Kabel itu saya tarik dan saya gigit ujungnya untuk mengupas selaput kabel agar kuningannya muncul. Kontan, listrik dengan tegangan tinggi mampir ketubuh lewat mulut saya. Entah saya teriak atau bereaksi apa, yang jelas tak beberapa lama setelah itu saya terlempar ke lantai. Tak berapa lama muncul Ibu saya yang menolong saya. Ya, ternyata Ibu saya telah mengambil inisiatif mematikan sumber tegangan ketika mendengar teriakan saya. Beruntung, Ibu cukup sigap. Peristiwa tersetrum ini bukan yang pertama kali saya alami.
Ibu jualah yang menangis dan terjaga semalaman ketika saya sakit. Saya ingat betul, betapa sedihnya beliau ketika melihat saya terbaring lemah di atas tempat tidur. Satu yang selalu beliau ucapkan “ndang sehat to le, kalau ibu bisa, ibu yang minta sakitmu itu buat ibu saja biar kamu cepat sembuh”. Atau ibu yang selalu panik dan kwatir ketika saya terlambat pulang larut malam tanpa memberi kabar terlebih dahulu. Kata beliau, jantung beliau terasa mau berhenti ketika anaknya pergi tanpa pamit. Ya, benar saja, ketika saya pulang dan mencium tangannya, terasa dingin dan mukanya pucat. Ibu, yang selalu membesarkan hati saya ketika saya gagal atau saya sedang “jatuh”. Ibu orang yang pertama kali percaya dengan apa yang saya lakukan. Ibu pun yang selalu puasa, berdoa di dhuha dan tengah malamketika anak-anaknya harus menghadapi ujian.
Ya itulah Ibu, Malaikat yang lupa akan sayapnya....
Dan, Ibu... tibalah saat bagian dariku untuk membahagiakanmu. Mengusap semua air matamu. Menenangkanmu dan menentramkanmu. Biarlah saya membahagiakanmu.
Ibu, engkau adalah alasan dari semua perjuangan ini. Ibu, bersabarlah, biarkan aku membahagiakanmu.
Ibu, bertahanlah, engkau akan mencicipi buah dari kerja kerasmu selama ini. Biarlah kami anak-anakmu yang mengambil peran, untuk membahagiakanmu.
Ibu, berbahagialah selalu. Sehatlah selalu Bu. Bersabarlah Bu untuk kebahagianmu.
Selamat Hari Ibu, ya Bu!
Jakarta, 22 Desember 2014
Tidak ada komentar:
Posting Komentar