Rabu, 25 Maret 2020

Restorasi dan Upaya Menjaga Kesehatan Ekosistem

Kedatangan gajah di lokasi restorasi Cinta Raja 3 menunjukan salah satu keberhasilan restorasi YOSL

Dunia tengah dihadapkan pada pandemi Covid-19. Virus tersebut telah menyebar secara cepat ke 180-an negara dengan menginfeksi ratusan ribu penduduk dunia dan mengakibatkan puluhan ribu orang meninggal dunia (per tulisan ini dibuat). Banyak peneliti kemudian mengaitkan hubungan antara munculnya virus dengan dampak kerusakan hutan dan perubahan perilaku manusia. Deforestasi membuat ekosistem hutan menjadi rusak lalu satwa yang kehilangan rumahnya kian terdesak dan mendekat dengan lingkungan manusia. Belum lagi, beberapa satwa liar yang diburu dan dikonsumsi. Virus dan bakteri yang bersarang secara alamiah di tubuh mereka akan mudah menular ke manusia. Tetapi kita tentu tidak bisa menyalahkan satwa liar seperti kelelawar yang selama ini diduga menjadi perantara penyebaran. Seperti yang diungkapkan oleh Andrew Cunningham, professor dari Wildlife Epidemiology di Zoological Society of London dalam sebuah wawancara CNN bahwa perilaku manusia dan diperparah dengan kerusahakan lingkungan tempat hidup hewan-hewan tersebut telah menyebabkan virus berkembang dan menyebar dengan pesat.

Dua hal penting yang bisa diambil pembelajarannya dari kejadian besar tersebut adalah dampak kerusakan lingkungan dan pola perilaku manusia. Epidemi tersebut juga semakin membuktikan bahwa kerja-kerja konservasi menjadi penting adanya. Selama ini upaya konservasi memang bertujuan untuk mempertahankan keanekaragaman hayati dan mengembalikan kondisi ekosistem yang rusak agar terjaga keseimbangan lingkungan dan kesehatan manusia baik sekarang maupun masa depan.

Restorasi menjadi salah satu cara kita untuk mengembalikan kondisi kesehatan hutan yang tadinya rusak untuk memiliki fungsi ekologi seperti sedia kala. Dengan demikian, melakukan restorasi juga secara tidak langsung menjaga bencana umat manusia dari wabah penyakit di kemudian hari. Tetapi tulisan ini secara lebih lanjut tidak akan mengulas tentang hubungan Covid-19 dan kerusakan lingkungan. Tulisan ini hanya akan memberikan sebuah pembelajaran tentang upaya restorasi di Resort Cinta Raja III, Taman Nasional Gunung Leuser (TNGL) yang dilakukan oleh sebuah lembaga konservasi, Yayasan Orangutan Sumatera Lestari (YOSL).


Upaya Menghutankan Kembali Cinta Raja 3


Putra (45) salah satu staf restorasi Cinta Raja 3. Putra dan kawan-kawannya setiap hari tinggal di lokasi restorasi untuk merawat tanaman restorasi.

Upaya restorasi berawal dari penemuan kebun sawit di dalam kawasan tanaman nasional, tepatnya di Resort Cinta Raja (Sei Serdang, Batang Selangan). Patroli gabungan Balai Besar Taman Nasional Gunung Leusr (BBTNGL) dan Yayasan Orangutan Sumatera Lestari (YOSL) berhasil menangkap ketua kelompok perambah kawasan di akhir tahun 2016. Berdasarkan data yang dihimpun, luas kawasan yang dirambah mencapai 80 ha dengan kepemilikan lahan kurang lebih18 KK. Melalui sebuah pendekatan persuasif yang baik dari pihak Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS) TNGL akhirnya dihasilkan sebuah solusi jalan tengah. Masyarakat boleh mengembil hasil sawit yang siap panen sebelum tanaman tersebut dimusnahkan.

Setelah masalah perambahan selesai, BBTNGL bersama dengan YOSL melakukan penebangan sawit di zona rimba tersebut. Proses penebangan didampingi oleh pihak Kepolisian dan TNI. Sesuai dengan perjanjian semula, setelah sawit ditebang, masyarakat dapat segera mengambil hasil buahnya. Setelah dipastikan selesai, persiapan restorasi langsung dilakukan. Namun sambil menunggu proses persiapan restorasi, patroli pengamanan kawasan tetap dilakukan. Kegiatan pengamanan dilakukan untuk menghindari masyarakat lainnya yang masuk ke lahan kosong tersebut.

Secara teknis, proses restorasi oleh YOSL dapat dibagi menjadi 3, pertama adalah proses persiapan lahan. Para proses ini ada kegiatan penting yang kadang absen dilakukan oleh beberapa kelompok restorasi yaitu melalukan analisis vegetasi dengan ekosistem referensi dan analisis fenologi. Dua hal tersebut nantinya yang akan menentukan hasil restorasi dan layer tutupan hutan seperti fungsi semula. Kedua adalah proses penanaman. Perlu digaris bawahi dalam proses ini memilah dan menentukan tanaman fast dan slow growing akan sangat penting. Karena kedua jenis tanaman tersebut memiliki perlakukan yang berbeda-beda. Ketiga adalah proses pasca penanaman. Proses ini meliputi proses survey keanekaragaman hayati (kehati) dan mengukur iklim mikro yang ada. Jika sudah ada indikator seperti datangnya satwa endemik dan predator maka restorasi bisa saja dikatakan telah berhasil. Survey kehati di awal dan akhir akan bermanfaat untuk analisis keberhasilan restorasi ke depan. (lebih lanjutnya tentang teknis restorasi secara detail dapat dilihat di sini)

Lalu, apakah dengan proses teknis tersebut proses restorasi telah selesai? Ternyata belum. Ada proses proses non teknis yang kadan sering ditinggalkan dan dianggap tidak penting. Proses ini memang tidak pernah ada dalam text book tetapi jika melihat pembelajaran yang telah dilakukan justru proses ini tak kalah pentingnya. Meski demikian, bukan berarti proses ini bisa dilakukan disemua tempat, mungkin akan berbeda dalam setiap daerah atau kasus per kasusnya. Tetapi setidaknya pembelajaran ini dapat menjadi referensi pengelolaan restorasi di tempat lain.

Beberapa proses non teknis yang dilakukan YOSL diantaranya adalah live in, pola pendekatan kepada masyarakat dan pengelolaan sistem pengetahuan untuk mengambil pembelajaran dari proses restorasi terdahulu. Pertama, tinggal di lokasi ternyata membuat orang-orang yang punya niat buruk berpikir dua kali untuk melakukannya. Setidaknya masyarakat merasa bahwa tempat tersebut ‘dihuni’ dan ‘dijaga’. Kedua, pendekatan kepada masyarakat juga merupakan instrument penting untuk menggali dukungan masyarakat sekitar. Proses terakhir yang tak kalah penting adalah cara mengatur sistem pengetahuan untuk dapat dengan mudah memanen pembelajaran dari proses kegagalan dan keberhasilan restorasi terdahulu. Kegiatan seperti membuat air ‘infuse’ pada lahan gersang di musim kemarau tidak pernah ada di dalam buku dan itu lahir dari kreatifitas pengelola yang ada disana. Hal semacam itu telah dicatat dan dipraktekan di lokasi restorasi yang lain. (lebih lanjtu lagi tentang proses non teknis restorasi secara detail dapat dilihat di sini)


Perubahan lahan sebelum dan setelah restorasi selama 1 tahun

Melalui berbagai proses tadi, Mitra TFCA-Sumtera tersebut telah mengklaim bahwa restorasi Cinta Raja III merupakan salah satu restorasi di hutan dataran rendah yang paling cepat partumbuhan dan keberhasilan yang selama ini dilakukan oleh mereka. Berdasarkan pengamatan Manajer Resortasi YOSL, perbandingan hasil pertumbuhan tanaman di Cinta Raja III pada umur 1 tahun dengan restorasi Halaban bisa 2 kali lipatnya. Pada umur 1 tahun fast growing di Cinta Raja III bisa mencapai tinggi 5 meter sementera di Halaban hanya 2,5 meter. Pernyataan tersebut juga didukung oleh para petugas lapangan yang mengatakan bahwa survival rate tanaman lebih tinggi. Indikator lainya adalah pada tahun ke-2 kijang dan gajah telah muncul kembali. Selompok gajah (terdiri dari 13 individu) maupun gajah soliter beberapa kali tertangkap kamera mencari makan di dalam kawasan tersebut (bisa dilihat pada gambar pembuka tulisan ini).

Kemunculan satwa-satwa tersebut menjadi bukti kuat keberhasilan restorasi yang didanai oleh TFCA-Sumatera. Senada dengan beberapa literasi yang mengatakan bahwa keberhasilan restorasi dapat diukur dari munculnya kembali satwa-satwa kunci. Kembalinya satwa kunci di habitat semula dan menjauh dari lingkungan perkampungan bisa saja secara jangka panjang dapat mengurangi zoonosis virus. Begitulah para konservasi berjuang untuk menjaga kesehatan lingkungan, bukan untuk hari ini tetapi untuk masa depan umat manusia.
(YAN)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar